FERMI PARADOX: Di Mana Alien-Alien Itu Berada?
[Catatan: Petualangan kita di dunia
literasi kali ini sangatlah panjang. Oleh karena itu, siapkan posisi ternyaman
dan jangan lupa ditemani dengan secangkir kopi atau teh hangat. Selamat
menyelami dalamnya samudra ilmu pengetahuan]
Di suatu malam yang sunyi, tenang, langit yang
bersih dari awan, disertai oleh terang cahaya rembulan, seorang lelaki muda
sedang termenung sambil memandang langit malam yang indah dipenuhi bintang saat
itu. Pikirannya dipenuhi oleh rasa keingintahuannya terhadap alam semesta ini,
salah satu yang sangat menarik perhatiannya adalah mengenai makhluk di luar
bumi atau alien. Ia sangat penasaran mengenai kehidupan di luar bumi, ia
percaya bahwa alien itu ada, tetapi ia juga menyangsikan keberadaan mereka
karena tak bisa membuktikannya. Secara tak langsung, ia telah jatuh ke
dalam Fermi Paradox atau Paradoks Fermi.
Pertanyaan dasar mengenai keberadaan alien telah
dipikirkan sejak lama oleh para ilmuwan, pertanyaan mengenai keberadaan alien
pertama kali diajukan oleh Enrico Fermi, seorang fisikawan hebat yang juga
dikenal sebagai ‘Bapak Bom Atom Dunia’. Pada tahun 1950, di saat makan siang
bersama teman-temannya Fermi melayangkan sebuah pertanyaan: “Di mana mereka?”,
Fermi skeptis mengenai kemungkinan perjalanan antar-bintang. “Jika memang
benar-benar ada kehidupan lain yang lebih canggih di luar bumi, di mana mereka
semua? Kenapa tak satupun yang menemui manusia?”, kembali Fermi mengembangkan
pertanyaannya. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah muncul istilah Fermi
Paradox.
KEMUNGKINAN KEHIDUPAN DI
PLANET LAIN
Galaksi terdiri atas gas dan debu serta
bintang-bintang yang jumlahnya miliaran. Setiap bintang bisa menjadi matahari
bagi seseorang. Kira-kira terdapat ratusan miliar galaksi, masing-masing
galaksi mengandung seratus miliar bintang. Di semua galaksi, jumlah planet
barangkali sebanyak jumlah bintang, yaitu sekitar sepuluh miliar triliun.
Mengingat jumlah yang demikian besar itu, berapa kemungkinan satu bintang biasa
punya planet yang dihuni makhluk hidup? Mengapa kita, yang berada di pinggiran
galaksi Bima Sakti, bisa begitu beruntung? Nampaknya, lebih mungkin kalau alam
semesta ini penuh dengan kehidupan.
Di kegelapan luas diantara bintang-bintang terdapat
awan-awan gas dan debu serta zat organik. Dengan menggunakan teleskop radio,
telah ditemukan berbagai jenis molekul organik di sana. Kelimpahan
molekul-molekul tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan penyusun kehidupan ada
di mana-mana. Di sebagian dari miliaran planet di Galaksi Bima Sakti, kehidupan
mungkin tidak pernah muncul. Di planet-planet lain, kehidupan mungkin muncul
namun kemudian punah atau tidak pernah berevolusi melampaui bentuk paling
sederhana. Sedangakan di segelintir planet, kehidupan bisa jadi telah mengembangkan
kecerdasan dan peradaban yang lebih maju daripada kecerdasan dan peradaban
kita.
Ada yang mengatakan bahwa alangkah beruntungnya
kita di tinggal bumi yang sangat cocok untuk kehidupan (suhu moderat, air cair,
atmosfer mengandung oksigen, dll). Tetapi, pernyataan itu merupakan
pencampuradukan sebab dan akibat. Kita para makhluk bumi, berhasil beradaptasi
terhadap lingkungan karena kita tumbuh di sini. Bentuk-bentuk kehidupan awal
yang tidak mampu beradaptasi telah mati. Kita adalah keturunan organisme-organisme
yang berhasil beradaptasi.
PERSAMAAN DRAKE
Dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
tersebut, Dr. Frank Donald Drake menciptakan sebuah persamaan yang dinamai
‘Persamaan Drake’. Persamaan matematis ini bersifat probabilitas dan digunakan
untuk memperkirakan jumlah peradaban di Galaksi Bima Sakti (untuk detail
persamaan bisa kalian googling). Di tahun 1961, Dr. Drake bersama
teman-temannya mencoba menghitung berapa banyak perdaban cerdas di Galaksi Bima
Sakti. Hasil dari perhitungannya adalah 10, ini berarti setidaknya terdapat 10
peradaban mahkluk asing di luar bumi yang terdapat di Galaksi Bima Sakti.
SKALA KARDASHEV
Tingkat kemajuan tiap peradaban cerdas mahkluk
hidup di alam semesta dapat diukur menggunakan Skala Kardashev. Seperti namanya,
skala ini dicetuskan oleh Nikolai Kardahsev, seorang kosmonot Rusia, menurutnya
peradaban makhluk hidup di alam semesta ini terbagi menjadi 3, yaitu:
Peradaban tipe 1: peradaban ini mampu menguasai
sepenuhnya energi yang ada di planetnya sendiri. Peradaban tipe ini
memanfaatkan 100% energi yang tersedia di planetnya.
Peradaban manusia belum mampu mencapai skala ini,
saat ini peradaban manusia berada pada skala 0,72. Hal ini dikarenakan
peradaban kita masih menggunakan sumber energi kotor seperti minyak, gas bumi,
batu bara, plastik, dan lain-lain, yang mencemari lingkungan. Peradaban manusia
dapat mencapai peradaban tipe 1 jika mampu memanfaatkan seluruh energi yang ada
di bumi tanpa merusak lingkungan, seperti memanfaatkan energi matahari, energi angin,
energi fusi, dll. Menurut Kardashev, jika peradaban manusia telah mencapai
tingkat 1, manusia mampu mengontrol pangan global, letusan gunung berapi,
gempa, dan cuaca.
Peradaban tipe 2: peradaban ini mampu menguasai
sepenuhnya energi dari bintangnya sendiri. Setelah mencapai peradaban tipe 1,
mereka akan melakukan ekspansi untuk mencari energi, yaitu dengan menguasai
energi dari bintang terdekatnya. Peradaban tipe 2 mampu menyerap 100% energi
langusung dari bintang terdekatnya.
Kemungkinan besar, peradaban tipe ini akan
menggunakan alat Dyson Sphere. Alat ini merupakan megastruktur
raksasa yang mampu menutupi sebuah bintang untuk menyerap energi dari bintang
tersebut secara langsung. Hal itu dilakukan karena energi yang diserap
planet-planet sangat kecil dibandingkan dengan total energi tiap detik yang
dihasilkan sebuah bintang. Sebagai perbandingan sederhana, energi yang
dipancarkan matahari matahari satu detik itu jauh lebih besar dari energi yang
digunakan umat manusia selama 1000 tahun terakhir. Itu sebabnya diperlukan
diperlukan megastruktur raksasa untuk mengurung sebuah bintang dan
memanfaatkannya setiap energi yang dipancarkannya. Jika peradaban manusia telah
mencapai tingkat ini, manusia akan mampu menjalani kehidupan antar planet, tak
hanya terbatas di bumi saja. Mungkin pada tingkat ini peradaban manusia mampu
melakukan terraformasi terhadap Mars dan Venus.
Peradaban tipe 3: peradaban ini mampu menguasai
sepenuhnya energi dari galaksinya yang terdiri dari jutaan bintang bahkan
lubang hitam. Pada tingkatan ini, peradaban telah memiliki kemampuan untuk
melakukan perjalanan antar bintang bahkan memiliki teknologi yang mampu
membengkokan ruang dan waktu. Hal ini memungkinkan, karena perjalanan antar
bintang memakan waktu yang sangat lama sekali meskipun dengan kecepatan cahaya.
Sehingga diperlukan teknologi yang mampu membengkokan ruang dan waktu untuk
mempersingkat perjalanan antar bintang.
ARGUMEN MICHAEL H. HART
Dengan berbagai kemungkinan dan banyak macam usaha,
apa penyebab belum ada satupun peradaban ekstraterestrial yang kita temukan?
Ada beberapa kemungkinan jawaban yang kita miliki. Michael H. Hart, seorang
ahli astrofisika, berargumen bahwa tidak ada peradaban ekstraterestrial yang
lebih cerdas dibanding peradaban manusia. Di dalam jurnalnya yang
berjudul ‘Explanation for the Absence of Extraterrestrials on Earth’,
di bagian abstrak ia menulis: “Berdasarkan observasi yang kami lakukan, tidak
ada mahluk cerdas dari luar angkasa yang kini hadir di bumi. Hal ini dapat
dijelaskan dengan baik melalui hipotesis bahwa tidak ada peradaban lain di luar
galaksi kita.” Hart juga menguraikan kajian eksploratifnya mengenai “Paradoks
Fermi” melalui empat argumen:
- Alien tidak pernah datang ke bumi karena
perjalanan mereka mengalami kendala terkait astronomi, biologi, atau juga
secara peralatan mekanis.
- Alien memang memilih untuk tidak pernah datang
ke Bumi.
- Alien juga baru mengalami peradaban maju
sehingga terlalu dini bagi mereka untuk mengunjungi manusia di bumi.
- Alien pernah mengunjungi Bumi di masa lalu,
ketika peradaban manusia belum ada atau karena manusia memang tidak
mengamatinya.
Jawaban sementara dari Fermi Paradox yang
dapat kita miliki adalah dua kemungkinan. Mungkin peradaban cerdas
ekstraterestrial memang ada dan sedang mengembangkan peradabannya, atau memang
tidak ada peradaban cerdas ekstraterestrial, yang artinya kita benar-benar
sendirian di alam semesta yang luas ini.
TEORI GREAT FILTER
Kemungkinan tidak adanya peradaban cerdas
ekstraterestrial adalah akibat terbentur oleh Great Filter. Great
Filter merupakan istilah yang mengacu kepada suatu hal yang mencegah
kemunculan peradaban maju yang dapat menyebar di alam semesta, apapun itu
bentuknya, baik itu sesuatu yang mencegah proses abiogenesis ataupun yang
menghancurkan suatu peradaban sebelum mereka dapat mendirikan koloni di tata
surya lain. Great Filter seperti sebuah tembok yang menghambat
suatu peradaban untuk menuju tingkat yang lebih tinggi, yaitu peradaban tipe 2
dan 3. Dari teori Great Filter, terdapat 3 Hipotesis mengenai tidak
adanya peradaban ekstraterestrial:
- Peradaban manusia adalah salah satu dari
sedikit makhluk hidup yang berhasil melewati Great Filter.
Diantara banyak planet yang mendukung kehidupan kita adalah salah satu
dari sedikit makhluk hidup di alam semesta yang mampu melampaui bentuk
paling sederhana hingga mengembangkan peradaban dan kecerdasan. Jika tidak
terjadi suatu peristiwa yang membinasakan peradaban manusia, maka kita
akan mampu mencapai peradaban tipe 2 dan tipe 3.
- Peradaban manusia adalah yang pertama berhasil
melewati Great Filter. Sama dengan point pertama, kita bersama
dengan beberapa peradaban lainnya berhasil melewati Great Filter,
tetapi mereka mengekor di belakang kita. Sehingga, mengapa kita tidak
menemukan peradaban lain karena teknologi mereka yang belum mampu untuk
melakukan komunikasi dengan peradaban manusia.
- Peradaban manusia belum melewati Great
Filter. Mungkin saja peradaban manusia belum melewati Great
Filter, ancaman kepunahan peradaban manusia masih ada di depan mata.
Mulai dari perubahan iklim, ancaman asteroid, perang nuklir, dan lainnya.
Sehingga dengan begitu peradaban manusia tidak akan mencicipi peradaban
tipe 2 ataupun tipe 3, melainkan mengarah kepada kepunahan peradaban
manusia.
HIPOTESIS MENGAPA KITA
BELUM BERTEMU PERADABAN LAIN
Kemudian, ada beberapa hipotesis mengenai
kemungkinan adanya peradaban cerdas ekstraterestial. Hipotesis ini tidak
didasarkan pada teori Great Filter, melainkan berdasarkan teori
evolusi yang terjadi secara ubiquitous (terjadi di mana saja),
dengan begitu peradaban mana saja bisa menjadi peradaban tipe 2 atau tipe 3.
Beberapa hipotesisnya adalah:
- Peradaban cerdas ekstraterestrial pernah
mengunjungi bumi dahulu kala. Usia alam semesta kita saat ini sekitar
13,77 miliar tahun, umur palnet bumi sekitar 4,6 miliar tahun, sedangkan
peradaban manusia baru tercipta paling lama berkisar 100.000 tahun. Umur
peradaban manusia sangatlah pendek jika dibandingkan umur alam semesta,
dan bumi. Jadi, jika memang ada peradaban cerdas ekstraterestrial yang
telah berevolusi miliaran tahun lalu, bisa jadi mereka sudah pernah ke
bumi saat spesies manusia belum ada.
- Bumi terletak di pinggir. Letak tata surya
kita di Galaksi Bima Sakti adalah di bagian pinggir Galaksi Bima Sakti,
mungkin saja peradaban-peradaban tipe 2 berada di dekat pusat Galaksi Bima
Sakti. Ini sama dengan teori Urban Planning yang
mengatakan sebaran distrik pusat bisnis berkumpul di pusat kota.
- Galaksi dalam perang bintang. Mungkin saja hal
menyebabkan kita tidak menerima sinyal apapun dikarenakan semua makhluk
sedang bersembunyi di planetnya masing-masing. Hanya satu peradaban yang
terus menerus mengirimkan sinyal ke luar angkasa, yaitu peradaban manusia
karena tidak mengetahui sedang ada perang antar bintang. Stephen Hawking
sudah memperingatkan untuk tidak melakukan kontak dengan makhluk
ekstraterestrial, karena ini akan mengundang bahaya untuk peradaban
manusia.
- Manusia terlalu primitif untuk berkomunikasi.
Tak ada jaminan bahwa peradaban cerdas ekstraterestrial masih menggunakan
teknologi gelombang radio, bisa jadi teknologi gelombang radio terlalu
primitif bagi mereka. Teknologi gelombang radio sudah tergantikan oleh
laser, serat optik, gelombang mikro, dan lainnya. Peradaban manusia masih
menggunakan gelombang radio sebagai usaha untuk melakukan kontak dengan
peradaban cerdas ekstraterestrial. Namun, bisa jadi peradaban di luar sana
sudah menggunakan teknologi subspace atau quantum
network dalam berkomunikasi.
PENUTUP
Berbagai hipotesis tersebut mungkin saja terjadi di
suatu waktu. Apakah memang benar adanya bahwa kita adalah satu-satunya makhluk
hidup di alam semesta raya ini? Apakah Sang Pencipta yang Agung menciptakan
alam semesta ini agar kita sebagai makhluknya bertafakur dan merenungi diri
bahwa kita sangatlah kecil di hadapannya yang Maha Besar? Atau, memang ada
peradaban tipe 2 dan tipe 3 yang sedang menunggu untuk ditemukan? Jika ternyata
peradaban tipe 2 dan tipe 3 benar adanya, sudah siapkah kita dengan berbagai
kemungkinan yang bisa saja membinasakan umat manusia?
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan
mengutip perkataan dari Carl Sagan, dengan indahnya ia menyampaikan:
“Dari sudut pandang yang jauh ini, bumi, mungkin
terlihat tidak terlalu spesial. Tetapi bagi kita lain artinya, lihatlah kembali
titik itu: Itu kita di sini, rumah kita, itu kita. Di dalamnya semua orang yang
kita cintai, semua orang yang kita tau, semua orang yang pernah kita dengar,
semua manusia yang terlahir ke dunia, hidup di sana. Seluruh suka dan duka
kita, ribuan agama, ideologi dan doktrin ekonomi, setiap pemburu dan
penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan pemusnah
peradaban, setiap raja dan rakyatnya, setiap pasangan yang jatuh cinta, setiap
ibu dan ayah, anaknya yang penuh harap, penemu dan penjelajah, setiap guru yang
mengajarkan moral, setiap politisi korup, setiap superstar, setiap pemimpin
tertinggi, setiap orang suci dan berdosa dalam sejarah spesies kita, tinggal di
sana. Di atas setitik debu. Melayang, disinari cahaya matahari. Bumi, adalah
panggung yang sangat kecil dalam arena yang sangat luas.” -Carl sagan
0 Komentar