CAMP



 

Beberapa kejadian di cerita ini nyata. Setidaknya bagian-bagian penting tentang pendakiannya.Enjoyeddd

 

Sebuah mobil jeep berhenti di kaki sebuah gunung. Saat itu hari masih pagi. Langit cerah tanpa awan. Matahari bersinar hangat. Turun seorang pria menggunakan sepatu hiking, celana pendek kargo, berkemeja flanel biru dengan dalam kaos hitam bergambar sebuah band lawas, “The Doors”. Rambutnya yang juga sama seperti vokalis band tersebut James Morisson, ikal dan panjang, diikatnya. Ia meregangkan tubuhnya setelah menurunkan ransel carrier besarnya. Disusul seorang perempuan yang turun dari pintu belakang jeep dengan rambut pendek, bergaya pakaian sama dan seorang pria lagi, yang memakai kaos tangan panjang dan celana panjang kargo. Mereka berdua juga meletakkan ransel carrier mereka dan meregangkan tubuh mereka.

 

Tak lama, mobil jeep itu pergi lagi. Tama, Gantari dan Hadyan, saling berdiri berhadapan dengan wajah sumringah kemudian Tama berseru seraya melompat-lompat, “Yeaaay, akhirnya kita sampai di sini juga!” Gantari dan Hadyan tertawa. Gantari merangkul kedua bahu sahabat prianya itu lalu mereka bertiga menghadap ke sebuah gunung di depan sana. “Lihat, gunung itu sudah menanti kita … cantik banget ya … gue ga sabar untuk melihat panorama dari atas sana …” ucap Gantari dengan mata berbinar-binar. “Kita akan menaklukkan gunung itu!” tunjuk Tama bersemangat. Hadyan tersenyum. Gantari melihat Hadyan, “Kenapa Yan? Kok kayak yang ga excited sih?” Hadyan menatap gunung itu, berkata, “Gue excited kok … udah lama gue pengen naek gunung … gue cuma agak gugup.”

 

“Yan, gue tahu … ini pendakian pertama kita … tapi kita sudah persiapkan semuanya dengan baik sejak sebulan lalu bukan? (Hadyan mengangguk) Memang selalu ada rasa gugup yang harus ditaklukkan di setiap petualangan baru Yan,” kata Tama, Hadyan tersenyum.

 

Gantari mengambil teleponnya lalu mereka bertiga berfoto wefie dengan latar belakang gunung itu. “Sebelum kita ke pos jaga, kita ke warung itu dulu yuk, sarapan sekalian ricek perbekalan kita lagi, gimana?” Gantari memberi ide sembari menggendong kembali ransel carrier di punggungnya. Tama dan Hadyan mengambil ransel carrier mereka juga. “Setuju!” jawab mereka. Warung sederhana yang terbuat dari bilik dan kursi-kursi panjang dari kayu itu masih sepi. Penjualnya suami istri bernama Pak Suta dan Bu Suta yang telah melewati setengah abad, tapi sepertinya udara pegunungan yang segar dan hati yang tentram, membuat mereka terlihat jauh lebih muda dari umurnya.

 

Pak Suta dan istrinya ramah menyambut Tama, Gantari dan Hadyan. Mereka saling bertegur sapa dan cepat akrab. Begitulah, bila kau senang mendaki akan tidak aneh bila kau bertemu dengan banyak orang-orang ramah seperti pasangan suami istri ini. Tama, Gantari dan Hadyan memesan tiga teh manis hangat, tiga ketan bakar bumbu oncom serundeng dan tiga mangkok mie rebus telur.

 

Sarapan pagi di bawah kaki gunung yang dinaungi langit biru nan cerah, dihembusi angin sejuk sisa embun subuh tadi dan sesekali terdengar suara burung berkicau dari pucuk pepohonan tinggi, adalah hal yang tidak semua orang bisa dapatkan. Apalagi bagi orang yang tinggal di perkotaan, hal ini tidak akan bisa ditemui lagi. Sesekali kau harus keluar dari kota dan berpetualangan ke alam terbuka untuk mendapatkannya.

 

Tama, Gantari dan Hadyan adalah tiga sahabat yang baru saja menyelesaikan kuliahnya dan untuk merayakan kelulusan mereka, mereka memutuskan untuk berpetualang mendaki gunung. Sebuah impian yang akhirnya mereka wujudkan. Sebuah impian yang awalnya hanya obrolan-obrolan santai di kala senggang kesibukan kuliah. “Lo pernah naek gunung ga Yan?” celetuk Tama pada Hadyan yang sedang mengamati gambar-gambar pegunungan di laptop-nya. Hadyan menggeleng. “Kenapa?” Hadyan menyandarkan tubuhnya di kursi cafe, “Dari SMA gue memang udah kagum dan suka sama keindahan pegunungan Tam … tapi gue ga pernah punya keberanian untuk mendaki mereka.”

 

Tama mengunyah pisang kejunya, berkata, “Lo harus menaklukkan ketakutan lo itu Yan.” Hadyan mengangguk, “Iya sih lo betul … emang lo udah naek gunung apa aja Tam?” Tama menelan potongan terakhir pisang kejunya lalu bertanya, “Kata siapa gue udah pernah naek gunung?” Hadyan menoleh pada Tama, “Jadi lo belum pernah naek gunung juga?” Tama tertawa dan mengangguk. “Bajinguk! Gaya omongan lo kayak yang udah pernah naek gunung aja!” Hadyan melempar Tama dengan kertas tisu yang sudah dibuntal-buntal. Tama terus tertawa.

 “Ada apa ini, ada apa ini?” Gantari datang bergabung bersama kedua sahabatnya itu. “Tar, si Hadyan nantangin kita naek gunung!” cetus Tama begitu saja. Gantari dan Hadyan sama-sama terkejut. “Weh … gue sih ayo aja! Gas!” seru Gantari bersemangat. Tama nyengir seraya mengangkat-ngangkat alisnya, “Gimana Yan?” Dan begitulah awalnya sehingga akhirnya mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama.

 

Di meja kayu itu sudah terhidang tiga teh manis hangat, tiga ketan bakar dan tiga mangkok mie rebus dengan uap hangatnya yang mengebul. “Silakan,” senyum Bu Suta. Tidak menunggu untuk dipersilakan kedua kali, tiga sahabat itu langsung menyikat mie rebusnya lebih dulu. “Bu, ada pendaki lain yang naek ga hari ini?” tanya Tama sembari menyedot mienya. “Hari ini belum ada, kalau kemarin ada beberapa Mas, hari ini kayaknya jadwal mereka turun,” jawab Bu Suta. “Pendakian pertama ya?” celetuk Pak Suta yang sedang memotong kayu di depan warung untuk dijadikan bahan bakar kompornya.

 

“Iya Pak, emang keliatan ya Pak kalau kita baru pertama naek?” tanya Hadyan. Pak Suta tertawa, “Carrier kalian masih baru semua.” Mereka bertiga baru sadar dan ikut tertawa. Hadyan buru-buru mencabut merknya yang masih tergantung. “Kenapa ga sewa penunjuk jalan aja Mas-Mas dan Mbaknya ini? Nanti ada di pos jaga, mereka dari tim Basarnas … yah supaya pendakian lebih aman,” saran Pak Suta. “Kita sendiri juga aman kok Pak, kita sudah pelajari rute pendakiannya sebelum kesini.” Pak Suta manggut-manggut mendengar ucapan Tama itu. “Bagus itu … ini memang bukan gunung yang sulit kok buat para pendaki yang baru memulai … tapi setidaknya bersiap-siap akan lebih baik.” Hadyan sepakat dengan ucapan Pak Suta.

 

“Dan akan lebih baik kalau punya rencana cadangan dan perbekalan lebih,” sambung Pak Suta. “Kenapa gitu Pak?” tanya Gantari yang sekarang telah masuk ronde dua yaitu melahap ketan bakarnya setelah menghabiskan mie rebusnya tadi. “Iya Pak kenapa?” timpal Hadyan ingin tahu juga. Tama hanya menunggu jawaban Pak Suta saja. Pak Suta menghentikan memotong kayunya, menatap gunung dengan latar belakang langit biru itu.

 

“Gunung bukanlah tempat untuk memenuhi ego kita dengan menaklukkannya. Tidak ada yang bisa menaklukkan raksasa tidur itu. Kalaupun manusia bisa sampai puncaknya lalu turun lagi dengan selamat, itu karena diijinkan olehnya, tapi raksasa itu bisa bangun dan berubah pikiran. Jadi pendaki yang baik adalah pendaki yang selalu punya rencana cadangan dan perbekalan lebih kalau-kalau raksasa itu berubah pikiran.”

 

Gantari dan Hadyan mengangguk-ngangguk. “Tentu saja Pak, perbekalan kami lebih dari cukup dan kalau ada apa-apa kami tinggal ‘halo’ hehehe,” kekeh Tama sembari menunjukkan telepon genggamnya. Pak Suta menatap Tama tersenyum, “Syukurlah kalau begitu.” Ketiga sahabat itu segera menyelesaikan makannya, membayar lalu mulai mericek kembali perbekalan mereka. Setelah selesai mereka berpamitan pada Pak dan Bu Suta lalu menuju pos jaga.

 

“Apakah mereka akan baik-baik saja Pak?” ada nada cemas di suara Bu Suta saat melihat ketiga sahabat itu melangkah pergi. Pak Suta menghela nafas, “Kita doakan saja Bu,” lalu menengok pada gunung itu dengan tatapan memohon. Berbaiklah pada mereka, batin Pak Suta.

 

Di pos jaga, ada lima orang pria yang sedang bertugas tapi ketiga sahabat itu hanya ditemui oleh dua orang pria saja, Pak Bakri dan Pak Tino. Setelah menunjukkan surat pendaftaran yang telah mereka isi sebelumnya melalui pendaftaran pendakian online dan membayar sejumlah uang sebagai tarif masuk ke kawasan konservasi, bawaan mereka dalam ransel carrier juga diperiksa.

 

“Bagus kalian ga membawa hal-hal yang dilarang, peralatan kalian juga cukup lengkap dan siap, ada tenda, sleeping bag, kompor portable kecil, nesting makan, matras, sarung tangan, jaket tebal, jas hujan, power bank, pisau, senter, lampu badai dan tali,” ucap Pak Bakri, “apa kalian pernah mendaki sebelumnya?” Tama langsung menggangguk, “Ini pendakian kami yang kedua Pak.” Gantari dan Hadyan tersenyum meski di hati mereka merasa tak enak telah berbohong.

 

“Perbekalan makan kalian juga cukup dan kalian pintar untuk tidak membawa beras dan mie instan … bagus,” puji Pak Tino. Sebagai orang-orang yang baru pertama kali mendaki, dipuji oleh seorang yang telah berpengalaman di dunia pendakian adalah sebuah kebanggaan bagi Tama, Gantari dan Hadyan. Maka mereka pun tersenyum bangga.

“Baiklah sebelum kalian melanjutkan, ini wejangan dari kami, tolong kalian pahami dan ingat! Jangan mengambil sesuatu selain gambar, jangan meninggalkan sesuatu selain jejak kaki dan jangan membunuh apa pun selain waktu,” Pak Bakri mengingatkan.

 

Tama, Gantari dan Hadyan mengangguk.

 

“Jangan membuat tenda dekat sumber air, karena kalau malam hewan buas suka datang untuk minum, jangan membuat api unggun bila tidak diperlukan, jangan menyalakan musik dari hape, akan mengganggu hewan atau bisa memancing hewan buas datang, jangan berkata kotor, berbuat asusila dan selebihnya kalian pasti sudah tahu,” tambahnya lagi.

 

Tama, Gantari dan Hadyan mengangguk lagi.

 

“Kalau begitu silakan lanjut mendaki selagi hari cerah, selamat menikmati panorama terindah di puncak sana dan kami akan menunggu kalian turun dua hari lagi di sini, selamat jalan.”

 

 

 

***

 

 

 

Ketiga sahabat itu pun memulai petualangan pertama mereka untuk mendaki gunung. Hati yang senang dengan semangat yang tinggi terpancar dari wajah-wajah mereka yang sumringah. Mereka mengikuti rute jalan yang sudah mereka pelajari sebelumnya. Rute jalan setapak yang biasa dilalui pendaki untuk pulang dan pergi.

 

Selama perjalanan mereka terus ngobrol membicarakan apa saja. Tentang dosen-dosen mereka, tentang pacar-pacar mereka yang akhirnya putus semua juga tentang pertemuan pertama mereka saat sama-sama masuk kuliah dan berada di jurusan yang sama.

 

“Kalau diinget-inget kita itu kayak ‘The Three Musketeers’ ya, selalu bareng-bareng dari tingkat satu,” kata Gantari yang berjalan di tengah.

 

“Satu untuk semua, semua untuk satu!” cetus Tama menirukan jargon The Three Musketeers itu. Gantari tertawa. “Hoy jalannya pelanan dikit, gue mau menikmati suasana perjalanan ini!” seru Hadyan dari belakang. “Ok siap Yan.” Tama yang berada paling depan pun melambatkan langkahnya. “Denger …” ucap Hadyan. Tama dan Gantari mengerutkan kening mereka tak mendengar apa-apa. “Denger apa Yan?” Gantari mencoba mempertajam telinganya.

 

“Memang ga ada suara apa-apa … tapi inilah suara kedamaian,” senyum Hadyan. Tama mendengus sebal. “Coba lihat … beberapa jam lalu kita masih di sumpeknya kota … sekarang kita berada di tengah-tengah hutan hujan yang tenang dengan pohon-pohon besar dan tinggi dan beberapa hewan liar yang nanti akan kita temui mungkin … bukankah ini luar biasa? Dan udaranya, segar sekali, coba kalian tarik nafas kalian dalam-dalam,” Hadyan merentangkan tangannya seraya mendongakkan kepala menghirup udara.

 

“Orang kota norak baru masuk hutan kayak gitu tuh,” bisik Tama pada Gantari yang tertawa. Mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi. Waktu berlalu dan mereka masih terus berjalan. Sejauh mata memandang hanya tampak pohon-pohon besar melingkupi mereka. Jalan setapak terlihat makin sulit karena dipenuhi akar pohon yang melintang, bebatuan dan juga menanjak. “Ayo kalau kita mau ngejar sunset di atas sana, kita harus cepet,” Tama mempercepat langkahnya. “Kita sudah berapa jam berjalan sih?” tanya Gantari yang mulai terasa lelah. “Empat jam,” jawab Tama. “Butuh berapa jam lagi buat sampai atas Tam?” Gantari mengusap keringatnya.

 

“Kalau kecepatan kita kayak sekarang, enam jam lagi baru sampai, dan ga dapet sunset,” sahut Tama. Gantari mendesah lelah. “Percayalah Tar, di atas sana capek kita pasti terbayar, ayo cepet!” sahut Tama lagi yang sudah melangkah jauh di depan. Hadyan menepuk bahu Gantari memberi semangat, “Ayo semangat, baru empat jam … bayangin panorama di atas sana pas sunset pasti kece badai, bukankah lo udah ga sabar?” Gantari tertawa, itu adalah kalimatnya saat mereka baru datang tadi.

 

Hadyan berlari mendahului Gantari. “Ayo!” Melihat itu semangat Gantari terpantik, ia juga tak mau kalah. “Lo pikir gue ga bisa lari apa?” Gantari pun mengejar Hadyan. Mereka berdua tertawa saling mengejar.

Tama terkejut melihat kedua sahabatnya berlari melewatinya. “Eh, kok pada lari … ok, gue juga bisa kali!” Tama pun berlari mengejar kedua sahabatnya itu. Mereka saling berkejaran. Hingga beberapa jam kemudian mereka tampak terengah-engah. “Brengsek lo Yan, ngajakkin lari, lihat nih gue sampe ngos-ngosan!” Gantari terengah-engah dan membuka botol minumnya lalu meneguknya sampai puas. Hadyan tertawa lalu meminum airnya juga kemudian menyiram wajahnya dengan air itu. Ia merasa segar kembali. “Heh hemar air Yan!” cetus Gantari. “Tenang, di puncak, sumber air banyak,” kata Hadyan.

 

“Lemah, gitu aja minum,” ledek Tama yang berlari menyusul melewati Gantari dan Hadyan. Gantari geleng-geleng, “Kuat juga dia ga minum dari tadi.” Hadyan menyimpan botol airnya lagi, “Si Tama ‘kan punya tembolok di lehernya buat nyimpen persediaan air.” Gantari tertawa. Mereka pun menyusul Tama yang sudah berjalan di depan sana.

 

“Lihat, di pegunungan masih aja ada yang buang sampah sembarangan,” geleng-geleng Tama menunjuk botol-botol plastik, plastik keresek dan tisu-tisu basah tersebar di semak pinggir jalan setapak. “Kampungan sekali mereka,” kesal Gantari mengambil sampah-sampah itu dan dikumpulkannya, “nanti kalau kita pulang, kita bawa turun sekalian.” Hadyan dan Tama pun membantu Gantari. “Jangan ngaku pencinta alam kalau masih buang sampah sembarangan di alam huh!” kesal Hadyan juga.

 

Setelah mengumpulkan dan menyimpan sampah-sampah itu mereka melanjutkan perjalanan. Beberapa saat kemudian, rute jalan setapak itu sudah mulai melandai tidak lagi menanjak. Di kiri kanan jalan pohon-pohon besar dan tinggi sudah jarang terlihat dan akhirnya tergantikan dengan lapangan terbuka berumput tebal yang ditumbuhi bunga-bunga.

 

“Hey Tam, ayo motret dulu kali,” ajak Gantari yang sudah bersiap bersama Hadyan. Tama yang sudah melangkah di depan berlari kembali untuk berfoto bersama teman-temannya itu. “Kita ada di mana ini Gaes?” Gantari melihat sekelilingnya. “Kita ini lagi ada di alun-alun Shangrila dan udaranya semakin dingin, berarti ga lama lagi kita akan sampai di puncak Tar,” sahut Hadyan, “betul ga Tam?” Tama mengangguk, “Yap … ternyata lo ngeriset gunung ini juga Yan.”

 

“Oh iya dong, gue harus tahu gunung kayak apa yang akan kita daki ini,” sahut Hadyan melanjutkan langkahnya lagi. “Dia ‘kan pencinta gunung Tam, masa iya sih ga riset?” cengir Gantari. “Gue pencinta gado-gado ga pake riset dulu, kalau mau beli langsung beli aja,” seloroh Tama. “Gado-gado ga membuat lo bertaruh nyawa untuk memakannya Onta!” tukas Gantari. Tama tertawa.

 

 

 

***

 

 

 

Benar saja tak lama dari alun-alun Shangrila, mereka sudah berada di puncak gunung sesaat sebelum sunset. Ketiga sahabat itu berdiri terpaku melihat pemandangan dari ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut itu. Panorama spektakuler yang belum pernah mereka lihat selama hidup mereka. Awan-awan tipis tampak di bawah mereka. Gunung-gunung lainnya tampak berjajar di garis langit. Beberapa burung terbang di langit biru. Dan sebuah kota terlihat sangat kecil seperti kotak-kotak balok yang di susun jauh di bawah sana.

 

Mereka tak bisa berkata-kata untuk keindahan sesempurna ini. Seumur hidup mereka, belum pernah mereka dibekukan dengan keindahan alam seperti ini.

 

“Surga di atas awan,” gemetar Tama menyebutnya.

 

“Ya Tuhan, ini lebih dari cantik,” gumam Gantari tak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya itu. Hadyan menitikkan air matanya, lalu bersimpuh di kedua lututnya, ia begitu terharu, selama ini ia hanya bisa melihat semua ini lewat komputer dan telepon genggamnya dan hari ini ia bisa melihatnya langsung. Hadyan mengangkat kedua tangannya yang mengepal ke udara, berteriak, “Gue di sini!!” Gema suaranya memantul ke lembah-lembah di bawah sana.

 “Gaes! Akhirnya sampai juga kita di sini! Ga sia-sia ‘kan capek kita? Ga sia-sia ‘kan?” seru Tama pada kedua sahabatnya itu. Mereka bertiga saling berpelukan dengan tangis haru. Angin sore yang dingin pun bertiup menggoyangkan ilalang-ilalang di sekitar mereka

 

Perlahan sunset datang.

 

Ketiga sahabat itu sudah meletakkan ransel carrier mereka dan duduk santai di atas rerumputan menikmati lembayung senja di puncak gunung. Tama mengangkat botol airnya, “Untuk persahabatan kita!” Gantari dan Hadyan ikut mengangkat botol minumnya juga. “Satu untuk semua, semua untuk satu!” Mereka pun menyatukan ujung botol minum mereka lalu meminum airnya.

 

“Ga berasa ya bentar lagi kita akan pisah,” kata Gantari sambil mengunyah sebatang coklat dari perbekalan yang mereka bawa. “Dunia perkuliahan sudah selesai … saatnya kita memasuki dunia yang sebenarnya … dari sini kita akan keluar dari kos, pulang ke kampung masing-masing …” ucap Tama.

 

 “Cari kerja … mungkin menikah … punya anak … sibuk dengan hidup masing-masing … apakah kita bisa seperti ini lagi nanti?” sambung Hadyan bertanya-tanya.

 

Gantari merangkul bahu kedua sahabat prianya itu. “Selagi di sini kita nikmati keindahan ini dulu bersama … yang jelas gue bangga punya sahabat kayak kalian berdua.” Tama dan Hadyan tersenyum. “Kita juga begitu Tar, iya ga Tam?” Tama mengangguk menyetujui ucapan Hadyan. Mereka bertiga menikmati sunset dan mengambil foto sebanyak yang mereka bisa.

 

“Eh sori … bukan mau mengganggu keakraban kalian …” terdengar suara seseorang dari belakang mereka. Mereka menoleh dan tampak seorang pria yang umurnya tak jauh dari mereka sedang berdiri tersenyum. “Nama gue Kevin … gue juga pendaki … gue bareng sama temen-temen gue, kita buka tenda di sebelah sana,” tunjuk pria yang bernama Kevin itu. Mereka melihat sekelompok orang yang tengah menikmati senja seperti mereka tapi jauh di sebelah sana. “Nah itu temen-temen gue,” cengir Kevin. Tama, Gantari dan Hadyan baru menyadari ternyata mereka tidak sendiri di puncak gunung ini.

 

“Ok Kev … gue Tama dan mereka berdua temen gue, Gantari dan Hadyan,” Tama memperkenalkan kedua sahabatnya. Gantari dan Hadyan mengangguk tersenyum. “Senang berkenalan sama kalian … gue kesini cuma mau ngingetin, sebelum gelap, sebaiknya kalian diriin tenda, sebelum udaranya makin dingin.” Kevin mengingatkan setelah itu ia kembali lagi ke teman-temannya. Hadyan menepuk jidatnya, “Ayo-ayo cepet kita bikin tenda, pantes tangan gue udah beku gini.”

 

Mereka bertiga pun bergegas mendirikan tenda lalu setelahnya mereka berebutan masuk ke dalam tenda mencari kehangatan. Kevin benar saat malam menjelang, udara menjadi begitu dingin. Setelah mengenakan jaket tebal, Hadyan menyalakan kompor portabel di depan tenda dan memanggang sosis. “Wah mantab!” Tama menggosok-gosok tangannya melihat sosis-sosis besar itu dipanggang. Gantari yang sudah berganti baju dan memakai jaket tebal keluar dati tenda. “Yan gue mau pipis … di gunung gini kalau mau pipis gimana ya?” bingung Gantari. “apa di botol plastik aja gitu?” Hadyan menggeleng cepat, “Jangan! Nanti jadi sampah kayak yang tadi siang kita kumpulin itu dong!”

 

“Tar, lo cari semak-semak … pipis atau bab aja langsung di situ udahnya lo tutup pake tanah, kayak kucing gitu … trus biar ga ada hewan mendekat saat lo buang hajat, bawa lampu badai atau senter … ati-ati bolu lo dipatok ular,” canda Tama. “Brengsek lu!” sebal Gantari yang pergi bergegas.

 

Malam itu langit cerah berbintang terang.

 

“Yan lihat.” Tama sedang merekam bintang-bintang di langit itu dengan teleponnya. “Cakep banget ya,” gumam Hadyan terkesima melihat ribuan bintang yang berkerlip tampak begitu dekat. “Sayang hape gue ga ada sinyal, kalau engga gue bisa bikin live betapa bagusnya bintang-bintang di atas puncak gunung ini,” kata Tama. “Sekarang gue baru paham, kenapa para pendaki itu mau bercapek-capek naik ke puncak gunung, karena kalau udah di sini semua terbayar.”

 

Hadyan mengangguk setuju dengan ucapan Tama itu lalu menyerahkan sebuah sosis panggang pada Tama. Setelah meniupinya supaya tak terlalu panas, Tama langsung mengunyahnya, “Hmmm, nikmat mana lagi yang kau dustakan … makan sosis panggang sambil ngeliat bintang.” Hadyan tertawa. “Eh Tam, lo ngerasa udaranya makin dingin banget ga sih?” ucap Hadyan merapatkan jaket dan hoodie tebalnya itu. “Namanya juga di gunung … ga aneh Yan,” sahut Tama, “makanya kita pake jaket tebel dan celana panjang.”

 

Tiba-tiba Kevin datang tergopoh-gopoh pada mereka. Membuat Tama dan Hadyan terkejut. “Sori Bro, gue ga bermaksud ngeganggu lagi … tapi ini ada kabar penting!” Kevin mengatakannya dengan gugup. “Tenang, tenang Kev … ada apa?” tanya Hadyan.

 

“Bro, kita semua harus pergi dari puncak gunung ini sekarang juga!”

 

Tama tertawa, “Jangan bercanda Kev! Kita baru sampe nih.”

 

 “Gue serius … kalau engga, kita semua bisa mati!”

 

“Apa?” kaget Hadyan.

“A … apa maksudnya dengan kita semua bisa mati Kev?” Hadyan terlihat bingung. “Ayolah Kev, lo jangan nakut-nakutin temen gue, lihat sekarang dia kayak yang bingung begitu tuh,” cetus Tama. “Begini … gue ga bermaksud nakutin kalian … tapi salah satu temen gue itu anak Basarnas, dia punya telepon mountable … telepon khusus pendaki tanpa sinyal … sehingga dia bisa komunikasi sama tim Basarnas yang ada di pos jaga bawah,” Kevin memulai penjelasannya.

 

“Terus?” Hadyan menatap Kevin dengan serius sedang Tama mendengarkan dengan acuh tak acuh sembari menikmati sosis panggangnya. “Dia dapat kabar kalau malam ini sampai dua tiga hari ke depan, di gunung ini akan terjadi badai besar!” lanjut Kevin. “Badai besar seperti apa Kev? Sebelum kesini gue udah riset cuaca di BMKG, kalau cuaca di gunung ini akan aman sampai seminggu ke depan … lihat, dari pagi kita naek sampai hari ini langit terlihat cerah ‘kan?” sahut Tama.

 

“BMKG itu baru prakiraan Tam … belum bisa dipastikan---“

 

“Apa yang tim Basarnas lihat juga masih prakiraan bukan? Kev … kita udah niatin buat naek gunung ini udah lama, sekaligus buat ngerayain kelulusan kita dan perpisahan kita … kita ga akan cancel acara kita yang udah lama kita rencanain ini hanya karena seseorang bernama ‘Kevin’ yang baru kita kenal, nakutin kita soal badai besar yang belum tentu terjadi, ok?” kesal Tama pada Kevin.

 

“Tama bener Kev … BMKG dan Basarnas baru prakiraan …” kata Hadyan. Kevin manggut-manggut, “Ok kalau begitu menurut kalian … tapi tolong perhatikan perubahaan alam yang ada di sekitar kalian, kalau ada yang berubah dan aneh buat kalian, seperti udara yang semakin membeku atau angin kenceng ga normal, segeralah turun … ini bukan buat gue tapi buat keselamatan kalian semua.” Setelah berkata itu Kevin melangkah pergi. Hadyan segera bangkit mengejar Kevin seraya membawa satu bungkus roti dan sosis.

 

“Eh Yan … itu perbekalan kita!” seru Tama lalu berdecak kesal. Hadyan tak memedulikan Tama. “Kev!” panggil Hadyan menyusul Kevin. “Makasih buat info lo ya, ini buat lo sama temen-temen di perjalanan turun.” Kevin menerima roti dan sosis itu, “Thanks Yan … tapi bekal lo aman ga?” Hadyan mengangguk, “Sori soal Tama ….” Kevin memegang bahu Hadyan, “Yan … ini buat lo dan temen cewek lo aja, Gantari … buat gue, Tama membawa pengaruh buruk ke kalian … sebaiknya kalian turun sebelum terlambat.”

 

“Lo belum kenal dia aja Kev … dia orangnya baik kok … lagian gue juga ga bisa ninggalin dia Kev … dan lihat cuacanya fine,” senyum Hadyan. “Ok … tapi kalau terjadi badai, semoga engga … lo turun ke Shangrila, cari tempat berlindung terendah dari petir, tunggu di situ … Shangrila adalah titik jemput pertama buat regu penolong,” jelas Kevin. Hadyan mengangguk lalu Kevin berlalu. Pada saat Hadyan kembali ke tenda, Gantari sudah duduk di sebelah Tama. “Kata Tama, Kevin dan teman-temannya mau turun malam ini Yan?” tanya Gantari seraya mengambil sosis dan mengunyahnya. “Hmm-mmm,” jawab Hadyan lalu melanjutkan memanggang sosisnya dan menambahkan roti.

 

“Lo percaya bakal ada badai malam ini?” tanya Gantari lagi. “Melihat langit cerah gini kayaknya engga deh,” jawab Hadyan meski di hatinya ragu. “Ah udah lupakan Kevin dan badainya, gimana kalau sekarang kita maen tebak-tebakkan publik figur lokal aja?” celetuk Tama. “Ok siapa takut!?” tantang Gantari. “Gue dulu ya … mmm … tiga kata, ‘abis digebukkin balikkan’ siapa hayo?!” Tama melempar tebakan. “Lesti!” seru Gantari dan Hadyan bersamaan. Mereka bertiga pun tertawa bersama lalu melanjutkan permainan itu sambil makan-makan di bawah bintang-bintang.  

 

 

 

***

 

 

 

Malam semakin larut. Ketiga sahabat itu telah tertidur di dalam tenda beralaskan matras dan bergelung hangat dalam sleeping bag masing-masing. Di langit, satu persatu bintang yang berkerlip perlahan hilang di telan awan gelap yang datang. Suara angin di luar tenda terdengar menderu-deru hingga menggoyangkan lampu badai yang digantung di dalam tenda. Udara dingin membuat Hadyan terbangun. Ia mencari sarung tangan dalam ransel carrier-nya lalu memakainya. Di sebelahnya Gantari dan Tama sedang tertidur. Hadyan mendengar suara angin itu dan melihat tendanya bergoyang-goyang.

Hadyan memutuskan untuk keluar tenda. Ia menggigil saat keluar tenda bahkan gabungan sarung tangan, jaket tebal, kemeja flanel dan kaos tidak menghalangi udara dingin itu untuk tetap menusuk tubuhnya. Suara gemerisik keras terus terdengar di sekelilingnya. Hadyan mengarahkan senternya untuk mencari tahu suara gemerisik apa itu. Dilihatnya ilalang-ilalang sedang bergoyang-goyang kencang dimainkan angin begitu juga pohon-pohon yang ikut doyong ke kanan dan ke kiri tanpa henti.

 

Di puncak gunung itu juga sudah tidak ada siapa-siapa lagi kecuali mereka bertiga. Kevin dan teman-temannya sudah sejak tadi membongkar tenda mereka lalu bergegas turun. Hadyan lalu mengecek pasak-pasak yang mengikat tendanya, ia khawatir angin sekencang ini akan mencabut paksa pasak-pasak itu. “Yan? Ngapain lo di luar?” tanya Gantari yang muncul di belakangnya. “Ngecek pasak Tar … gue takut tenda kita kebawa angin!” jawab Hadyan. Tiba-tiba suara petir menggelegar membuat terang puncak gunung itu sekaligus mengagetkan Hadyan dan Gantari.

 

“Ya Tuhan, ya Tuhan! Petirnya deket banget itu!” panik Gantari bercampur takut. Hadyan menatap langit di sekitarnya dan tiba-tiba ketakutan meliputinya. “Tar, kita harus turun sekarang juga, Kevin benar!” seru Hadyan yang bergegas masuk tenda begitu pun Gantari. Gantari merapikan matras dan melipat sleeping bag-nya dengan gugup. “Ga ada waktu buat itu Tar, tinggalin!” cetus Hadyan, “Tam bangun! Kita harus turun sekarang!” Tama mengucek-ngucek matanya.

 

“Ada apa, lo pada mau kemana?” heran Tama melihat Hadyan dan Gantari yang sudah memakai jas hujan dan menggendong ransel carrier mereka. “Kevin benar Tam!” sahut Hadyan. “Hadeh Kevin lagi,” sebal Tama. “Tam lo ga denger suara petir sekeras itu tadi?” timpal Gantari. “Suara petir keras di puncak gunung udah biasa kali ah … udah tenang aja sih,” sahut Tama akan tidur lagi. Hadyan dengan cepat menarik tangan Tama mencegahnya untuk tidur lagi, “Tam, kita harus turun sekarang! Langit di atas kita udah item pekat banget dan itu artinya awan badai udah di atas kita!”

 

Tak lama hujan satu persatu mulai turun dan dengan cepat menjadi deras diiringi angin kencang juga petir yang menggelegar. Barulah wajah Tama terlihat pucat. “Cepet beresin barang lo! Dan pake jas hujan lo, cepet!” seru Hadyan. Gantari bergegas keluar tenda. “Yan bantu gue rapihin barang-barang di luar dan bongkar tenda!”

 

Saat Hadyan dan Gantari keluar tenda, hujan deras dan angin kencang langsung menyambut mereka. Mereka harus berbicara keras untuk melawan ributnya suara angin dan hujan. “Ga ada waktu Tar! Udah tinggalin aja semua yang ada di luar!” teriak Hadyan. Gantari mengangguk. Tama yang baru keluar dari tenda, bengong tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Hujan deras, anging kencang dan gelegar petir yang tak henti menimpa mereka. “Ayo Tam!” teriak Hadyan.

 

Tama rmenyalakan senternya. Baru saja ia keluar dari tenda, angin kencang dengan cepat mengangkat pasak-pasak tenda dari tanah dan menerbangkan tenda mereka hinga hilang ditelan ke lembah gelap. Tama berdiri terkesima melihat itu, nyaris saja ia tergulung tenda dan terbawa ke dalam lembah. “Ayo kita pergi dari sini!” teriak Hadyan, “perbekalan udah dibawa semua Tar?!” Gantari mengangkat jempolnya lalu menyalakan senternya. Ketiga sahabat itu pun berjalan berdekatan menembus hujan deras dan angin kencang.

 

 

 

***

 

 

 

Di dalam hujan deras dan angin kencang, ketiga sahabat itu akhirnya berhasil meninggalkan puncak gunung. Kini mereka tengah kesulitan mencari jalan di dalam hutan. Hujan yang deras membuat jarak penglihatan mereka menjadi tak jauh. Cahaya yang menyorot dari senter tidak mampu menembus hujan yang rapat seperti dinding kaca. Air yang mengaliri tanah juga membuat mereka harus lebih berhati-hati dalam melangkah kalau tidak ingin terpeleset dan jatuh ke sisi kiri kanan mereka yang bisa jadi lembah dalam atau jurang yang menganga.

 

“Jangan jauh-jauh, jalannya deketan!” teriak Tama dari depan. Gantari yang berjalan di tengah-tengah terus mengusapi wajahnya yang tersiram air tak henti. “Tam! Lo apal jalannya ga?” teriak Hadyan dari belakang. “Apal! Cuma hujan sialan ini bikin pandangan gue jadi terbatas!” teriak Tama. “Lo mau gue di depan?” Hadyan menawarkan dirinya. “Ga usah, lo jaga di belakang aja!” balas Tama. Hadyan pun mengangguk. Petir menggelegar dengan cahaya yang menerangi dan sekilas Hadyan melihat ada jalan setapak di sebelahnya.

 “Tam berhenti! Lo salah lewat!” teriak Hadyan. Gantari terkejut mendengar itu begitu juga Tama. “Ga mungkin Yan!” seru Tama. “Lo ngelewatin rute jalannya Tam! Jalan setapak itu ada di sini! Lo malah lurus,” jelas Hadyan seraya menyorotkan senternya. Tama mendekati Hadyan lalu menajamkan matanya pada arah yang disorot senter Hadyan. “Itu hanya semak Yan!” cetusnya. Bahkan tiga senter yang menyorot pada arah yang sama hanya mampu menembus jarak yang tak jauh dan yang terlihat memang hanya semak-semak. Begitu lebatnya hujan yang turun.

 

“Gue yakin Tam, lo ngelewatin rutenya,” Hadyan bersikukuh. “Ga! Waktu kita naek tadi ga ada semak-semak di tengah jalan kayak gitu … kita lurus aja, nanti setelah dua jam berjalan kita akan belok ke kanan ketemu alun-alun Shangrila! Percaya sama gue Yan!” Tama berkata dekat pada wajah Hadyan. Hadyan terdiam. “Cepetan Gaes, jadi kita mau ke arah mana nih?” cetus Gantari. Hadyan mengangguk pada Tama. “Bagus,” kata Tama menepuk-nepuk pipi Hadyan. Mereka pun berjalan lagi mengikuti Tama.

 

 

 

***

 

 

 

“Tam, udah berapa jam kita jalan?” Gantari memegangi lututnya dengan wajah lelah. Tama terlihat menyorot-nyorotkan senternya ke segala arah. “Apakah kita nyasar Tam?” tanya Gantari lagi. “Ga … cuma rute jalan kita kehapus air yang ngalir deras ini, sialan!” maki Tama. “Berarti nyasar,” gumam Hadyan lalu mengajak Gantari untuk beristirahat. “Tam, kita istirahat dulu bentar!” teriak Hadyan. Tama mendatangi Hadyan dan Gantari yang tengah duduk. “Ok, istirahat sebentar …” kata Tama yang ikut duduk. Mereka bertiga duduk di bawah guyuran hujan yang tampaknya tidak akan mereda.

 

“Kita harus segera ketemu alun-alun Shangrila Tam, karena di situ mudah ditemui regu penolong dan lebih aman karena tanahnya landai, kalau di sini tanahnya menurun, bisa longsor,” kata Hadyan. “Ya ya gue tahu itu … cuma air menghapus rute kita waktu naik tadi!” kesal Tama.

 

“Bilang aja lo nyasar Tam … kita bisa balik lagi dan---“

 

“Yan! Balik lagi? Kita udah jalan beberapa jam, kalau balik lagi itu membuang waktu dan energi kita!” teriak Tama. Hadyan diam. “Kita ga nyasar tenang … kalian harus percaya gue … sama seperti kalian percaya sama gue waktu kita naek … gue udah buktikan bukan?” kata Tama. Suara petir terdengar menyambar keras dan menyala terang di belakang mereka disusul suara pohon yang berderak patah. Semua menjerit terkejut dan berdiri. “Gila! Petir nyamber pohon!” seru Gantari memegangi dadanya yang berdegup kaget akan suara keras petir tadi.

 

“Makanya kita ga bisa lama-lama di sini, pohon-pohon ini bisa menimpa kita kalau petir menyambar!” pungkas Tama. Tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar perlahan. Semua saling menatap. Getaran itu semakin kencang dan menjadi suara gemuruh keras. “Gempa?” tanya Gantari. Hadyan menggeleng saat melihat ke belakang mereka dan melihat asal suara gemuruh itu. “Bukan! Longsor! Lari!” teriak Hadyan panik. Maka Gantari dan Tama pun berlari secepat yang mereka bisa.

 

Ketiga sahabat itu berlari di bawah guyuran hujan dan kejaran longsoran di belakang mereka yang menggulung apa pun yang ada di depannya. Seperti monster raksasa yang menelan semua tanpa pilih-pilih. “Cepat! Cepat!” Tama berlari sambil menyoroti jalan di depannya. Hadyan berlari melompati bebatuan dan akar pohon, ia berusaha fokus pada cahaya senternya. Sedang Gantari menjadi yang paling belakang, tertinggal oleh kedua sahabatnya. Kakinya menjejak lemah tapi ia terus paksakan berlari, ia tak mau digulung dan ditelan monster raksasa di belakangnya itu.

 

Nahas, sebuah akar pohon tak sempat dilompati Gantari. Kakinya tersandung membuatnya jatuh berguling-guling. Senter yang digenggamnya terlepas dari tangan Gantari memantul-mantul dan pecah menghantam pohon. “Tam! Tari jatoh!” teriak Hadyan. Ia segera mengejar Tari yang berguling-guling lalu menangkapnya cepat. Tama melompat ke belakang pohon besar untuk berlindung. “Yan ke belakang pohon itu!” teriak Tama. Hadyan menyeret Gantari ke belakang pohon besar yang berada di dekatnya, bertepatan dengan tanah longsor yang datang menggulung. Suara gemuruh itu terdengar memekakkan telinga. Hadyan dan Gantari berpelukan saling melindungi di balik pohon. Tama berjongkok melindungi kepalanya. Tanah bergetar hebat. Longsoran yang membawa berbagai material berat seperti bebatuan dan batang-batang pohon itu melewati mereka. Pohon besar itu melindungi mereka.

Beberapa saat kemudian longsor itu berhenti bersamaan dengan hujan yang mereda. Hadyan dan Gantari duduk lemas bersandar pada batang pohon yang besar itu. Mereka masih tak percaya mereka berhasil lolos dari longsor terganas yang pernah mereka lihat. Kini di sekeliling mereka semua tampak berantakan dipenuhi tanah yang menumpuk menjadi satu dengan bebatuan dan batang pohon. Tama muncul dari tumpukkan itu.

 

“Yan, Tar … kalian ga apa-apa?” tanyanya lalu bergabung bersama Hadyan dan Gantari di belakang pohon. “Sori gue terlalu jauh dari lo Tar jadi gue ga bisa nangkep lo,” kata Tama. “Gue tahu Tam … untung ada Hadyan,” Gantari menepuk-nepuk bahu Hadyan, “thanks Yan.” Hadyan mengangguk-ngangguk, “Thanks juga buat lo Tam, ngingetin gue buat ke belakang pohon.” Tama mengangguk.

 

“Sekarang gimana? Udah pasti kita akan nyasar, rutenya kegerus longsor,” hela nafas Hadyan. “Ga rute doang yang kegerus … tapi isi carrier gue juga,” Gantari menunjukkan ransel carrier-nya yang sobek besar hingga mengosongkan isinya. “Dan setengah dari perbekalan kita juga hilang, sori Gaes …” Gantari menundukkan kepala. “Ya Tuhan, ga setengah Tar … tapi itu semua … karena carrier lo emang buat naro bekal kita bukan?” Tama mengusap-ngusap wajahnya kesal. Gantari semakin merasa bersalah. “Udah ga usah minta maaf Tar … carrier dan isinya itu malah menyelamatkan punggung lo dari benturan sama batu dan tanah tadi …” senyum Hadyan menghibur.

 

“Berapa banyak perbekalan yang kita punya sekarang Yan?” tanya Tama. “Di gue cuma ada satu batang coklat dan satu botol air,” jawab Hadyan setelah mengeluarkan isi ransel carrier-nya. “Dan lo sok-sokan ngasih bekal ke Kevin semalam,” sinis Tama. “Tam … gue ngasih ke Kevin karena saat itu bekal kita masih banyak di carrier-nya Tari, mana gue tahu kalau hal ini akan terjadi?” kesal Hadyan.

 

“Udah, udah jangan ribut … kita coba bertahan dengan yang kita punya aja … gue yakin Kevin dan teman-temannya kalau sampe bawah akan ngasih tahu ke pos jaga dan mereka akan kirim bantuan untuk cari kita,” kata Gantari.

 

“Tari betul … tapi sepertinya kita sudah keluar jauh dari rute pendakian gara-gara longsor, ini akan menyulitkan pencarian mereka, jadi kita harus balik dan cari rute ke Shangrila,” ujar Hadyan berdiri dan menggendong ransel carrier-nya. “Ya gue setuju,” sahut Tama, “sekarang silakan lo yang mimpin di depan Yan.” Hadyan dan Gantari menatap Tama. “Lo yakin?” Gantari ingin memastikan. Tama mengangguk. “Kita gantian aja Tam, kalau gue capek nanti lo yang nge-lead,” kata Hadyan. Tama mengangguk lagi.

 

Mereka berjalan melanjutkan pencarian mereka akan rute menuju alun-alun Shangrila. Tanpa sepengetahuan Hadyan dan Gantari, di belakang mereka Tama mengeluarkan dua buah sosis dari kantong jaketnya. Satu ia simpan lagi di kantong dan satunya lagi dikunyahnya tanpa suara.

 

 

 

***

 

 

 

“Yan, perasaan dari tadi kita masih muter-muter di sekitar sini deh,” kata Tama. “Iya lo bener Tam … longsor tadi merubah posisi pepohonan …gue jadi ilang arah,” Hadyan mengacak-ngacak rambutnya kesal. “Sebaiknya kita istirahat dulu deh Yan, menunggu pagi, biar lebih terang,” saran Gantari. “Kita istirahat di sini, di belakang pohon ini, besok pagi kita lanjut, dan siapa tahu hape kita udah dapet sinyal,” kata Hadyan.

 

Gemuruh petir masih terdengar meski hujan sudah berhenti. Sisa-sisa air hujan masih menetes dari daun-daun dan udara dingin tetap menusuk tulang. Gantari menyandarkan tubuhnya, ia meringis seluruh tubuhnya terasa sakit begitu pun kakinya dan dengan pakaian yang basah, ia mencoba memejamkan matanya. “Gue yang jaga duluan Yan, lo tidur, ntar gantian ,” cetus Tama. “Ok, dua jam Tam,” sahut Hadyan yang bersandar di sebelah Gantari.

 

Tak lama, Gantari dan Hadyan telah terpejam dengan wajah kelelahan. Tama membuka tutup botol minumnya dan minum, lalu tangannya merogoh perlahan ke dalam ransel carrier-nya lalu menyuapkan sesuatu ke dalam mulutnya, sambil mengunyah ia melanjutkan berjaga dalam gelap. Ia tak ingin menyalakan senternya karena tak mau mengundang hewan liar untuk datang. Iseng-iseng Tama mengecek teleponnya. Fak, lobet! Umpatnya dan menyimpannya lagi.

 

Ia menatap sekelilingnya yang gelap dengan mata waspada. Ia memperhatikan satu semak-semak di depannya, instingnya mengatakan ada sesuatu di balik semak-semak itu yang juga sedang menatapnya. Tiba-tiba bunyi gemerisik terdengar pada semak itu membuat Tama terkejut. Dugaannya benar ada sesuatu di situ! Tama menyalakan senternya. Cahayanya menyorot dan ada sesuatu yang bergerak menggoyangkan semak lalu berpindah cepat.

 

Tama terkesiap dan seketika menjadi tegang. “Yan, Yan … bangun,” bisik Tama menggoyangkan kaki Hadyan. Hadyan membuka matanya, “Udah waktunya gue jaga ya?” Tama menggeleng. “Pssst … di depan kita kayaknya ada binatang,” bisik Tama. Hadyan terkejut, “Hah?!” Gantari ikut terbangun, “Ada apa?” Hadyan memberi tanda pada Gantari untuk bicara perlahan. “Ada binatang,” bisik Hadyan. “Binatang apa?” Gantari menjadi takut. Tama menyorotkan senter pada semak-semak yang bergoyang di dekat mereka.

 

Terdengar suara geraman liar yang berat dari balik semak itu. “Ya Tuhan,” tercekat suara Gantari yang sudah bisa menduga hewan apa itu yang sedang mengendap di balik semak-semak. Ketiga sahabat itu menjadi tegang ketika mendengar langkah kaki binatang itu mendekat dan perlahan-lahan semak-semak itu terkuak memunculkan wajah sebuah hewan buas yang paling ditakuti di hutan.

 

Hewan buas itu menatap mereka, menggeram dan siap menyerang.

“Harimau Jawa,” gemetar Gantari saat menyebut nama hewan itu. Dengan wajah tegang, tangan Hadyan mencari-cari dalam ransel carrier-nya. Harimau itu mendekat merendahkan tubuhnya menandakan ia akan melompat. “Apa yang harus kita lakukan?” Tama menjadi gugup dan tangannya gemetar memegang senter. Jemari Hadyan menemukan apa yang dicarinya. Ia segera mengeluarkan tabung gas kaleng portable itu di tangan kanan dan sebuah korek gas di tangan kirinya.

 

Harimau itu menggeram keras. Dan sebelum melompat, Hadyan dengan cepat sudah lebih dulu menyalakan korek gas di tangan kirinya serta menyemprotkan gas dari tabung kaleng gas portable itu. Maka terciptalah sebuah lidah api yang menyembur panjang ke arah harimau. “Pergiiii!!” teriak Hadyan sambil terus menyemprotkan gasnya. Melihat api yang menyembur membuat harimau itu dengan cepat berlari menghilang ke dalam kegelapan hutan. Setelah itu Hadyan bersandar lemas sekaligus lega karena terlepas dari ancaman si raja hutan. Begitu juga Gantari dan Tama.

 

“Hufffhhhh,” hela nafas Tama lalu mengangkat jempolnya untuk Hadyan. Gantari menepuk-nepuk bahu Hadyan, berkata lega, “Untung lo bawa tabung gas cadangan.” Tama berdiri, “Sebaiknya kita terus bergerak … gue takut kalau kita beristirahat dan diam akan menjadi sasaran empuk buat hewan buas lagi.” Gantari dan Hadyan pun setuju. Mereka melanjutkan langkah mereka lagi di tengah hutan yang masih gelap gulita.

 

 

 

***

 

 

 

Hadyan mengeluarkan sebatang coklatnya lalu membaginya pada Gantari dan Tama. Sejak terakhir mereka memanggang sosis, mereka belum makan apa-apa lagi, kini perut mereka terasa begitu lapar. Tama langsung menghabiskan coklat itu setelah menerimanya dari Hadyan. “Cuma tinggal itu bekal kita, tolong diirit … semoga saat ini regu penolong sudah mencari kita dan kita ga perlu kelaparan terlalu lama,” kata Hadyan yang hanya menggigit ujung coklatnya lalu menyimpannya lagi di kantong celana kargonya begitu juga Gantari.

 

Mereka melanjutkan berjalan, Hadyan melihat wajah Gantari yang semakin pucat. “Lo ga apa-apa Tar?” Gantari menggeleng, “Ga apa-apa gue cuma butuh mengistirahatkan kaki gue bentar.” Hadyan mengarahkan senternya pada sepatu Gandari yang ternyata rusak dan sudah terbuka alas sepatunya. “Ya Tuhan, sepatu lo jebol!” kaget Hadyan, “coba Tar lo duduk dulu.” Hadyan memeriksa kaki Gantari. Tama menyenterinya. Sepatu dan kaus kaki Gantari perlahan dilepaskan Hadyan. Gantari meringis menahan sakit.

 

 Hadyan menahan nafasnya melihat kondisi telapak kaki Gantari yang sobek dan berdarah itu. Tama menggelengkan kepalanya. “Sepatu lo rusak waktu jatoh kena longsor bukan? Dan sejak itu lo jalan cuma beralaskan kaos kaki doang? Ya ampun Tar! Kenapa lo ga ngomong sih?!” kesal Hadyan. “Gue ga mau nambahin beban kita yang udah berat ini,” kata Gantari. “Lo masih bisa jalan ‘kan?” tanya Tama. Gantari mengangguk meski ragu. “Tam! Lo gila apa, kondisi kaki dia udah parah, dia harus diobatin dulu, minimal pake sepatu!” seru Hadyan.

 

“Udah-udah … Tam, Yan jangan ribut … baydewei kita ini sudah berjalan berjam-jam, seharusnya kita sudah semakin turun dan hape kita bisa dapet sinyal, coba cek hape kalian deh … gue ga bisa, hape gue ilang kebawa longsor,” sesal Gantari. Tama menunjukkan teleponnya yang habis baterai dan ternyata begitu juga dengan telepon Hadyan. “Arrgh!” kesal Gantari melihat semua alat komunikasi yang mereka miliki mati. “Bukannya kita bawa power bank? Mana?” tanya Tama. Gantari dan Hadyan diam.

 

“Jangan bilang power bank juga ada di ransel Gantari yang sobek?” Tama menatap kedua sahabatnya itu. Gantari mengangguk. “Ahhh Fak!” umpat Tama seraya menendang-nendang meluapkan kekesalannya sambil berteriak-teriak. “Tam! Tenang!” hardik Hadyan. Tama mendekat pada Hadyan dengan marah menarik jaketnya hingga wajah mereka berdekatan, “Tenang? Lo nyuruh gue tenang?!” Gantari berusaha memisahkan mereka. “Tam ayolah lepasin,” tapi cengkeraman Tama terlalu kuat.

“Denger Yan, gimana mau tenang? Sekarang kemungkinan kita untuk ditemukan regu penolong kecil karena mereka ga bisa ngelacak lewat hape kita … kita ga tahu kita ada di mana, kita ga punya perbekalan, ada Harimau Jawa yang bisa jadi dia sedang menguntit kita dan bisa menyerang kita kapan saja! Dan sekarang Gantari ga bisa jalan, trus lo nyuruh gue tenang hah?!”

 

Hadyan hanya diam tidak meladeni kekesalan Tama. “Tama udah diam!!” jerit Gantari hingga suaranya bergema di kegelapan hutan. Tama melepaskan cengkeramannya dan berjalan kesal. “Lo mau kemana Tam?” Gantari menatap Tama. “Kalian tunggu di sini, gue akan cari bantuan!” sahut Tama. “Tam! Kita harus terus bareng!” Tama tidak memedulikan apa yang dikatakan Gantari. “Tam! Gue bisa jalan kok!” teriak Gantari tapi Tama telah menghilang dalam kegelapan. Gantari menghela nafas tak bisa melakukan apa-apa lagi.

 

“Satu untuk semua, semua untuk satu tai kucing!” gerundel kesal Hadyan seraya membuka sepatunya. “Yan ngapain lo buka sepatu? Yan!” Hadyan tak banyak bicara. Ia memakaikan kaus kakinya pada kaki Gantari yang berusaha menolaknya dengan menarik kakinya. “Tar, tolong … gue udah ribut sama Tama … gue ga mau ribut sama lo juga, jadi lo tolong nurut aja deh,” tegas Hadyan. Gantari terdiam dan akhirnya tak menolak ketika Hadyan memasangkan kaus kaki beserta sepatunya pada kakinya. “Setidaknya ini mengurangi luka di telapak kaki lo bertambah parah,” ujar Hadyan seraya mengingkat tali sepatunya. “Thanks Yan,” ucap Gantari, Hadyan mengangguk.

 

“Kegedean ya? Tapi lebih bagus dari pada ga pake sepatu,” cengir Hadyan memandangi sepatunya di kaki Gantari. “Trus lo pake apa Yan? Ntar malah kaki lo yang luka,” cemas Gantari. Hadyan mengeluarkan dua kaos tebalnya dari carrier lalu membebatkannya kuat-kuat pada kedua kakinya dengan tali. “Lihat keren ‘kan? Sepatu keluaran terbaru merk Hadyan shoes, desain haute couture,” canda Hadyan seraya memamerkannya pada Gantari.  Gantari tertawa.

 

“Lo bisa jalan pelan-pelan?” tanya Hadyan. “Pelan-pelan? Jalan cepat juga bisa kok,” cetus Gantari yang lalu berdiri dan berjalan cepat tapi dengan cepat wajahnya meringis kesakitan. “Ok jalan pelan aja kalau gitu,” ucapnya. Hadyan tertawa. “Ayo kita susul si tukang ngambekan itu.”

 

 

 

***

 

 

 

“Tam!” panggil Hadyan mencari sahabatnya. “Kemana sih dia itu?” kesal Gantari. “Sok-sok-an mau nyari bantuan … dia sendiri ga tau kita ada di mana bukan? … Lagian kayak dia udah pengalaman naek gunung aja ya? Padahal cuma tahu gunung dari riset doang,” kesal Hadyan seraya menyorotkan senter ke sekelilingnya.

 

“Sekarang jam berapa ya?” tanya Gantari. “Gue ga pake jam, kenapa gitu?” tanya Hadyan. “Sejak kita turun dari puncak itu sudah berjam-jam … seharusnya sih udah subuh atau pagi menurut gue … tapi kok masih gelap?” heran Gantari melihat ke atas. Hadyan menyorotkan senternya ke dahan-dahan gelap pohon-pohon besar dan tinggi itu. Gantari menjerit menarik tangan Hadyan.

 

“Ada apa Tar?” kaget Hadyan.

 

“Lo ga tau apa, kalau di gunung atau di hutan itu jangan nyenter ke pohon-pohon!” panik Gantari. “Kenapa emang?” bingung Hadyan. “Pamali … ini salah satu hal yang ga boleh dilakukan oleh pendaki,” lanjut Gantari. “Iya tapi kenapa?” Hadyan penasaran. “Karena pohon-pohon itu rumahnya makhluk halus hutan dan gunung, kalau lo senter, mereka akan terganggu dan bisa jadi, di pohon-pohon itu kita akan melihat sesuatu yang menyeramkan,” jelas Gantari. Hadyan mencolek bahu Gantari, “Menyeramkannya kayak gini bukan?” Gantari menoleh dan menjerit ketika melihat wajah Hadyan yang disorot senter dari bawah dagunya itu.

 

“Brengsek Yan! Gue ga bercanda!” kesal Gantari meninju bahu Hadyan yang tertawa. Gantari menunjuk, “Eh Yan tuh di depan ada cahaya senter, pasti si Tama!” Hadyan melihat sorot cahaya senter itu juga. Mereka pun bergegas mengejarnya. “Tam!” panggil Hadyan. Tama menoleh, “Akhirnya nyusul juga!” lalu melihat pada kaki Gantari dan Hadyan. “Bagus, jadi kita bisa lanjut cari jalan ke alun-alun,” ucapnya singkat. Mereka pun melanjutkan langkah mereka. Baru beberapa saat berjalan mendadak mereka bertiga terdiam melihat ke depan.

 

“Apa itu?” tanya Gantari. “Kayaknya kabut,” jawab Hadyan. Di depan mereka tampak kabut yang turun memenuhi hutan. Dalam hitungan detik kabut yang awalnya tipis itu berubah menjadi tebal pekat putih seperti air susu. Kabut itu menghalangi jalan mereka. Gantari merasa gentar melihat kabut setebal itu di depannya.

 

“Tam, lo yakin kita mau masuk ke kawasan berkabut tebal itu?” bisik Hadyan merasa gentar juga. Tama mengangguk, “Ya mau kemana lagi? … Sekarang setiap jengkal di hutan ini tertutup kabut tebal, kita ga bisa cari jalan lain.” Tama mengeluarkan tali dari ransel  carrier-nya lalu mengingkatkan di pinggangnya dan menyerahkan sisa talinya pada Gantari. “Ikat pinggang lo juga dengan tali ini, lo juga Yan, supaya kita ga terpisah dalam kabut,” jelas Tama.

Gantari mengikat pinggangnya dengan tali yang menyambung ke pinggang Tama itu, kemudian Hadyan melanjutkan mengingkat pinggangnya dengan tali yang menyambung ke pinggang Gantari. Kini mereka bertiga sudah saling terikat. “Siap?” Tama melangkah diikuti Gantari dan Hadyan. Bagai tirai putih yang disibakkan, mereka pun berjalan berbaris memasuki kabut

 

Kini mereka telah berada di dalam kabut.

 

Di sekeliling mereka yang tampak hanya warna putih pekat mengambang, mereka tidak bisa melihat ke depan bahkan mereka tidak bisa melihat tangan mereka sendiri. Begitu pun dengan cahaya senter yang hanya bisa menyorot sejauh setengah meter tak bisa menembus ketebalan kabutnya.

 

“Tam gue takut,” bisik Gantari yang tak bisa melihat apa-apa dan hanya bisa mengikuti tarikan tali di pinggangnya setiap kali Tama bergerak. “Kita semua juga takut, tapi kita harus terus berjalan,” sahut Tama. Mereka berjalan perlahan. Beberapa kali mereka tersandung batu atau akar pohon.

 

“Tam, apa sebaiknya kita ga berhenti dulu menunggu kabut hilang?” celetuk Hadyan dari belakang. “Betul Tam, sejauh mata memandang cuma ada kabut, gue takut kalau ada jurang, kita bisa kejeblos sama-sama,” timpal Gantari. “Ok deh,” jawab Tama, “kita langsung duduk aja di sini, bikin lingkaran, duduk bersila dan lutut kita saling nempel ya.”

 

“Kenapa harus nempel Tam?” tanya Gantari berbisik.

 

“Kalau ada jarak, takut ada makhluk gaib penghuni hutan yang ikutan duduk nanti,” bisik Tama. Gantari dengan cepat menempelkan lututnya pada Tama dan Hadyan. Mereka duduk bersila tak bicara. Kabut tebal masih menjadi penyekat pandangan mata mereka. “Gaes, tahu ga, seumur-umur baru kali ini gue berada dalam kabut dan bicara tapi ga keliatan lawan bicaranya,” kata Gantari memecah keheningan. “Gue juga baru ngerasain berada di dalam kabut tebal gini ternyata mengerikan juga ya,” timpal Hadyan.

 

“Eh … sori kalau tadi gue menyebalkan,” celetuk Tama. Gantari dan Hadyan terdiam. Mereka tak menduga Tama akan meminta maaf seperti itu. “Ga apa-apa Tam,” kata Gantari. “Tapi lo memang harus kurang-kurangin sifat egois lo itu sih Tam,” sahut Hadyan. “Yan!” Gantari mencolek lutut Hadyan memberi tanda untuk tidak memulai perdebatan lagi. “Maksud lo gimana Yan?” Tama terdengar tak suka mendengar ucapan Hadyan itu.

 

“Maksud gue udah jelas kali … lo itu kekanak-kanakkan, mau menang sendiri, ga sabaran dan lo tadi mau ninggalin kita di sini ‘kan? Lo mau pergi sendirian karena lo tahu Gantari ga bisa jalan,” urai Hadyan.

 

“Jadi itu yang ada dalam pikiran lo? … Gue itu mau nyari bantuan karena gue tahu Gantari ga bisa jalan maka gue berinisiatif pergi sendiri, ga kayak lo yang ga berani pergi sendirian lalu sok tampil jadi pahlawan!” balas Tama.

 

“Duh Gaes … udah dong plis … apa ga bisa ngobrolin hal lain kaya waktu kita seneng-seneng di puncak gunung waktu itu?” pinta Gantari yang khawatir kedua sahabatnya ini akan berkelahi. “Jadi pahlawan? Gue hanya ingin nolong temen, bukan pengen jadi pahlawan! Lo ‘tu yang tiba-tiba sok mimpin padahal ga ada dari kita yang minta lo untuk jadi pemimpin!” Hadyan tak mau kalah.

 

“Baru tahu gue kalau Hadyan yang gue kenal ternyata ceriwis juga, mulutnya kek perempuan!” ketus Tama. “Gue juga baru tahu kalau Tama itu ternyata seegois ini! Berasa paling hebat di antara kita!” balas Hadyan.

 

“Gaes! Diam!” bentak Gantari seraya mencengkeram lutut kedua sahabatnya itu. “Ada sesuatu yang mengendus-ngendus punggung gue!” Tama dan Hadyan mendadak diam mendengar ucapan Gantari itu. Suasana menjadi hening. Kabut tebal masih menggantung diam tak mau pergi. Tama bisa mendengar suara-suara yang mengendus-ngendus itu. “Babi hutan,” bisik Tama. Gantari dan Hadyan terkesiap. “Gue harus gimana?” Gantari menelan ludahnya karena babi hutan itu kini mengendusi leher belakangnya.

 

Jemari tangan Gantari yang gemetar bisa dirasakan Tama dan Hadyan di lutut mereka. “Diam aja Tar, jangan melakukan gerakan yang akan membuat babi itu terkejut, dia bisa menanduk lo dengan taringnya,” bisik Hadyan. “Duh Gaes, babi ini nyium-nyium kepala dan pipi gue sekarang …” Gantari gemetar merasakan bulu-bulu kasar babi itu bergesekan dengan pipinya. Babi itu menyundul-nyundul tubuh Gantari seakan memancingnya untuk bergerak tapi Gantari diam memejamkan mata, ia tak mau bergerak sedikit pun meski dalam hatinya ia ingin lari tunggang langgang.

Kini babi hutan itu berpindah dan menguik di telinga Tama. “Anjing! Dasar babi! sekarang dia ke gue!” Babi hutan itu mengendus-ngendus tubuh Tama lalu menguik-nguik kencang membuat kaget mereka bertiga. “Kenapa dia?” heran Hadyan. Babi itu mulai menanduk-nanduk tubuh Tama sama seperti yang dilakukannya pada Gantari tapi kali ini diiringi suara menguik yang berisik. Tama baru ingat kalau di kantong jaketnya ia mengantongi satu buah sosis. Maka dengan cepat Tama mengeluarkan sosis itu dan betul saja babi itu mencium bau sosis dan mulai menanduk Tama dengan lebih keras seakan meminta bagian. “Kenapa sih si babi ini? Berisik sekali!” cetus Hadyan. Tama segera melemparkan sosis itu entah kemana karena dia sendiri tidak bisa melihat arah lemparannya yang tertutup kabut, tapi dengan cepat babi hutan itu mengejar sosisnya.

 

“Babi itu pergi ya? Kenapa?” tanya Gantari dengan hati lega. “Ga perlu tahu kenapa, yang penting sekarang kita harus pergi dari sini, sebelum babi itu balik lagi!” seru Tama. Mereka pun berdiri bersamaan. “Tapi masih kabut,” cemas Gantari. “Lo mau nembus kabut atau mau diem di sini tapi diseruduk babi?” tanya Tama. “Iya, iya … kita nembus kabut aja!” jawab Gantari cepat. Maka mereka bertiga berjalan tergesa meski dengan meraba-raba karena ingin cepat keluar dari wilayah babi hutan itu. Sedang di belakang mereka suara babi hutan itu sudah terdengar kembali. “Cepet, cepet,” panik Hadyan yang berada paling belakang. Beberapa kali langkah mereka terantuk batu dan kepala mereka terbentur pohon, mereka tak peduli, mereka terus berjalan tak mau bertemu babi itu lagi.

 

Kabut mulai menipis.

 

Pada saat itulah tanpa tanda dan aba-aba, Hadyan yang tak menyadari kalau di sampingnya jurang, terperosok jatuh menyeret Gantari dan Tama. Mereka bertiga berteriak. Jurang yang curam itu menarik mereka bertiga ke bawah. Mereka berguling-guling. Dahi Gantari terbentur batu sedang ransel carrier Hadyan terlepas putus dari bahunya. Mereka bertiga terus berguling jatuh hingga Tama dan Gantari berhasil meraih pegangan pada akar dan bebatuan yang menonjol di dinding jurang sehingga menghentikan jatuh mereka.

 

Beruntung bagi Gantari dan Tama yang masih berada di dinding jurang, mereka bisa berpegangan pada bebatuan dan akar pohon yang menonjol itu. Nahas bagi Hadyan yang berada paling bawah, ia tergantung bebas tak ada pegangan dan di bawahnya terlihat jurang yang gelap menganga. “Tolong gue!” teriak Hadyan. “Bertahan Yan!” teriak Gantari. Tali yang meregang antara pinggang Gantari dan Hadyan itu bergesek-gesek dengan batu membuatnya menipis.

 

“Yan, diam! Tali lo bisa putus!” teriak Tama dari atas. Gantari menahan sakit di pinggangnya yang tertarik kuat oleh tubuh Hadyan itu. “Ok, terus gue harus gimana? Tolongin gue,” wajah Hadyan memucat. Gantari berusaha menarik tali Hadyan tapi tak bisa karena tubuh Hadyan yang berat. “Yan coba lo manjat talinya pelan-pelan sampai lo bisa meraih dinding jurang itu!” tunjuk Gantari. Hadyan menaiki talinya. Gantari memejamkan mata menahan sakit pinggangnya dan tangannya yang mencengkeram kuat pada bebatuan tapi tarikan Hadyan akhirnya membuat Gantari menjerit tak kuat karena pinggangnya terasa dipelintir. “Stop, stop Yan lo bisa matahin pinggang Tari dan menarik kita semua jatuh ke dalam jurang!” teriak Tama. Hadyan pun tak meneruskan usahanya.

 

Tiba-tiba hujan turun dengan deras lagi.

 

Gelegar petir terdengar lagi.

 

“Gimana ini?” tanya Gantari gemetar tak kuasa menahan sakitnya lagi. Tama tak bisa menjawab pertanyaan Gantari itu, ia juga kebingungan. Tanah tebing mendadak bergerak tergerus air hujan. Gantari menjerit panik merasakan tebing itu bergerak. Hadyan tahu situasinya tak bagus. “Tam, Tari … dari pada kita semua jatuh, sebaiknya gue aja,” Hadyan mengeluarkan pisaunya. “Yan jangann!! Kita bisa cari cara!” teriak Gantari. Tama hanya diam tak bisa berkata. Tanah itu bergerak lagi. Hadyan tiba-tiba tertawa, “Hey Tam … lo bilang gue sok pahlawan bukan? Lihat, kali ini gue memang pahlawan Tam, karena gue menyelamatkan kalian,” lalu Hadyan menyabetkan pisaunya untuk memotong talinya hingga putus.

 

“Hadyaaan!!” jerit Gantari ketika melihat Hadyan melayang jatuh ke dalam jurang. Tama menunduk. Hujan semakin deras. Tanah tebing itu pun bergerak kali ini lebih kencang. “Tari ayo naik sebelum tebing ini longsor!!” teriak Tama menyadarkan Gantari yang sedang menangis. Mereka berdua merayap pada batu-batu dan akar pohon hingga sampai di atas tebing. Sesampainya di atas Gantari menangis lagi dan Tama hanya berdiri terpaku. Kemudian dinding itu pun longsor jatuh ke dalam jurang

 

 

 

***

“Seharusnya ini sudah pagi,” kata Gantari dengan mata sembab sambil berjalan, “tapi kenapa matahari tak bersinar di sini?” Tampak Gantari dan Hadyan sedang berjalan lemah. Wajah mereka kusut, pakaian mereka kotor dan sobek di sana sini. Hujan sudah berhenti meski masih menyisakan mendung yang menggantung. Tama melihat ke atas. “Dengan pohon lebat seperti ini saat matahari bersinar saja ga akan terlalu terang apalagi mendung begini Tar.” Tama melihat luka pada dahi Gantari. “Jidat lo ga apa.apa?” Gantari hanya diam tak merespon. Mereka terus berjalan.

 

“Tam … menurut gue … Hadyan masih selamat,” lontar Gantari setelah mereka diam cukup lama. “Gue juga berharap begitu tapi kita bertiga bukan pendaki berpengalaman Tar … gue ga mau mematahkan harapan lo … Hadyan ga tahu cara-cara untuk bertahan hidup di gunung, jadi tipis kalau dia bisa selamat,” urai Tama.

 

“Gue lapar Tam,” lirih Gantari.

 

Tama mengambil botol minum dari dalam ransel carrier-nya. “Air kita habis … bentar kita minum air embun dulu setelah itu baru kita cari makanan, ayo …” ajak Tama bergegas menuju rimbunan dedaunan lebar, meninggalkan botol minumnya dan ransel carrier-nya yang terbuka. Gantari melihat sebuah bungkus plastik menyembul keluar dari dalam ransel carrier tersebut.

 

Tama melihat daun-daun lebar yang di atasnya terdapat sisa-sisa air embun itu. Ia pun meminum air dari daunnya. “Tar sini … lo harus ngerasain air embun ini … rasanya menyegarkan.” Tama menoleh dan melihat Gantari akan memetik buah-buahan berwarna merah yang tumbuh di semak-semak. “Jangan Tar! Jangan lo makan buah itu! Itu beracun!” Tama memperingatkan kemudian meminum kembali air-air embun itu.

 

“Tar, sini lo harus minum air embun ini.”

 

“Apa ini Tam?”

 

Tama menoleh mendengar pertanyaan Gantari itu dan terkejut melihat Gantari sedang memegang sebungkus roti gandum di tangan kanannya dengan wajah marah. Tama gelagapan menjawab, “Mmm … itu … itu bisa gue jelasin Tar.”

 

“Ga perlu! Hadyan ternyata benar, lo memang egois dan mau cari selamat sendiri! Lo ngumpetin roti ini buat diri lo sendiri ‘kan? Padahal lo tahu gue lapar … dan lo inget, waktu kita sama-sama kelaparan? Sampai Hadyan mau membagi coklatnya dan lo juga makan itu coklat, tapi lo ga mau ngebagi roti ini!!” teriak Gantari.

 

   “Gue lupa kalau punya roti ini Tar … tadinya gue memang menyimpan roti ini buat kita kalau keadaan genting,” Tama memberi alasan. “Lo ga bisa dipercaya! Apa lo juga sengaja ga mau nolong Hadyan waktu di tebing dan membiarkan dia mati supaya lo ga perlu berbagi roti?!” geleng-geleng Gantari lalu pergi membawa roti itu. Tama dengan cepat menarik tangan Gantari untuk merebut roti. Gantari terkejut berusaha mempertahankan roti tersebut sembari mencakar pipi Tama dengan jarinya. Tama memekik memegangi pipinya. “Tar apa-apaan sih lo? Kita bisa berbagi!” Gantari mengeleng memeluk erat roti gandum itu seraya berjalan pergi.

 

Tama mengejar Gantari menarik bahunya dan mencoba merebut roti itu lagi tapi Gantari tetap tak mau melepaskannya. Mereka berdua pun bergelut berebut roti dan akhirnya Tama memukul pipi Gantari hingga terjatuh. Tama mengambil roti itu. “Sori, ini roti gue!” kemudian Tama menendang keras perut Gantari hingga tak sadarkan diri. Sebelum pergi Tama memeriksa kantong-kantong jaket Gantari mengambil potongan coklatnya, lalu pergi meninggalkan Gantari.

Air sungai itu sudah tak sederas ketika hujan lebat.

 

Di sisi sungai tampak Hadyan yang tergeletak. Suara gemuruh dari balik mendung membuat Hadyan tersadar dari pingsannya. Ia terbatuk-batuk mengeluarkan air sungai yang ditelannya. Hadyan melihat pepohonan tinggi di sekelilingnya lalu merutuki dirinya yang ternyata masih berada di gunung. Hadyan merutuk lagi saat melihat kaos yang menjadi alas kakinya sudah terlepas dan kini kakinya telanjang tanpa alas. Ia mengangkat tubuhnya perlahan, melangkah meski limbung dan mencari jalan untuk bisa naik ke atas tebing lagi.

 

“Tama! … Gantari!” panggil Hadyan. Ia menaiki bebatuan meraih akar pohon tapi terpeleset, jatuh berguling ke bawah lagi. Hadyan mencoba lagi. Ia meraih bebatuan, meraih akar pohon terus merayap hingga bibir tebing. Kemudian Hadyan meraih bibir tebing itu dan dengan sedikit teriakan untuk menambah kekuatan, ia mengangkat tubuhnya. Hadyan pun sampai di atas tebing kembali

 

Hadyan melangkah terpincang-pincang dengan tubuh menggigil, dengan telapak kaki yang terluka dan perut yang perih karena lapar. “Tam … Tari …” panggilnya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan, yang ia tahu tubuhnya kini terasa semakin lemas dan telapak kakinya terasa sangat sakit. Hadyan duduk memeriksa telapak kakinya yang ternyata bengkak dan lecet-lecet berdarah. Jemari kakinya pun nyaris membeku dan mati rasa. Hadyan teringat akan penyakit frostbite yang pernah dibacanya yang sering menimpa para pendaki gunung. Hadyan tak ingin itu terjadi pada kakinya apalagi sampai diamputasi maka ia menyobek lengan jaket tebalnya dengan menggesek-gesekkan pada batu tajam untuk dijadikan alas kaki. Ia mengikat lengan jaket itu pada kakinya menggunakan akar-akar pohon sebagai talinya.

 

Tetes-tetes hujan mulai turun lagi. Hadyan mendongak membuka mulutnya, menjulurkan lidahnya membiarkan air hujan itu masuk ke dalam kerongkongannya untuk mengurangi rasa haus. Ia teringat, ia masih menyimpan sepotong coklat di dalam kantong celana kargonya. Hadyan merogoh kantongnya menemukan coklat itu sudah meleleh basah menempel di dalam kantong celananya. Hadyan menjilati bungkusnya lalu dengan jarinya mengorek coklat yang menempel di dalam kantongnya itu kemudian menjilati jarinya sampai puas.

 

Setelah hujan semakin deras, Hadyan mencari tempat berteduh dan memilih untuk berteduh di bawah akar pohon yang besar. Ia mencoba memejamkan mata, meringkuk menahan dingin dengan tubuh menggigil dan lapar yang masih menjadi musuh utamanya.

 

Perlahan ia bermimpi sedang berada di warung Pak dan Bu Suta, menikmati semangkok mie rebus hangat. Mie rebus itu terasa nikmat sekali di lidahnya, mengalir lembut melalui tenggorokkannya bersama kuah kaldu rasa ayam bawang yang harum menguar di udara. Hadyan makan dengan lahap sampai menyeruput kuahnya dari mangkok, enak sekali dan sekarang perutnya tak perih lagi tapi tiba-tiba Hadyan mendengar suara berdesis di dekat kepalanya. Hadyan bangun dari tidurnya, membuka matanya dan tampak seekor ular tengah menatapnya!

 

Hadyan menelan ludahnya melihat ular itu bergerak mendekati wajahnya dengan lidah yang menjulur keluar masuk. Ular itu bergerak melewati wajahnya. Hadyan bergidik menahan jijik karena ia bisa merasakan sisik perut ular itu dan gerakan otot perutnya menggesek bibir, pipi, hidung dan matanya bersamaan dengan bau pesing yang tercium hidungnya. Ular itu terus bergerak mengira Hadyan hanyalah sebatang akar pohon. Hadyan diam tak berani bergerak hingga ular itu pergi. Setelah ular itu tak kelihatan lagi, Hadyan menghela nafas panjang lega dan segera pergi meski hujan masih turun.

 

 

 

***

 

 

 

Hujan yang turun deras menampari wajah Gantari dan membuatnya sadar. Gantari membuka matanya. Perlahan bangun dan berjalan terbungkuk memeluk perutnya yang terasa sakit. Gantari tak tahu akan kemana, ia tidak memiliki senter untuk menerangi langkahnya, ia takut menghadapi hutan belantara yang besar dan gelap, apalagi mengingat seekor harimau dan babi hutan berkeliaran juga di dalam hutan ini. Gantari mendongak pada pohon di depannya yang besar dan tinggi.

Ia menaiki pohon itu perlahan. Kakinya menjejak batangnya sedang tangannya meraih dahan pohonnya lalu mengangkat tubuhnya. Gantari terus melakukan itu sampai ia merasa berada di ketinggian yang aman. Ia tidak mau beristirahat di bawah dan menjadi sasaran empuk harimau atau babi hutan. Pada sebuah dahan besar Gantari duduk menyandarkan tubuhnya. Melihat sekelilingnya. Hanya tampak pepohonan dan langit mendung yang tidak berhenti menurunkan hujan.

 

Gantari memejamkan matanya. Apa yang terjadi, kenapa semua ini terjadi? Ia tak menyangka petualangan ini malah membawa pada kehancuran segalanya. Ia tak menyangka Tama bisa berbuat sejahat itu. Apakah yang dikatakan Pak Suta benar? Gantari teringat kalimat Pak Suta sebelum mereka mendaki waktu itu.

 

“Gunung bukanlah tempat untuk memenuhi ego kita dengan menaklukkannya. Tidak ada yang bisa menaklukkan raksasa tidur itu. Kalaupun manusia bisa sampai puncaknya lalu turun lagi dengan selamat, itu karena diijinkan olehnya, tapi raksasa itu bisa bangun dan berubah pikiran.”

 

Gantari tercekat. Apakah ini artinya raksasa ini berubah pikiran dan memilih dirinya, Tama dan Hadyan? Gantari memegang perutnya yang sakit juga melilit karena lapar dan tak sengaja melihat setitik cahaya menyala di sebelah sana. Gantari terkesiap. Itu cahaya senter! Tak lama cahaya itu mati lagi lalu menyala lagi. Ada orang di sana! Tanpa pikir panjang Gantari segera menuruni pohon besar itu. Jaraknya tak jauh paling satu kilometer. Setelah sampai di tanah, Gantari bergegas menuju cahaya senter tadi, ia sudah sangat kelaparan dan tak bisa lagi menunggu.

 

 

 

***

 

 

 

Tama menyalakan senternya lagi untuk memastikan keberadaan dirinya. “Iya ini alun-alun Shangrila!” cetusnya senang melihat tanah lapang berumput tebal dengan bunga-bunga. Kemudian ia mematikan lagi senternya dan duduk di antara bebatuan besar untuk menghindari sambaran petir. Merapatkan jas hujannya. Membiarkan hujan membasahi dirinya. Tama memutuskan menunggu datangnya pertolongan di situ. Hujan yang turun perlahan berhenti. Tama menjadikan ransel carrier-nya sebagai bantal lalu merebahkan dirinya. Ia menatap langit yang masih mendung. Seharusnya regu penolong tak lama lagi akan sampai sini, batin Tama. Ia memejamkan matanya tapi tak lama, ia mendengar suara langkah kaki di antara rerumputan. Tama membuka matanya. Basarnas! Batin Tama senang.

 

Ia bangun dan menyalakan senternya. Betapa terkejutnya Tama ketika melihat siapa yang disorot oleh cahaya senternya itu. “Hadyan?” Tama tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Hadyan yang silau terkena sorot senter itu juga terkejut, “Ta … Tama? Itu lo?” Tama melangkah mendekat, menyorot wajahnya sendiri. “Iya ini gue.” Hadyan dengan cepat memeluk sahabatnya itu. Tubuhnya bergetar senang. “Tama syukurlah gue ketemu lo!”

 

Tama menepuk-nepuk bahu Hadyan, “Tenang Yan, ada gue … lo aman sekarang. … tapi gimana caranya lo masih bisa survive dari tebing setinggi itu?”

 

“Gue beruntung … di bawah itu sungai Tam … gue bisa berenang dan keluar dari sungai, terus gue nyari lo sama Tari dan tadi gue lihat ada cahaya … jadi gue ikutin kesini dan ternyata lo,” papar Hadyan

 

“Ternyata lo cukup tangguh juga ya … lihat kita selamat sekarang Yan, kita ada di Shangrila … gue yakin bentar lagi tim penolong akan datang kesini.”

 

“Tapi … mana Gantari?” Hadyan celingukan mencari. “Ceritanya panjang Yan, kita duduk dulu, gue akan cerita soal Tari,” ajak Tama. Mereka berdua pun duduk. Tama mengeluarkan roti gandumnya dan menyerahkan pada Hadyan. “Ya Tuhan, roti … roti … gue laper banget Tam, sini, gue mau, gue mau …” histeris Hadyan mengambil roti itu dan melahapnya dengan cepat. “Hey, hey … pelan-pelan, ntar lo keselek … kita ga punya air loh …” cetus Tama.

 

“Tam … ini roti gandum paling enak seduniaaa,” seru Hadyan lalu mengunyah dan menelannya meski bersusah payah karena tenggorokannya yang kering tapi Hadyan tak peduli perutnya sudah lapar sekali. “Jadi apa yang terjadi dengan Tari? Dia ga hilang atau tewas ‘kan?” cemas Hadyan. “Ga … tapi gue ga tahu kenapa tiba-tiba dia jadi gila!” geleng-geleng Tama. “Gila?” Hadyan tak mengerti.

 

“Dia mencoba membunuh gue Yan! Hanya karena ga mau berbagi roti ini!”

 “Hah? Kok bisa?”

 

“Gue pikir karena benturan di dahinya bikin otak dia gangguan atau gimana … tapi manusia itu ‘kan makhluk yang selalu berubah … bisa berubah dalam kondisi tertekan, lapar atau kondisi lainnya … dan gue pikir gunung ini menunjukkan jati diri siapa sebenarnya Gantari!”

 

“Kayak yang ga mungkin ….”

 

“Lo akan kaget melihat betapa manusia itu bisa cepat berubah demi kepentingan dirinya sendiri Yan.”

 

Hadyan terdiam seraya mengunyah rotinya. Tiba-tiba seseorang muncul di depan mereka berdua. Membuat mereka berdua kaget. “Tolong saya lapar … saya mau roti itu! Berikan roti itu cepat!” seru orang itu mengancam dengan potongan dahan pohon di tangannya. Hadyan menatap orang itu, “Gantari!” serunya. Tama pun terkejut ketika mengetahui orang itu adalah Gantari.

 

“Ha … Hadyan?” Gantari berkata gemetar dan dengan cepat ia merebut roti yang berada di tangan Hadyan tapi Hadyan menahannya. “Tar gue juga lapar! Kita makan sam---” Tapi Gantari memukul kepala Hadyan dengan potongan dahan pohon itu. Hadyan merasakan darah mengalir dari kepalanya dan melepaskan roti itu. Gantari membawa roti itu lalu melahapnya dengan rakus.

 

“Tar! Lo kenapa?”

 

Tama berbisik pada Hadyan, “Gue bilang juga apa?”

 

Gantari menatap Tama dengan mulut penuh roti dan menunjuknya, “Lo! Lo mencoba membunuh gue! Dia memukul dan menendang perut gue sampai pingsan lalu ninggalin gue!”

 

Hadyan terkejut, “Tapi, Tama bilang, lo yang mencoba membunuhunya Tar ….” Gantari menatap Hadyan, “Dan lo percaya dia? Gue cuma mencakarnya karena dia ngumpetin roti ini dari kita! Dia egois dan mau selamat sendiri!”

 

“Heh, lo yang ga mau berbagi Tar! Lo mau mengambil roti itu buat diri lo sendiri inget!?” kelit Tama. Hadyan menjadi bingung mana yang benar ceritanya. Gantari tiba-tiba menyerang Tama menjambak rambutnya. Hadyan berusaha melerai tapi kedua orang yang bergumul itu seperti dua ekor kucing yang tengah berkelahi sulit untuk dipisahkan. Mereka terus bergulat dan Hadyan berusaha melerai mereka hingga senter yang dipegang Tama menyabet hidung Hadyan membuat Hadyan mundur dengan hidung berdarah.

 

Tama memukul ke berbagai arah dengan membabi buta untuk melepaskan diri dari Gantari hingga satu pukulannya mengenai dagu Gantari dan membuat jambakan Gantari pada rambutnya terlepas. Saat itulah Tama menendang Gantari hingga jatuh terjengkang dengan kepala membentur batu lebih dulu. “Tari!!” teriak Hadyan. Hadyan segera menarik Tama untuk menjauhi Gantari yang diam tak bergerak, “Tam udah! Udah!”

 

Tama terengah-engah dan bersimpuh kelelahan begitu juga Hadyan. “Ah sial!” kesal Tama melihat sisa rotinya sudah hancur terinjak-injak. Ia mengeluarkan potongan coklat dari kantong jaketnya lalu mengunyahnya. Hadyan memperhatikan itu. “Sori … gue lapar dan kesal!” Tama memasukkan semua coklatnya ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya. Hadyan bangkit berjalan mendekati Tama dengan batu di tangannya.

 

Tama yang tak menyadari itu terkejut ketika Hadyan tiba-tiba memukul pelipisnya dengan batu. Tama jatuh terlentang dengan pandangan yang berkunang-kunang dan berputar-putar. Coklat yang masih belum ditelannya itu mengalir keluar dari ujung mulutnya. “A ... apa … kenapa?” tanya Tama tak mengerti kenapa Hadyan memukulnya. Hadyan menduduki tubuh Tama, mencengkeram kerah jaketnya dan menatap matanya.

 

“Bagian coklat lo itu udah abis … coklat yang lo makan itu punya Gantari bukan? Lo ngambil bagian dia saat dia lagi pingsan Bajingan!” Hadyan meninju hidung Tama dengan kekuatan terakhir yang ia punya tapi Tama pun tak mau diam. Ia membalas dengan menyabetkan senternya dengan keras pada kepala Hadyan berkali-kali hingga kaca senternya pecah.

 

Kepala Hadyan terluka parah membuat tubuh Hadyan yang sudah lemah itu menjadi terhuyung-huyung dan ambruk menindih Tama. Tama mendorong tubuh Hadyan berusaha melepaskan diri. Ia bergerak berguling ke samping. Dengan nafas terengah-engah Tama berteriak hingga bergema di alun-alun itu. Ia tak mengerti kenapa semua menjadi begini. Dari matanya mengalir air. Ia menangis kesal juga menyesal dengan apa yang terjadi.

 

Tak lama, Tama merasakan kepalanya pusing dan tiba-tiba ia muntah-muntah. Ia merasa perutnya melilit. Tama memegangi perutnya. Ia merasakan sakit luar biasa pada ususnya serasa akan pecah dan Tama tersadar ia sudah diracuni! Coklat yang dimakannya ternyata sudah diracuni Gantari saat ia sedang minum air embun saat itu! Tama meringis sakit sambil tertawa. Gantari memang pintar. Tubuh Tama gemetar hebat dan sembari meringkuk memeluk perutnya, ia perlahan diam tak bergerak.

 

 

 

***

 

 

 

Beberapa saat kemudian.

 

Kevin datang bersama regu penolong. Ia melihat Gantari, Hadyan dan Tama. Wajahnya terlihat lega dan senang. “Di sini … Di sini! Mereka ada di---“ Kevin tidak melanjutkan kalimatnya setelah mendekat dan melihat apa yang terjadi. Ia jatuh berlutut menundukkan kepala dan menggeleng pelan. Ia menyesali dirinya yang datang terlambat. Regu penolong yang datang pun hanya bisa memandang nanar.

 

Sementara itu awan gelap masih melingkupi gunung. Petir menggelegar memberi sekilas terang. Gunung itu akan tetap tegak berdiri. Tidak butuh untuk ditaklukkan karena sejatinya yang harus ditaklukkan para pendaki adalah ego mereka sendiri.

 

 

TAMAT………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….