Skizofrenia
cemara itu seperti
ular panjang yang meliuk-liuk sedang berjalan. Penuh dengan kelokan-kelokan tak
putus atau naik turun mengikuti kontur tanah perbukitan. Jalanan itu dipisahkan
oleh garis separator berwarna putih membelah sepanjang jalan. Garis yang mengingatkan
pada para pengemudi bahwa itu adalah jalan dua arah. Di kanan dan kiri jalan
tampak pohon-pohon cemara yang lebat lagi rimbun. Satu dua mobil terlihat
saling berpapasan meski tak terlalu sering. Beberapa warung di pinggir jalan
kebanyakan telah tutup karena sepinya pengunjung ke bukit cemara akibat pandemi
dua tahun lalu.
Matahari sore
bersinar lembut, cahayanya menyemburat menembus ranting pohon cemara lalu
menyinari sebuah mobil van berkaca gelap yang berjalan santai menyusuri
kelokan-kelokan jalan seakan sedang menikmati matahari sore di bukit cemara.
Dari dalam mobil terdengar suara anak kecil yang tengah bernyanyi riang.
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, merah, kuning, kelabu, merah muda dan
biru …” Di kursi depan, seorang perempuan berusia 29 tahun bernama Desi terlihat
bahagia. Sambil mengendarai mobil, sesekali ia menengok ke belakang, melihat
anak perempuannya seraya ikut bernyanyi. “Meletus balon hijau … dor!” Desi dan anak
kecil itu tertawa. “Ayo lanjutin lagi nyanyinya Erina, kok diam … Mamah suka
dengernya,” kata Desi.
“Erina lupa lagi
lagunya Mah …” sahut Erina sembari memainkan bonekanya. “Begini lagunya …
ikutin Mamah ya … hatiku sangat ka … ka apa hayo?” Desi melirik dari kaca spion
dalam ke kursi belakang melihat putrinya. “Oh iya … kacau!” seru Erina dengan
wajahnya yang lucu dan rambut poni di atas alisnya itu. Desi tertawa,
“Nah udah tahu ‘kan? Ayo lanjutin lagi.”
“Balonku tinggal
empat kupegang erat-erat.” Setelah menyelesaikan lagu itu Erina memeluk
bonekanya erat-erat seakan sedang memegang balon. Desi tertawa melihatnya.
Mobil van berkaca
gelap itu berbelok setelah melewati sebuah minimarket dan beberapa toko yang
menjual cinderamata dan makanan khas sebagai oleh-oleh itu. Jalanan mulai
menanjak dengan kondisi jalan tidak sebaik tadi. Mobil bergoyang-goyang
melewati lubang dan bebatuan. Membuat boneka itu terjatuh. Rumah-rumah panggung
milik warga setempat terlihat di kiri dan kanan jalan. Desi mengemudikan
mobil itu pelan. Setelah melewati rumah-rumah panggung dan setelah sekitar
setengah jam berjalan di antara hutan cemara yang mengapit, mobil memasuki
kawasan wisata. Sebuah papan besar bertuliskan, “Selamat Datang di Villa Bukit
Cemara”, terpampang menyambut kedatangan para tamu.
Desi menghentikan
mobilnya di depan pintu gerbang dan seorang pria penjaga pintu masuk ke kawasan
wisata datang menghampiri mobil van tersebut. Ia mengetuk kaca jendela. Desi membuka
kacanya. “Selamat sore Pak …” Desi membaca dulu tanda pengenal di dada pria itu,
“oh, Pak Sam selamat sore Pak Sam,” senyum Desi. Sam, pria berumur 55
tahun itu mengangguk seraya membalas senyum Desi. “Sore … Bu Desi Sarti bukan?”
ucapnya seraya memeriksa di lembar daftar tamu yang dipegangnya.
“Itulah nama saya
Pak … satu-satunya di dunia ini,” canda Desi seraya menyerahkan
KTP-nya. Sam tertawa, melihat KTP itu lalu mengembalikan pada Desi. “Kemarin
Ibu sudah booking villa untuk dua orang, bersama putrinya bukan?” Sam mengecek
kembali lembar tersebut, “Erina namanya.” Desi mengangguk, “Ya betul,
apakah putri saya mau dicek juga? … Sayang … Erina … ternyata dia sedang tidur
di kursi belakang Pak.” Sam langsung menggeleng, “Jangan dibangunin kalau gitu
Bu … kasihan perjalanan dari kota ke sini memang jauh dan melelahkan.” Desi mengambil
boneka yang terjatuh dan menunjukkannya pada Sam, “Betul Pak kecapean kayaknya
… nih sampai bonekanya jatuh aja, dia ga sadar.” Sam tertawa.
“Baiklah Bu,
silakan parkir sebentar di depan situ dan ikut ke kantor untuk mengambil kunci
villa juga menandatangani dokumen sewa,” kata Sam. Ia berjalan kembali ke rumah
berbentuk kabin yang tak jauh dari pintu masuk tersebut. Sebuah rumah kabin
tempatnya tinggal yang sekaligus menjadi pos jaganya. Erina mengangguk kemudian
menutup kembali jendela mobilnya rapat-rapat.
Setelah mobil van
itu terparkir, Erina menuju rumah kabin. “Wah nyaman juga meski kecil,” ucap
Erina melihat suasana dalam kabin saat melangkah masuk. “Yah lumayan Bu untuk
beristirahat …” senyum Sam seraya meletakkan kunci villa di atas meja penerima
tamu dan mengeluarkan dokumen sewa.
“Sudah lama kerja
di sini Pak?” tanya Desi berbasa-basi. “Belum terlalu lama, karena villa ini juga belum lama
ada … ya Ibu pasti tahu, sulit mencari pekerjaan di kota kecil seperti ini …
jadi saat ada tawaran berkerja di sini ya langsung diterima …” terang Sam.
“Sudah berkeluarga
Pak?” Desi bertanya sambil menandatangani dokumen sewa itu. “”Sudah … tapi anak
dan istri saya tinggal jauh dari sini … kalau Bu Desi, kesini hanya berdua
saja dengan anaknya atau menunggu keluarga lain datang?” Sam bertanya balik. Desi tersenyum,
“Berdua saja … mencari waktu berkualitas sama anak.” Desi mengambil kunci villa
itu.
“Apakah saya punya
tetangga? Maksud saya apakah ada penyewa lain selain saya?”
“Bisnis belum
berjalan dengan baik setelah pandemi Bu, jadi dari lima villa yang ada baru dua
yang terisi, ibu dan pasangan suami istri di villa nomor dua.”
Desi melihat
nomor kunci villanya. “Wow saya dapat villa nomor tiga … angka keberuntungan
saya,” senyum Desi, “baiklah Pak, apakah sudah selesai?”
“Belum, ada sedikit lagi yang harus saya
sampaikan … di depan villa-villa, ada sebuah danau buatan, itu fasilitas bagi
penyewa, tapi hati-hati, kedalamannya cukup dalam sekitar delapan meter … jadi
tolong awasi anak Ibu, jangan bermain terlalu dekat ke pinggir danau.”
Desi mengangguk.
“Kemudian, jika perlu apa-apa, Ibu bisa mendatangi sebuah rumah kabin yang
persis seperti kabin saya ini, letaknya dekat dermaga di danau … di situ ada
penjaga villa namanya Yadi, dia penjaga villa dan akan membantu para penyewa
kalau di villa ada bocor-bocor, mampet, atau yang lainnya.”
Desi mengangguk,
mengingat namanya. “Yadi ya?”
“Iya Yadi … anaknya
tinggi kurus dengan wajah sedikit pucat sering begadang … sebetulnya saya
kurang suka dengan anak itu … anaknya sebetulnya rajin tapi mudah tersinggung …
dia putus sekolah dan mantan pemakai narkoba … entah kenapa, owner villa ini
memilih anak itu jadi penjaga villa, mungkin memberikan kesempatan kedua buat
dia untuk berubah … entahlah,” urai Sam.
“Setiap orang
berhak mendapat kesempatan kedua, bukan begitu Pak?”
“Ibu betul,” senyum
Sam.
“Ada lagi yang
harus saya ketahui sebelum kembali ke mobil?”
“Terakhir, bisa
minta nomor hape Ibu? Untuk data kami?”
“Saya bukan orang
yang senang main hape Pak, sayang sekali,” jawab Desi. “Ah sama Bu, saya juga
ga punya hape … membosankan dan membuang waktu bagi saya …” kata Sam. Desi tertawa,
“Baiklah, kalau begitu terima kasih Pak Sam.” Sam mengantar Desi yang
melangkah keluar kabin dan berdiri di teras kabin melihat Desi menaiki
mobilnya. “Selamat menikmati waktu berkualitas bersama Erina Bu!” ucap Sam. Desi mengangguk
lalu menjalankan mobilnya menuju villa.
Jarak antara villa
dan pos jaga kabin itu berjarak sekitar lima menit saja dengan jalan yang cukup
mulus melewati padang rerumputan. Tak lama tampak sebuah danau yang berair
tenang dengan sebuah dermaga yang menyambung pada villa-villa yang berdiri
menghadapnya. Lima buah perahu ditambatkan di sisi-sisi dermaganya. “Erina,
bangun … wah lihat indahnya danau ini … nanti kita bisa berperahu ke tengah
danaunya! Mau ga?” kata Desi sumringah. Desi melihat pada kaca spion
dalam, terlihat Erina bangun dari tidurnya dan menggeliat di kursi belakang.
Matanya terbelalak
senang melihat danau. “Mau Bu! Mau … tapi sekarang aku lapar.” Desi tertawa
mendengar itu. “Tenang, Ibu bawa banyak makanan … nanti setelah sampai di villa
kita makan ya!” Erina mengangkat kedua tangannya, “Yeay makan!”
Mobil bergerak
memasuki halaman villa lalu terparkir di depannya. Sepasang suami istri
melongok melalui jendela dari dalam villa nomor 2 karena mereka mendengar suara
mobil yang terparkir di villa sebelah mereka.
“Sepertinya kita
punya tetangga nih,” ucap si suami. “Ah akhirnya … sejak kemarin kita cuma
berdua di tempat sebesar ini … begitu sepi … setidaknya ada satu tetangga, bisa
bikin suasana tambah ramai …” lega sang istri. Suaminya mengangguk seraya
meminum susu coklatnya. “Eh Sayang … kamu mau kemana? Widia!” kaget sang suami
nyaris tersedak susu coklatnya ketika melihat istrinya melangkah keluar.
“Tenang Tommy Sayang … hanya ingin menyapa tetangga baru kita,” senyum Widia lalu
melanjutkan langkahnya. Tommy geleng-geleng.
“Halo Tetangga, ada
yang bisa saya bantu?” sapa Widia ramah membuat kaget Desi yang sedang
menurunkan barang dari bagasi. Desi melihat seorang wanita dengan wajah cantik
terawat dan tubuh yang rajin ditempa olahraga sehingga tampak begitu indah
terpapar matahari sore yang mulai tenggelam. “Ga usah … hanya beberapa tas dan
stok makanan saja,” tolak Desi. Widia tersenyum dan melihat pada mobil van tersebut
tapi tak bisa melihat ke dalamnya karena kaca jendelanya yang gelap.
“Oya, nama saya Widia … saya
tetangga di sebelah villamu.”
“Ya saya bisa lihat
itu,” sahut Desi acuh tak acuh.
“Wid! Sini!” Tommy memanggil
pelan dari pintu, meski pelan suaranya bisa terdengar oleh Desi. Desi melihat
seorang pria tampan bertubuh atletis yang juga pastinya senang berolahraga dan
melakukan perawatan rutin pada wajah serta rambutnya. “Betulan ga ada yang bisa
saya bantu?” Widia memastikan. Desi menggeleng, “Tidak … terima kasih untuk penawarannya.” Widia pun
membalikkan badannya kembali ke villa. Tommy menarik istrinya
masuk. “Kamu malu-maluin ih” kesal Tommy. “Kok
malu-maluin sih Tom … aku ‘kan hanya memperkenalkan diri dan ingin membantu,” kilah Widia. “Ya ga
sekarang juga, dia baru nyampe dan capek kayaknya … nanti aja kalau dianya udah
santai,” balas Tommy.
“Erina! Kok tidur
lagi sih? Katanya lapar?” cetus Desi sekembalinya meletakkan barang bawaan ke dalam
villa dan melihat anaknya tertidur lagi di kursi belakang mobil. Desi mengangkat
anaknya lalu menggendongnya dengan kain.
“Eh Tommy, ternyata
dia kesini sama anaknya,” kata Widia yang melihat dari jendela. Tommy ikut
melihat. Mereka melihat tangan anak itu keluar dari kain gendongan lalu Desi
memasukkannya kembali ke dalam gendongannya dengan cepat dan bergegas masuk ke
dalam villanya.
“Yah kirain yang
datang satu keluarga dengan banyak anggota keluarga supaya rame gitu … ternyata
single mom …” kata Widia. “Ah ga ngaruh buatku, mau single mom atau satu keluarga penuh … aku
kesini hanya mau berduaan sama kamu tahu!” Tommy memeluk istrinya
dari belakang. Widia menjerit geli lalu balas memeluk Tommy. Mereka saling
berpelukan.
Desi melihat
kemesraan itu dari jendela samping villanya kemudian menutup gordennya dengan
kasar.
***
Bulan purnama tampak membayang di riak-riak
air danau. Malam sunyi dengan angin berhembus lembut dari arah danau membuat
suasana di bukit cemara itu semakin dingin. Tommy dan Widia sedang
membakar marshmallow yang ditusuk seperti sate di atas api unggun di halaman
depan villa mereka. “Ah senangnya, jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota,” kata
Tommy
sambil menghirup udara malam. “Dan jauh dari polusi udara,” tambah Widia.
“Selamat malam.” Tommy dan Widia menoleh
berbarengan mendengar sapaan itu. Tampak Desi tengah berdiri
menghadap mereka. Mereka berdua terkejut tak menyangka mendapat kunjungan dari
tetangga barunya. “Oh selamat malam,” balas Tommy dan Widia nyaris
berbarengan. “Mari Bu masuk sini,” kata Widia. Desi melangkah ke
halaman mereka dan Tommy segera membawakan satu kursi teras lagi. “Silakan duduk Bu,” ucap Tommy.
“Terima kasih.” Desi menatap
pasangan suami istri itu. “Saya kesini mau meminta maaf karena tadi sore
menjadi orang yang tak sopan terhadap Bu Widia … seakan mengacuhkan
tawaran dan perkenalan dari Bu Widia, saya tidak bermaksud untuk itu, mungkin
karena perjalanan jauh dan saya menyetir sendiri membuat saya letih … oya nama
saya Desi.”
“Oh ga apa-apa Bu
Desi … saya yang terlalu excited karena ada tetangga baru … karena sejak
kemarin di sini tuh sepi …” kata Widia. “Bukankah itu tujuan kita kesini? Mencari
ketenangan dan kesunyian?” tanya Desi. Tommy tertawa, “Nah betul itu Bu … istri saya ini
malah pengennya rame.” Widia mencibir pada Tommy. “Sunyi itu menyenangkan Bu … dalam sunyi kita bisa mendengar suara
dari pikiran kita sendiri,” kata Desi.
“Mmm, mmm,” Tommy
manggut-manggut menyetujui kalimat Desi itu dengan mulut penuh marshmallow panggang.
“Ih, kamu ga sopan Tom, makan sendirian,” tukas Widia yang lalu menawarkan Desi setusuk
marshmallow panggang. “Tidak terima kasih saya sudah kenyang,” geleng Desi seraya
menatap Tommy. “Eh, ngomong-ngomong, mana putrinya Bu? Kok ga keliatan?” tanya Desi seraya
menggigit kecil ujung marshmallow. “Tahu dari mana saya punya putri?” heran Desi.
“Oh maaf, tadi kita
lihat Ibu saat menggendong putrinya ke dalam villa dan kita lihat tangannya,”
terang Tommy. Desi melirik pada jendela villa tetangganya itu dan berpikir mereka pasti
mengintip dari situ. “Tadi sehabis makan dia tidur, kecapean kayaknya,
perjalanan jauh …” jawab Desi. “Umur berapa tahun putrinya Bu?” Desi terdiam
sebentar mendengar pertanyaan Widia itu membuat Widia dan Tommy saling
tatap sekilas. Kok lupa sama umur anak sendiri, benak Tommy.
Setelah beberapa
saat, Desi baru menjawab. “Tahun ini … Erina lima tahun.” Widia tersenyum
senang, “Wah lagi lucu-lucunya, namanya juga bagus, ‘Erina’ artinya perempuan
cantik … eh gimana kalau besok kita naik perahu ke tengah danau dan makan siang
di atas perahu bersama-sama? Erina pasti suka itu.”
“Kalau Bu Wid punya anak
berapa?” Desi menatap Widia. Widia terlihat gugup dengan pertanyaan itu. “Kami belum berencana punya
anak Bu … kami masih menikmati masa-masa berdua kami,” Tommy mengambil alih untuk
menjawabnya. “Kenapa ditunda? Menikah kalau tidak mau punya anak rasanya aneh
ya …” senyum Desi dengan tatapan tajam pada Tommy.
“Bukannya tidak mau
punya anak Bu tapi---”
“Kayaknya kita
ganti topik pembicaraannya ya?” Widia memotong kalimat suaminya, ia terlihat tak
nyaman dengan topik itu. “Jadi gimana dengan ide saya tadi Bu?” tanya Widia. “Ide
yang mana?” Desi mengerutkan keningnya. “Kita semua, berperahu ke tengah danau?” Widia
mengingatkan. “Oh … kita lihat besok saja, takutnya Erina masih capek,” kata Desi. “Ya betul,
sebaiknya jangan besok … bisa lusa, kita ‘kan masih di sini sampai akhir pekan
bukan Sayang?” timpal Tommy. Widia mengangguk.
Desi memerhatikan
jaket yang dipakai Tommy, membaca lengkap namanya di dada kiri. “Sepertinya udara semakin
dingin, sebaiknya kita sudahi percakapan ini, besok kita lanjut lagi ya?” kata Tommy. Desi berdiri dari
duduknya, “Betul, saya juga harus pulang … takut Erina terbangun dan nyariin
saya … mari.” Desi melangkah kembali ke villanya.
Tommy mematikan api
unggunnya dengan cepat. “Tom kok buru-buru amat sih? Ini masih ada marshmallow-nya loh,” cetus Widia bingung
melihat suaminya yang tergesa-gesa begitu. Tommy menarik istrinya,
“Besok kita panggang lagi … ayo masuk.”
Setelah di dalam
villa, Widia menatap heran suaminya. “Kenapa sih Tom? Kamu kayak yang
aneh.” Tommy menatap istrinya, “Bukan aku yang aneh, tapi Bu Desi tadi …” Widia
menggeleng, “Aneh? Engga ah … aku merasa dia biasa aja.”
“Kamu ga perhatiin
tatap matanya tadi?”
“Engga, kenapa
emang?”
“Tatapannya bikin
ga nyaman, kayak yang sedang mengamati kita!”
“Ah bilang aja kamu
kesengsem sama Bu Desi yang cantik itu …”
“Hush! Kamu ini
ngaco … aku tuh merhatiin matanya!”
“Biasanya dari mata
turun ke hati loh,” seloroh Widia. “Wid, aku serius,” kesal Tommy, “masa kamu ga
tergganggu soal dia bahas kita belum punya anak sih?”
Widia tertawa, “Tom, Tom … kayak ga
hapal sama kebiasaan orang Indonesia aja yang selalu mengomentari hidup orang
lain … kalau belum nikah ditanya kapan nikah? Kalau sudah nikah ditanya kapan
punya anak? Iya kan? Ga ada yang nanya apakah kita bahagia dengan hidup kita?
Pernikahan kita? … Iya, aku ga nyaman dengan topik itu … tapi kalau sampai
terganggu dan mengira Bu Desi itu aneh sih engga.”
Tommy menghela nafas
mengalah, “Ya sudah mungkin aku yang salah ….” Widia memeluk suaminya,
menatapnya, “Sayang … kasian dia hanya seorang single mom loh kita harus hargai
itu … ah ga usah bahas Bu Desi lagi deh … mending kita nonton film favorit kita
aja yuk.” Suaminya pun mengangguk.
***
Desi menyelimuti
Erina yang tertidur lelap. Kemudian duduk di kursi meja makannya, mengeluarkan
telepon genggamnya dan mencari-cari sosial media atas nama Tommy Ogan
Sjarif. Ia menemukan satu Instagram atas nama tersebut. Desi membukanya
lalu melihat satu persatu foto mereka. Hingga ia melihat satu foto yang
menampakkan Widia tengah menangis dalam pelukan Tommy. Sebuah foto yang
menjawab kebingungan Desi mengapa pasangan itu belum memiliki anak. Setelah itu Desi tersenyum
kemudian menatap Erina yang tertidur.
“Apakah kamu ingin
punya Papah, Erina?”
Desi lalu
tertawa.
Widia mengetuk pintu villa Desi. Menunggu beberapa
saat pintu itu baru dibuka. “Selamat pagi Bu Desi,” senyum cerah ceria
terpampang di wajah widia seperti matahari pagi. Desi menyipitkan matanya karena matahari pagi
menerobos masuk saat pintu dibuka dan menyilaukannya. Terlihat ia baru saja
bangun dari tidur. Widia mendengar suara Erina yang sedang menyanyi itu. “Ada apa Bu?” tanya
Desi sembari menggaruk rambutnya yang kusut. “Maaf mengganggu pagi-pagi Bu
… ini aku membawakan sekotak coklat untuk Erina,” senyum Widia yang lalu
memanggilnya dari pintu, “Erina … Erina … Tante Widia bawa coklat nih,
kamu lagi nyanyi balonku ya?”
Erina terdengar terus menyanyi. “Biar saya
yang sampaikan pada Erina, dia ga mau diganggu kalau sedang menyanyi … dan dari
kemarin dia seneng banget sama lagu ini, mengulangnya terus sampe senewen saya
dengernya,” geleng-geleng Desi. “Ah namanya juga anak-anak Bu,” tawa widia seraya
menyerahkan kotak coklat itu. “Baiklah, terima kasih atas coklatnya Bu,” ucap
Desi. Widia mengangguk lalu pamit. Desi menutup pintunya.
“Sayang nih ada
coklat dari Tante Widia, tetangga sebelah,” Desi meletakkan coklat itu di sebelah Erina. Erina
terlihat senang melihat colat-coklat itu, “Aku boleh menghabiskannya Mah?” Desi menggeleng,
“Ga dong … nanti kamu sakit gigi … inget kamu pernah sakit gigi?” Erina
terlihat ngambek, “Huh Mamah ga seru!” Desi tertawa lalu masuk ke
kamar mandi seraya berkata, “Mamah mandi dulu.”
Widia duduk di samping
suaminya yang sedang menikmati pemandangan danau dengan matahari paginya
ditemani segelas susu coklat hangat. “Gimana sudah dikasihin coklatnya?” tanya Tommy. “Sudah,
tapi ibunya yang terima … soalnya anaknya ga mau diganggu lagi nyanyi katanya …
suaranya gemes banget.” Widia mengepalkan jemarinya. Tommy tertawa, “Iya, gemes … suaranya kedengeran
sampai sini tuh anak.”
Di kejauhan tampak
seorang pemuda bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat mendatangi Tommy dan Widia. “Selamat
pagi Tuan Tom dan Nyonya Wid, apakah ada yang bisa saya bantu hari ini? Mungkin memotong rumput
atau ada yang bocor?” Yadi sang pemuda itu menebar senyum. “Semuanya aman kok
Yad, terima kasih sudah menawarkan,” kata Tommy. Yadi melirik pada Widia yang
tengah berjemur di samping Tommy. “Ada apa Yad? Kamu melihat sesuatu?” Tommy merasa
terganggu dengan lirikan itu.
“Tidak Tuan …
tidak, mari.” Yadi segera bergegas pergi.
“Udahlah To … dia cuma
ingin membantu.”
“Matanya itu loh,”
sebal Tommy.
Yadi melanjutkan
langkahnya menuju villa Desi. Ia mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka.
“Selamat pagi Nyonya Desi, saya Yadi … apakah ada yang bisa saya bantu hari ini?” ucapnya. Desi menatap Yadi
dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Benar kata Pak Sam, memang tampak
seperti pemuda tukang begadang dan pemabuk serta tatap matanya itu mencurigakan
sekali.
Belum sempat Desi membalas
perkataan Yadi, terdengar suara Erina dari dalam rumah. “Mah aku mau bermain,
aku mau jalan-jalan! Mah!” Desi menghela nafas. “Sebentar Erina! Mamah ada tamu!”
teriak Desi. Yadi mencoba melihat ke dalam dari pintu yang sedikit terbuka itu.
“Apa yang mau kau lihat?” Desi menatap tajam Yadi. Ia tak suka dengan sikap
itu. “Maaf Nyonya hanya ingin melihat apakah di dalam villa perlu dibersihkan
atau tidak?” kilah Yadi. Desi menutup pintunya tanpa berkata-kata. Yadi
terkejut pintu ditutup begitu saja di depan wajahnya. “Sialan!” umpatnya pelan
lalu pergi.
iang itu, Desi mengendarai
mobilnya untuk menemui Sam dan melaporkan perihal kelakuan Yadi tadi pagi. Ia
tak senang dengan sikap Yadi yang berusaha mengintip ke dalam villanya. Sam
menerima pengaduan Desi dan berjanji akan menegur Yadi. Setelah itu, Desi kembali ke
villanya. Seturunnya dari mobil ia melihat Tommy sedang bersiap-siap
di dermaga. “Siang Pak Tom … mau naik perahu ke danau ya?” Desi melangkah mendekat.
Semakin dekat Desi bisa melihat tubuh Tommy yang kekar dari balik kaos putih ketatnya.
“Ya Bu, mumpung
hari cerah dan sebentar lagi sore, siapa tahu bisa menikmati sunset di danau,”
jawab tommy seraya menarik tali untuk mendekatkan perahunya ke dermaga. Desi melangkah
mendekati Tommy. “Bu Wid kemana?” Tommy melihat ke arah villanya, “Tuh dia ….” Melihat kedatangan Widia, Desi memundurkan
langkahnya kembali.
“Hey Bu Desi … mau ikut
kita ke danau?” lalu Widia menunjukkan tas perbekalannya, “Lihat, kita bawa banyak makanan …
oya gimana, Erina suka sama coklatnya?” Desi terdiam sebentar
seperti lupa sesuatu lalu berkata, “Oh … coklat? Untuk coklatnya Erina suka
sekali, dia makan banyak coklat itu.” Widia tertawa senang mendengarnya dan tak sabar
ingin bertemu anak yang menggemaskan itu. “Ayo Bu, ajak Erina, kita berlayar di
danau bareng … saya masih punya banyak coklat nih,” ajak Widia
Desi menggeleng,
“Sayang sekali tidak bisa Bu Wid … tadi pagi Erina agak tak enak badan.” Widia terlihat
cemas, “Ya ampun … kasihan … apa ada yang bisa kita bantu Bu?” Desi menggeleng,
“Tidak perlu repot-repot Bu.” Widia terlihat ragu, ia menatap Tommy. “Tom, apa ga
sebaiknya kita tunda ke danaunya dan bantu Bu Desi ini dulu? Kasihan
anaknya sakit.” Tommy yang telah berada di perahu terlihat kecewa.
“Jangan Bu, silakan
lanjutkan ke danaunya … saya biasa urus Erina sendiri.”
Widia menatap Desi penuh
empati. “Baiklah kalau begitu, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk datang ke
kami.” Desi mengangguk. Widia naik ke perahu kemudian menatap Desi, “Nanti sepulang dari
danau, kita akan menengok Erina ya Bu.” Desi tidak memberi respon ia
hanya menatap Widia. Betapa beruntungnya dia, batin Desi. Perahu bergerak
menjauhi dermaga, meninggalkan riak-riak dan Desi yang berdiri mematung.
“Kamu apa-apaan sih
Wid, pake ngajak dia dan mau ngebatalin pelayaran kita ini segala,” sebal Tommy. “Ya
namanya tetangga, kita ‘kan harus berempati kalau ada tetangga yang sakit,
apalagi yang sakit itu anak kecil dan ga punya bapak,” kilah Widia. “Dari
mana kamu tahu dia ga punya bapak?” sahut Tommy sambil mendayung
perahu. “Loh dari kemarin ga ada yang datang … cuma mereka berdua aja bukan?”
balas Widia. “Udah ah … lagi-lagi kita malah ngomongin Bu Desi!” gerutu Tommy. Widia tertawa.
***
Menjelang malam, pintu villa Desi diketuk.
Ketika pintu dibuka tampak Sam dan Yadi tengah berdiri. Desi melihat Yadi
yang tertunduk. “Heh Di … ada yang mau kau sampaikan pada Ibu Desi ini bukan?”
Sam menyenggol lengan Yadi dengan sikunya. “Maafkan saya Nyonya Desi untuk
kelakuan saya tadi pagi, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” kata
Yadi dengan kepala tertunduk.
“Kali ini saya
maafin, lain kali saya akan laporkan ke polisi!”
Yadi mengangguk.
“Maafkan anak ini ya Bu Desi … saya jamin dia tidak akan mengulanginya lagi,”
ujar Sam. “Ya Pak, saya pegang ucapan Bapak,” tegas Desi. “Halo apakah semua baik-baik
saja?” tanya Tommy yang baru saja datang dari danau diikuti Widia. Sam tersenyum pada Tommy, “Semua
baik-baik saja Pak, hanya salah paham.” Tommy mengangguk-ngangguk
dan melanjutkan langkahnya ke villa. Sedang Widia datang menghampiri.
“Bu Desi gimana kabar
Erina? Apakah saya boleh menjenguknya ke dalam?” Widia terlihat begitu
khawatir. “Loh Erina memang kenapa Bu?” tanya Sam. “Dia ga enak badan Pak sejak
siang tadi,” jawab Desi kemudian menatap Widia, “dia sudah tidur Bu, sebaiknya jangan
dijenguk dulu, besok pagi kalau sudah bangun, Ibu boleh jenguk.”
“Oh tentu saja …
besok saya akan bikinkan bubur buat Erina, kalau gitu saya pamit dulu … mari
Bu, Pak Sam, Di …” ucap Widia. Ketiga orang yang disebut itu mengangguk. “Baiklah Bu, kita juga
pamit dulu,” kata Sam yang berjalan beriringan dengan Yadi. Desi pun menutup
pintunya.
“Mah … Mah … aku
sakit Mah,” lirih Erina dari kamar. Desi bergegas menghampiri putrinya itu lalu
memeluknya. “Ada Mamah di sini Sayang … ada Mamah … tidurlah yang nyenyak ya …”
bisik Desi menimang-nimang Erina seraya menyanyikan lagu Balonku, lagu kesukaan
Erina dengan nada lambat.
***
Yadi menendang kursi di rumah kabinnya dengan
kesal. “Bangsat! Pake ngadu segala ke si Sam! Padahal gue ga ngelakuin
apa-apa!” makinya. Ia menyalakan rokok lalu mengisapnya dalam-dalam.
Menghembuskan asapnya serampangan kemudian keluar dari rumah kabinnya dan
berdiri di teras. Ia memerhatikan villa-villa yang berisikan Desi serta
pasangan Tommy dan Widia. Villa-villa itu berada tak jauh dari rumah kabinnya yang terletak
di sisi danau. Dari tempatnya berdiri, ia bisa memantau villa-villa itu. Ia
bisa melihat Desi yang tengah memeluk putrinya yang tertutup selimut dari jendela yang
terbuka. Ia juga bisa melihat Widia dan Tommy yang tengah bercakap-cakap di teras villa.
Yadi mengarahkan
tatapannya pada Desi. Hatinya dipenuhi kekesalan, ia merasa tersinggung karena Desi telah
menuduhnya. Ia menghirup sesapan terakhir rokoknya. Kemudian membuang sisa
puntungnya ke arah danau. “Akan kubalas kau!” geramnya.
***
Tommy sedang menuangkan
susu coklat ke dalam cangkirnya di dapur. Jendela dapur yang belum ditutup itu
memberikan udara malam yang berbau segar khas cemara. Ia menghirup dalam-dalam
udara itu lalu menghelanya. Malam ini akan tidur enak dengan segelas susu
coklat panas dan udara yang harum cemara, begitu dalam pikiran Tommy. Setelah
cangkirnya penuh, Tommy membuang kotak bekas susu coklat itu ke tempat sampah. Tommy
mengangkat cangkirnya dan terkejut ketika berkelebat bayangan di luar jendela
dapurnya!
“Astaga, apa itu?!”
seru Tommy tak jadi meminum susu coklatnya. Ia meletakkan cangkirnya dan
melihat keluar jendela tapi yang tampak hanya bukit-bukit yang dipenuhi hutan
cemara. Tommy merasa yakin ada sesuatu yang berkelebat di luar tadi. Apakah beruang?
Masa ada beruang? Hati Tommy bertanya. Atau harimau? Babi hutan? Rusa? Tommy mengambil sapu ijuk
lalu dijadikannya senjata. Ia berjalan pelan ke pintu belakang. Menempelkan
telinganya di pintu. Kalau betul tadi itu hewan liar maka akan terdengar suara-suara
cakaran di pintu atau suara-suara aneh lainnya, tetapi Tommy tak mendengar apa
pun.
Maka Tommy membuka
perlahan pintunya sedikit. Ia mengintip dulu. Terlihat aman, Tommy membuka
pintu belakang dan melangkah keluar. Pintu belakang itu langsung berbatasan
dengan hutan cemara dan hanya dipisahkan sebuah pagar kawat yang cukup tinggi.
Tidak ada satu hewan liar pun yang bisa ditemukan Tommy kecuali suara
serangga malam. Tommy menggaruk-garuk kepalanya.
Ia memutuskan
kembali ke dapur dan terpekit terkejut saat membalikkan badannya, Desi sudah
berdiri di pintu belakangnya. “Ya Tuhan Bu Desi! Bikin kaget aja!
Hampir saya pukul dengan sapu ini loh tadi!” Tommy geleng-geleng. Desi tersenyum
melihat sapu ijuk yang pendek itu, “Untung saya Pak Tom … kalau beruang … sapu
ijuk yang pendek itu juga ga akan bisa nolong Anda.”
Tommy mengatur nafasnya.
“Ada apa malam-malam ke sini Bu? Dan kenapa ga lewat pintu depan aja?” tanya Tommy. “Saya
sudah mengetuk pintu depan tapi tidak ada yang membukanya, jadi saya
berinisiatif lewat samping dan ke pintu belakang ini,” terang Desi, “maaf saya
hanya butuh air panas untuk minum Erina, dia perlu yang hangat-hangat … karena
kompor gas di tempat saya rusak.”
“Baiklah, tunggu,
saya akan mengambilkannya ya Bu.” Tommy kemudian melangkah masuk dapur. Ia berdecak
kesal teko isi air panasnya pun habis, maka ia mengambil panci untuk merebus
air panas yang baru. “Wah dapurnya lebih luas dari dapur di villa saya
ternyata,” kata Desi yang masuk seraya melihat sekeliling dapur. Sekilas ia melihat kotak
bekas susu coklat di tempat sampah. Tommy terkejut padahal tadi ia meminta perempuan
itu untuk menunggu di luar. “Mungkin beda tipe villa Bu,” sahut Tommy cepat. Ia
merasa tak nyaman dengan kehadiran Desi.
“Bu Wid kemana?” Desi melihat ke
ruangan depan. “Sepertinya dia tidur sehabis membaca buku tadi … sebentar ya Bu
… airnya lagi dipanaskan lagi, soalnya tadi air di teko habis. “Ga apa-apa Pak,
santai saja,” kata Desi seraya melangkah mendekat tanpa disadari Tommy yang sedang sibuk
menuangkan air panas ke dalam teko.
“Nah Bu … ini air
panas---”
Tommy terdiam mematung
saat membalikkan badannya tiba-tiba Desi sudah berdiri dalam jarak yang sangat dekat.
“Santai sebentar Pak Tom …” Desi mengatakannya sambil mengambil teko itu dari tangan Tommy lalu
meletakkannya di meja. Kemudian ia semakin mendekatkan dirinya pada Tommy. “Apa
yang Anda lakukan Bu?” Tommy berkata seraya memalingkan wajahnya.
Desi tidak
menggubris ucapan Tommy, ia terus mendekat. Tommy melangkah mundur tetapi Desi terus
menempelkan dirinya pada Tommy.
“Bu … saya tidak
mau kasar … jangan begini saya punya istri yang---"
“Yang mandul dan
tidak bisa memberikanmu anak bukan?”
Tommy mengerutkan
keningnya, “Dari mana Ibu tahu?” Desi tertawa. “Saya tahu semuanya Pak Tom …
Sayangku?” Suara Desi menggoda. Desi mulai berani menyentuh lengan Tommy. “Jangan panggil
saya itu!” bentak Tommy seraya memegang keras tangan Desi untuk menjauhkan
sentuhannya. Desi tertawa, “Akuilah Pak Tom … kamu menyukai saya bukan? Dari tatapan matamu
sejak saya datang kesini dan senyum menggodamu … selain itu, saya bisa
memberikan apa yang istrimu tidak bisa berikan … anak.”
Tommy terkejut, “Apa?!
Anda ngaco! Saya tidak pernah begitu!”
Deai mendekatkan
wajahnya pada Tommy tapi Tommy berusaha menghindarinya hingga terjadi saling dorong dan tolak di
antara keduanya untuk beberapa saat. “Ada apa ini!” bentak Widia yang
berdiri di pintu dapur dengan wajah sangat terkejut. Desi segera mendorong Tommy dengan
keras hingga punggung Tommy membentur kulkas lalu berlari ke Widia dan memeluknya.
“Bu Wid, saya hanya
ingin meminta air panas untuk Erina tapi Pak Tom meminta saya masuk ke
dapur lalu memaksa saya!” Desi menangis. Mulut Tommy terbuka lebar, ia
tak percaya dengan apa yang didengarnya. Mata Widia melotot pada Tommy. Wajahnya
merah padam.
“Wid! Mana
mungkin itu? Dia mengada-ngada!”
“Diam Tom!”
Tommy menggelengkan kepala
dan gusar. “Baiklah, sekarang Bu Desi silakan pulang … ada yang harus saya bicarakan
dengan suami saya,” tegas Widia. Desi mengangguk lalu bergegas keluar. Nafas Widia menderu,
dengan cepat ia mendatangi Tommy lalu menamparnya. Tommy terpekik. “Wid! Denger
dulu ceritanya!” Widia menggeleng lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. Tommy menyusul
tapi pintu kamarnya telah terkunci. Tommy berdecak kesal.
“Wid, sudah
kubilang ada yang aneh sama dia sejak dia datang! Sekarang lihat, dia
berbohong, memfitnah aku! Dan membuat kita ribut begini! Sebelum dia datang
kita fine-fine saja bukan? Ayolah Sayang, masa kamu percaya begitu saja dengan
cerita dia? Dibanding sama suamimu ini? Denger dulu dari versiku!” seru Tommy dari
balik pintu.
“Diam!” jerit Widia.
Tommy menunduk dan
menyandarkan punggungnya pada pintu kamar. Ia menjadi kesal dan marah.
Perempuan gila itu membuat liburanku dan istriku kacau! Maki hati Tommy. Ia
mengepalkan tangannya.
***
Matahari pagi muncul dari balik bukit cemara.
Air danau bergemerlapan ditimpa cahayanya. Angin semilir menggoyangkan
ilalang-ilalang yang berada di sisi danau memberi kesejukan baru di pagi yang
cerah.
Widia keluar dari kamarnya
dan melihat Tommy tertidur di lantai di depan pintu kamar. Ia melangkahkan kakinya
melewati tubuh Tommy. Berjalan ke dapur, menyeduh kopi. Setelah kopi itu jadi, sambil
menatap keluar dari jendela dapur, ia menyeruput kopinya. Terdengar langkah
kaki Tommy yang datang dari belakang. Tommy melihat istrinya
itu. Ia mengambil gelas lalu mengisinya dengan air putih. Ia berdiri di depan
istrinya. Mereka berdua diam, masing-masing membiarkan suasana pagi terasa
tenang dulu.
Setelah beberapa
menit berlalu, Tommy membuka mulutnya. “Sudah bisa kita bicara sekarang?” Tanpa menatap
suaminya, Widia berkata, “Silakan, seperti yang kamu bilang semalam, aku mau
mendengar versimu.” Tommy mengangguk dan memulai ceritanya.
Sementara itu.
Matahari pagi yang
masuk melalui jendela dengan gorden yang belum ditutup dan pintu depan yang
terbuka membuat Desi silau. Ia mengucek-ngucek matanya dan terbangun di sofa ruang tamu.
Kemudian berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi juga mencuci wajahnya.
Setelah itu ia pergi ke dapur mencari makanan, mengambil sebungkus roti lalu
memakannya. “Erina … apakah kamu sudah bangun?” Desi menyelesaikan sarapan
rotinya lalu melangkah ke kamar.
“Erina … bangun
yuk.” Desi membuka gorden kamar sehingga cahaya pagi menerangi kamar tersebut.
“Selamat pagi Erina Say---” Desi berdiri terpaku ketika melihat tempat tidur dan
Erina tidak ada di situ! Ia hanya melihat selimut, boneka dan bantal gulingnya
saja. “Erina?” Desi mengetuk pintu kamar mandi di dalam kamar. “Erina apakah kamu di
dalam?” Desi membuka pintu kamar mandinya yang tak terkunci. Di dalam kamar mandi
tidak ada orang.
Desi segera
melangkah keluar kamar. “Erina? Di mana kamu? Apakah kamu sudah sehat dan mau
main petak umpet?” Desi mencari-cari ke seluruh ruangan di dalam villa itu tapi ia tidak bisa
menemukan Erina. Hatinya mulai berdegup tegang. “Erina! Di mana kamu!?” teriak
Desi ketika panik mulai mendatanginya.
***
Widia diam setelah
mendengarkan penjelasan Tommy. Ia belum memberikan respon. Di dalam otaknya masih mencerna cerita
versi suaminya ini. “Jadi kamu mau aku percaya, kalau Bu Desi ini masuk
sendiri ke dapur meski kamu sudah bilang tunggu, lalu memaksa ingin mendekati
kamu?” Widia terdengar hambar. “Tapi memang itu yang terjadi Wid, dan
meminta air panas itu hanya akal-akalan dia saja,” Tommy terlihat putus asa
untuk meyakinkan istrinya. Widia melirik Tommy lalu tersenyum
sinis. Tommy tahu, itu artinya istrinya tak percaya. Widia berjalan ke ruang
tamu diikuti Tommy.
“Wid! Aku ini
seperti Nabi Yusuf yang difitnah!”
Widia menggeleng, “Tom … Nabi Yusuf
itu yang dirobek punggung bajunya karena beliau lari … sedang kamu, berdiri
berhadap-hadapan dengan Bu Desi dalam jarak yang sangat dekat sekali, gimana aku
bisa percaya? ….”
“Tapi Wid … coba kamu
ingat-ingat lagi semalam … aku yang menahan tangan Bu Desi untuk tidak
menyentuhku! Pake logikamu, kalau aku yang memaksa, maka tanganku yang akan
ditahan oleh dia! Dan kayaknya aku juga sudah ditampar sama dia kali!”
Widia terdiam, penjelasan
suaminya di sini terasa masuk akal baginya tapi untuk apa Desi melakukan
itu pada suaminya?
“Dan anehnya, dia
tahu kalau kita ga bisa memiliki anak WId!” tambah Tommy. “Tom jangan
bodoh, semua orang juga tahu kalau aku mandul, kamu ‘kan bikin postingan soal
itu di Instagram! Ya dia pasti tahulah! Makanya jangan semua-semua serba
di-posting Tom!” sebal Widia. “Kamu betul wid, bego aku!” Tommy baru menyadari dan memaki dirinya sendiri yang terlalu terbuka di
sosial media itu.
Tiba-tiba terdengar
jeritan Desi. “Tolong! Tolong anak saya hilang!” Widia mendengar jeritan
itu lalu melihat dari jendela samping villanya, tampak Desi yang tengah
kebingungan di depan teras villa seraya berteriak-teriak. “Erina! Erina! Di
mana kamu Nak? Erina?!” setelah itu Desi terlihat menangis.
“Tom Erina
hilang!” seru Widia terkejut.
“Bodo amat, biar
tahu rasa dia,” sebal Tommy. Dengan cepat Widia menonjok bahu Suaminya. “Aduh apaan sih Wid? Semalam
sudah nampar sekarang nonjok!” kaget Tommy. “Ga boleh ngomong gitu! Kita harus bantu Bu
Desi Tom!” setelah mengatakan itu widia bergegas keluar rumah diikuti Tommy yang
melangkah malas.
“Bu, ada apa?”
cemas Widia yang langsung merangkul Desi yang tengah menangis. Wodia bisa merasakan tubuh
Desi yang gemetar. “Saya tidak bisa menemukan Erina, Bu,” lirih Desi. “Apa?!
Sudah dicari ke semua sudut villa?” tanya Widia. Desi mengangguk.
“Sudah dicari ke basement belum?” sahut Tommy. “Basement? Villa
saya tidak ada basement-nya,” bingung Desi. Tommy akan
melangkah masuk villa tapi Widia dengan cepat menahannya. “Jangan Tom … sebaiknya
kamu hubungi Pak Sam saja biar dia panggil polisi dan biar mereka yang mengecek ke dalam
rumah.” Tommy mengangguk-ngangguk setuju lalu mengangkat telepon genggamnya.
“Sabar ya Bu, saya
yakin Erina cuma ngumpet aja, nanti pasti ketemu,” Widia membesarkan hati Desi. Desi mengangguk
sedang matanya memerhatikan Yadi yang tengah berdiri di dermaga sana. Yadi
menatap balik Desi dan Desi melihat senyum sinisnya. Aku tahu siapa yang menculik anakku! Geram
hati Desi.
Sam dan seorang
polisi datang. Terlihat jelas kecemasan yang tampak di wajah Sam. Mereka
langsung menghampiri Desi yang duduk lemas dengan tatapan kosong di teras. Di sebelahnya Widia tampak
setia menemani. Sedang Tommy hanya berdiri memerhatikan semua orang. “Bu Desi, saya ikut
menyesal mendengarnya … saya memohon maaf … hal ini belum pernah terjadi
sebelumnya,” kata Sam, “tapi semoga Erina hanya sedang bermain saja, mungkin
dia tersasar … oya saya sudah membawa teman saya dari kepolisian sektor Bukit
Cemara, namanya Pak Hasan, dia akan membantu, begitu pun saya Bu, InsyaAllah
Erina akan kita temukan dengan cepat.” Sam meyakinkan Desi. Hasan
tersenyum pada Desi, “Ijin saya periksa ke dalam ya Bu.” Desi mengangguk.
“Erina sedang sakit
… dia tidak mungkin bermain Pak,” kata Desi sebelum Sam masuk ke
dalam villa. Sam menghela nafas mendengar itu lalu mengangguk kemudian masuk ke
dalam villa menyusul Hasan. Di dalam, mereka melihat mainan yang berserakan di
depan televisi dan sebuah kotak coklat. Hasan memeriksa pintu dan jendela
sedang Sam keluar dari pintu belakang memeriksa pagar kawat yang berbatasan
dengan hutan cemara juga mengecek jendela-jendela dari luar.
Hasan masuk ke
dalam kamar di mana Erina tidur. Ia melihat sekeliling kamar, memeriksa
jendelanya juga memeriksa kamar mandinya. Setelah itu ia menuju dapur, memerhatikan
seisi dapur. Menumpuk mangkok-mangkok bekas makan yang belum dicuci. Di dapur
juga Hasan melihat tempat sampah yang penuh dengan bekas bungkus mie instan dan
plastik bekas roti. Ia memungut satu plastik bekas roti, memerhatikannya lalu
membuangnya lagi ke tempat sampah. Setelah itu ia keluar.
Hasan duduk di
depan Desi. “Maaf, apakah saya sudah bisa bertanya-tanya pada Ibu?” tanya Hasan.
Sam datang dari dalam, ia menggeleng pelan pada Hasan. Hasan tahu, itu artinya
mereka tidak menemukan jejak apa pun.
“Saya tahu siapa
yang menculik anak saya.” Kalimat Desi yang tidak menjawab pertanyaan Hasan sebelumnya
itu membuat kaget semua orang. Desi menatap pada Yadi yang sedang berada di dermaga
itu. “Maksud Bu Desi, Yadi?” Sam ikut menatap Yadi. Desi mengangguk. “Kenapa Ibu
bisa menduga kalau dia yang membawa Erina?” tanya Hasan. “Kami pernah ribut
kemarin, karena dia mencoba mengintip ke dalam villa saat Erina masih ada, saya
tidak suka itu dan saya menegur dia … sepertinya dia tersinggung dengan ucapan
saya kemudian membalas dengan membawa Erina, dan tadi saya melihat dia
tersenyum sinis pada saya …” urai Desi.
Hasan menatap Sam,
“Apakah Yadi memiliki kunci-kunci cadangan atas villa-villa ini?” Dengan berat
hati seakan menyesal telah memercayakan kunci-kunci itu pada Yadi, Sam
mengangguk. “Selain itu … kata Pak Sam, dia mudah tersinggung, betul ‘kan Pak?”
tambah Desi, Sam mengangguk. “Dan tadi pagi, saat saya bangun, pintu depan sudah
terbuka, pasti dia yang membuka dengan kunci cadangannya …” sambung Desi.
“Memang kami tidak
menemukan ada pintu dan jendela yang rusak … tapi kita tidak bisa menangkap
orang atas dasar tuduhan … kita harus memiliki bukti---”
“Tidak! Saya yakin
dia yang membawa anak saya saat saya tertidur di sofa semalam!” Desi bersikeras
dengan memotong kalimat Hasan. “Iya … Ibu tenang dulu, tunggu dulu … saya akan
menanyai dia dulu Bu,” Hasan mencoba menyabarkan. “Tidak bisa! Erina harus
segera ditemukan!” tukas Desi.
“Betul Pak Hasan,
dalam kasus penculikan kita tidak bisa menunggu … ada yang dinamakan golden
time … yaitu jam-jam kritis di mana kita harus segera menemukan korban
penculikan sebelum korban penculikan itu kenapa-kenapa …” sela Widia.
Hasan mengangguk,
“Betul Bu … karena itu biarkan saya dan Pak Sam bekerja, kita akan bekerja
secepat mungkin.” Sam menatap Desi, “Bu … kalau betul anak itu yang melakukannya,
saya tidak akan ragu untuk menjebloskannya ke penjara, jadi Ibu percayakan sama
kita.” Desi hanya diam tak menanggapi, matanya terus mengawasi Yadi.
“Apakah tidak
sebaiknya, Pak Hasan mengerahkan kesatuan di polsek Bukit Cemara untuk mencari
Erina di wilayah ini dulu?” saran Tommy. “Itu yang pertama akan kami lakukan Pak …
nanti siang rekan-rekan dari kepolisian akan datang ke sini,” kata Hasan
menanggapi Tommy. “Sekalian bawa anjing pelacak Pak, itu bisa mempercepat,” tambah Widia. “Sayang
sekali Bu … kepolisian kami di sini, tidak memiliki anjing pelacak … harus
membawa dari kepolisian daerah kota dan itu cukup jauh … kita harus cepat
bukan?” Widia mengangguk-ngangguk. “Baiklah, untuk menyingkat waktu, saya akan
menanyai Yadi, mari Pak Sam.” Hasan pun berdiri dari duduknya, melangkah menuju
dermaga diikuti Sam.
“Bu Desi, kami masih
di sini sampai lusa … jadi Bu Desi jangan ragu untuk datang ke villa saya kalau
perlu apa pun,” ucap Widia membuat Tommy melotot memberi tanda ia tak suka dengan ide itu. Desi mengangguk,
“Terima kasih Bu Wid … maaf semalam---”
“Sudahlah Bu Desi … persoalan
semalam hanya salah paham … yang penting sekarang kita harus fokus mencari dan
menemukan Erina dulu,” Widia merangkul bahu Desi, “saya dan suami saya akan membantu mencarinya
juga Bu … sekarang saya dan suami kembali ke villa dulu ya Bu untuk
bersiap-siap bergabung bersama tim pencarian Erina nanti.” Desi mengangguk.
***
“Halo Di … gimana
semua baik-baik saja di sini?” sapa Hasan pada Yadi. Yadi yang sedang
membersihkan perahu melihat Hasan dan Sam berdiri di dermaga tengah
memandanginya. “Ya … seperti biasa …” jawab Yadi singkat kemudian kembali
membersihkan perahu. “Bisa ngobrol sebentar ke sini Di?” kata Hasan. Yadi
merasa ada sesuatu yang tak beres. “Ada apa Pak?” tanya Yadi. “Kesini dulu saja
Di!” Sam terlihat tak sabar.
Yadi pun keluar
dari perahu, naik ke dermaga. “Sepertinya ada yang ga beres ya?” terka Yadi
seraya mengelap tangannya dengan kain di hadapan Hasan dan Sam. “Kamu tahu apa
yang terjadi sama Bu Desi, penyewa villa nomor tiga?” tanya Hasan. Yadi mengerutkan kening lalu
menggeleng, “Ga … kenapa saya harus tahu? Bukan urusan saya.” Sam melotot,
“Sopan sedikit Di!”
“Anak Bu Desi hilang, kamu
tahu itu?” Hasan menatap Yadi, ia menunggu sebuah gerakan gugup atau sesuatu
yang bisa mengindikasikan seseorang yang sedang menutup-nutupi sesuatu. “Ga
tahu … kemarin perasaan masih ada anaknya … saya masih dengar suaranya,” jawab
Yadi tidak menunjukkan gerakan apa pun. “Kamu di mana semalam?” tanya Hasan.
“Saya ada di kabin, nonton televisi,” jawab Yadi. “Kita mau periksa kabin
kamu,” lanjut Hasan. Yadi terkejut, “Kenapa kabin saya mau diperiksa? Saya
tidak melakukan apa-apa!” Sam yang sudah tak bisa menahan kesabarannya lagi
bergerak menarik Yadi, “Ikuti saja Di! Ayo!”
“Hey! Kalian ga bisa memaksa saya, kalau mau
periksa kalian harus bawa surat perintah penggeledahannya, ga bisa seenaknya
begini dong!” protes Yadi sambil berusaha melepaskan tarikan tangan Sam di
kaosnya. “Semakin kamu menolak, semakin kami curiga kalau kamu menyembunyikan
sesuatu di rumah kabinmu Di!” sahut Hasan. “Kooperatif saja sih Di kalau memang
kamu ga salah!” cetus Sam sambil terus menyeret Yadi hingga sampai di depan
pintu rumah kabinnya.
“Buka pintunya!”
tegas Sam seraya mendorong Yadi. “Iya, iya sabar!” kesal Yadi membuka kunci.
Menyeruak keluar asap rokok dari dalam kabin ketika pintu dibuka. Hasan dan Sam
masuk ke dalam rumah kabin seraya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah
mereka. “Di, sudah dibilang berkali-kali jangan merokok di dalam sini! Rumah
kabin ini terbuat dari kayu, kalau puntung rokokmu jatuh, bisa kebakaran
Bodoh!” sentak Sam.
Hasan segera
menelusuri ruangan. Ia memeriksa ruang tamu dan kamar tidur yang hanya ada satu
sedang Sam memeriksa dapur dan kamar mandi. Ketika Hasan memeriksa kamar tidur,
Yadi terlihat gelisah. Sam melihat itu. “Kamu kenapa Di? Kenapa gelisah?”
selidik Sam. “Dih siapa yang gelisah?” cibir Yadi.
Sam menatap dalam
mata Yadi tapi Yadi tak berani membalas tatapan itu. “Di … saya penanggung
jawab di villa Bukit Cemara ini … sekarang seorang anak kecil hilang … ini
membuat saya gusar dan marah … camkan ini, kalau kamu terlibat dengan hilangnya
anak ini, maka saya tidak akan segan untuk menghajarmu habis-habisan Di!”
Hasan menepuk bahu
Sam, “Ayo, kita keluar dari sini Pak.”
Sam mengangguk dan
berjalan keluar rumah kabin bersama Hasan. “Pasti Bu Desi yang mengadukan kalau
saya pelakunya bukan?” celetuk Yadi. Sam menoleh, “Apakah kamu pelakunya?” Yadi
menyalakan rokoknya di teras kabin, menghirup dan menghembus asapnya. “Tapi Pak
Hasan dan Pak Samtidak menemukan apa-apa di kabin saya bukan?” pongah Yadi.
“Di, apa maksud kamu dengan tersenyum sinis pada Bu Desi?” tanya Hasan. “Sinis?
Saya hanya memandangnya … ga senyum malah,” jawab Yadi.
Hasan dan Sam pun
berjalan meninggalkan Yadi. “Saya curiga anak itu menyembunyikan sesuatu Pak,
dia terlihat gelisah tadi …” kata Sam. “Saya harus membawa surat geledah dulu
Pak,” balas Hasan. Sam mengangguk. Di depan mereka terlihat Desi sedang
menunggu. “Gimana Pak? Ada Erina di kabin dia?” Hasan dan Sam menggeleng.
“Saya yakin dia
menyembunyikannya di situ!”
“Bu Desi, nanti akan
kita periksa lebih detil lagi bersama beberapa rekan saya setelah saya
mendapatkan surat geledahnya … sekarang Ibu tunggu di villa dulu saja,” senyum
Hasan. “Saya tak bisa menunggu, Erina sedang sakit dan cuaca di sini sangat
dingin kalau malam … apa jadinya dia di luar sendirian Pak,” mata Desi
berkaca-kaca. “Bu saya berjanji akan menemukan Erina,” kata Sam. Desi mengangguk
pelan lalu memandang jauh pada danau yang beriak-riak.
***
“Sayang, kamu
jangan kasih ide konyol seperti tadi itu lagi deh,” cetus Tommy yang
tengah bersiap memakai jaket tebalnya. “Tom … kamu ga kasian sama
Bu Deai apa? Dia ga punya suami, sekarang anaknya hilang … cuma kita yang dia
miliki sekarang … ga ada salahnya ‘kan kalau aku menawarkan bantuan? Aku cuma
ngebayangin, gimana kalau aku ada di posisinya coba?” balas Widia yang
telah memakai jaket serta kupluk pelindung kepala.
“Iya, aku tahu kamu
‘tu orangnya cepet tersentuh dan ga tegaan … tapi kita udah cukup baik kok sama
dia … jadi jangan disuruh kesini lagi kali setelah apa yang terjadi semalam …
kita itu kesini mau liburan, bulan madu lagi … bukan ngurusin dia,” balas Tommy. Widia mendekati
Tommy,
memandangi suaminya seraya memegangi kedua pipinya, “Sayang kamu kok jadi ga
berempati gini sih? Tommy yang aku cintai itu ga begini loh.”
Tommmy menghela nafas,
“Tadinya berempati tapi semenjak kelakuan dia begitu, aku jadi ga rispek lagi Wid…” Widia
tersenyum, “Ya sudah kita lupakan yang kemarin … sekarang kita fokus cari Erina
dulu aja ya?” Tommy mengangguk, “Asal kamu tahu Sayang, aku melakukan ini demi kamu dan
karena aku peduli sama Erina bukan karena ibunya.” Widia tertawa sembari
memeluk suaminya.
***
Sore itu
mobil-mobil polisi berdatangan. Mereka bersiap untuk melakukan pencarian. Di
bawah komando Pak Hasan maka mereka mulai menyisir hutan cemara. Desi, Tommy, Widia dan Sam
terlihat di barisan depan bersama Hasan. Mereka berjalan berjajar untuk menyapu
tiap wilayah yang dilalui. Semak-semak di periksa, tanah diamati berharap
menemukan jejak kaki. “Erina! Erina!” panggil mereka bergantian. “Erina, di mana kamu? Erina? Ini Mamah Nak!”
teriak Desi gemetar. Bergetar hati Widia mendengar panggilan itu. Matanya
berkaca-kaca. Rasanya ia tak akan sanggup bila berada di posisi Desi.
Cuaca di hutan
cemara semakin dingin ketika malam menjelang. Semua orang mulai khawatir dengan
kondisi ini mengingat Erina yang tengah sakit. Cahaya senter yang dinyalakan
dari setiap orang itu menyinari hutan cemara, mereka masih terus menyisir hutan
meski malam telah datang. “Erina! Erina!” teriak Sam dengan keras hingga
gemanya memecah hutan. Berjam-jam kemudian mereka masih terus mencari hingga
Hasan memutuskan melanjutkan pencarian lagi keesokkan harinya karena kabut
turun dan semua orang sudah kelelahan.
Desi menitikkan
air matanya ketika Hasan memutuskan itu. Widia merangkul bahu Desi,
menghiburnya, “Tenang Bu … besok kita semua akan cari lagi Bu, Tuhan akan
menjaga dan menghangatkan Erina malam ini Bu … besok kita akan temukan dia.” Desi mengangguk
pelan dan mengikuti yang lainnya kembali ke villa.
“Apakah perlu saya
temani di villa Bu?” Widia menawarkan diri. Desi menggeleng, “Tidak usah terima kasih, saya butuh
tidur dan Bu Widia sebaiknya juga beristirahat untuk pencarian besok,” kata Desi lalu
melangkah lemah masuk ke dalam villa dan menutup pintunya. Widia menghela
nafas melihat kesedihan itu. “Tenang Wid, dia butuh istirahat, kita juga,” Tommy merangkul
bahu istrinya. “Aku khawatir dengan Bu Desi, Sam,” ucap Widia. “Kita
semua juga begitu,” balas
Tommy. Mereka berdua pun kembali ke villa mereka.
***
Di dalam villa, Desi tidaklah tidur. Ia
duduk tegak di sofa ruang tamu. Menunggu. Dan ketika didengarnya semua mobil
polisi itu pergi, ia keluar dari villanya. Berjalan di dini hari yang dingin
menunju rumah kabin yang tak jauh dari dermaga. Desi memantau kondisi
sekitarnya yang sepi kemudian melangkah perlahan saat memasuki teras rumah
kabin itu. Ia berjinjit-jinjit tak ingin menimbulkan suara.
Desi mengintip
dari balik jendela yang tidak tertutup rapat. Tidak ada orang di dalamnya. Ia
mencoba mendorong pelan pintunya, ternyata tak terkunci. Ia masuk pelan-pelan
dan nyaris batuk tersedak asap rokok yang memenuhi ruangan. Desi mengatur
nafasnya. Setelah itu ia berjalan pelan di dalam kabin. “Erina … Erina apakah
kamu di sini?” bisik Desi dengan mata yang mencari-cari. Ia memeriksa dapur dan kamar mandi
tetapi ia tak menemukan Erina. Ia berjinjit menuju kamar tapi sebelum masuk ia
mengintip dulu dari balik pintu. Setelah dipastikan kamarnya kosong, Desi baru melangkah
masuk.
“Erina … ini
Mamah,” bisik Desi sambil memeriksa kamar. Ia mengecek ke kolong tempat tidur, tidak ada
siapa-siapa, yang tampak hanya debu. Desi memeriksa lemari
membuka perlahan dan matanya membelalak ketika di dalam lemari ia menemukan
sebuah kain. Kain yang biasa dipakainya untuk menggendong Erina!
Ya Tuhan, dia
menculik Erina!
Gemetar tangan Desi menyentuh
kain tersebut. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara yang berasal dari belakang
rumah kabin. Seperti ada orang yang tengah beraktivitas di pinggir danau. Desi memutuskan
untuk melihat ke sana. Keluar dari rumah kabin, Desi memutar ke samping
dengan melangkah satu dua tanpa suara. Pelan-pelan ia mengintip dari balik
tumpukan kayu-kayu gelondongan. Mengintip apa yang terjadi di belakang rumah kabin
yang berbatasan langsung dengan danau itu.
Ia melihat Yadi
tengah sibuk mengikat ujung sebuah plastik hitam berukuran besar yang terisi
penuh hingga menggembung itu dengan sebuah batu besar, kemudian plastik hitam
itu ia tenggelamkan perlahan-lahan ke dalam danau. Desi terkejut hingga
membekap mulutnya dengan tangan mencegahnya untuk berteriak. Apakah itu Erina?
Jantung Desi berdebar. Ya Tuhan dia membunuh Erina dan menenggelamkannya! Pekik
hati Desi.
Desi akan
melabrak Yadi tapi ia mengurungkan maksudnya setelah melihat sebuah pisau
berada di sebelah Yadi. Ia jadi tak berani. Maka Desi memutuskan untuk
kembali ke villa, lalu bergegas membawa mobilnya menuju rumah kabin Sam.
**
Hasan dan Sam belum
tidur malam itu. Bagaimana mereka bisa tidur saat mengetahui ada seorang anak
kecil yang tengah sakit dan hilang di wilayah mereka? Mereka adalah
petugas-petugas yang bertanggung jawab akan tugasnya. Maka malam itu mereka
membahas langkah-langkah berikutnya untuk mencari Erina dan mulai mencari tahu
siapa penculiknya, apa motifnya. Hasan membaca buku tamu. “Desi Sari,”
gumamnya membaca nama yang tertulis di buku tersebut.
“Menurut Pak Hasan,
apa motif penculiknya? Uang? Tapi menculik seorang anak dari single mom yang
tidak kaya raya dan tidak terkenal rasanya tidak mungkin,” ucap Sam. “Tidak
selalu soal uang Pak … sedang marak penculikkan untuk diambil dan dijual organ
tubuh anak tersebut,” jawab Hasan. “Bajingan! Kejam sekali penculik seperti
itu! Gimana kalau anak mereka yang digituin? Tega sekali!” geram Sam.
“Pak Sam, saya
penasaran, saya sedang mencari motifnya … apakah pertikaian antara Bu Desi dan Yadi
sebegitu hebatnya sehingga membuat Yadi sampai bisa menculik anaknya?”
“Rasanya sih biasa
saja Pak, setelah itu pun Yadi meminta maaf dan Bu Desi memaafkannya, tapi Yadi
itu memang anaknya mudah tersinggung dan apakah dia dendam? Saya ga tahu.”
“Saya sudah tak
sabar ingin membongkar seluruh isi kabinnya itu dan ingin tahu apa yang
membuatnya gelisah hanya saja saya harus menunggu datangnya surat perintah
geledahnya dulu.”
Sam mengangguk,
“Saya pun begitu Pak, sudah ga sabar.”
Tiba-tiba pintu
rumah kabin digedor keras mengagetkan kedua orang itu. Hasan yang duduk lebih
dekat ke pintu dengan cepat berdiri lalu membuka pintunya. Tampak Desi yang berdiri
dengan wajah tegang.
“Bu Desi? Ada apa?”
kaget Hasan.
“Saya sudah
menemukan Erina Pak,” kata Desi gemetar.
“Ditemukan di mana
Bu?” tanya Hasan.
“Dia … dia dibunuh
oleh Yadi dan ditenggelamkan ke dalam danau!” jerit Desi.
“Apa?!” seru Sam
hingga terlompat dari duduknya.
“Ibu tidak boleh
menuduh orang sembarangan loh,” Hasan mengingatkan. “Saya tidak menuduh Pak!
Saya melihatnya sendiri dan saya menemukan kain gendongan anak saya di lemari
dia!” seru Desi. “Bangsat,” geram Sam. “Baiklah kita kesana sekarang,” kata Hasan dan
mereka bertiga menaikki mobil Desi menuju dermaga.
Mobil sampai di
dermaga. Sam dengan penuh amarah melompat dari mobil dan berlari ke rumah kabin
disusul Hasan. Sedang Desi menunggu di depan rumah kabin dengan gelisah. “Yadi buka pintunya
cepat!” teriak Sam sembari menggedor pintu. Lama tak dibuka, Hasan segera
menendang pintunya hingga engselnya lepas dan pintu pun terbuka lebar nyaris
roboh. Mereka berdua dengan cepat masuk lalu menuju kamar Yadi, di mana si
empunya rumah sedang tertidur dengan asap rokok memenuhi kamarnya.
Sam membangunkan
Yadi, “Heh Di bangun!!” teriaknya. Sedang Hasan membuka lemari dan melihat kain
gendongan itu. “Sialan, dia membohongi kita!” kesal Hasan. Sam menarik kerah
kaos Yadi hingga membuatnya terbangun. Tampak wajahnya yang mabuk dengan
matanya yang sayu. Sam melihat rokok yang tersisa di asbak. “Bangsat, sudah kubilang jangan
merokok di dalam kabin apalagi memakai narkoba!” teriak Sam sambil menampar
Yadi.
Yadi terhempas di
atas kasur. Ia masih kebingungan dengan apa yang terjadi. “Katakan di mana anak
itu?” bentak Sam. “Hah, anak? Anak apaan? Saya belum nikah Sam,” cengir
Yadi dalam mabuknya. “Kurang ajar!” Sam menarik Yadi dari dari kasur lalu
menghadiahinya dengan satu bogem mentah di pipinya membuat Yadi terpelanting ke
tembok. “Apa ini?” pukulan itu sepertinya mulai menyadarkan Yadi dari mabuknya.
Sam mendatangi Yadi, mencengkeram lagi kerah kaosnya. “Kenapa saya dipukul
Pak?” tanya Yadi dengan tubuh masih sempoyongan.
Dengan geram Sam
akan mengangkat tinjunya lagi tapi Hasan mencegahnya. “Cukup Pak! Kita bawa
dulu dia keluar sembari menunggu rekan-rekan saya, tadi saya sudah menghubungi
mereka untuk datang ke sini pagi ini.” Sam menyeret Yadi keluar dari rumah
kabin. Di luar, Yadi melihat Desi yang tengah berdiri. “Pasti kau lagi yang
mengadu! Dasar perempuan sundal!” maki Yadi. Sam menampar Yadi berkali-kali di
pipi, di kepala, di mana saja ia bisa menamparnya sembari berteriak, “Heh, jaga
mulutmu!” Yadi yang masih sempoyongan tak banyak melawan, ia menerima tamparan
itu sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.
“Mana Erina, mana
anak saya?! Kamu sudah membunuhnya ‘kan!” teriak Desi seraya menendang Yadi.
Hasan menenangkan Desi dan menjauhinya dari Yadi. Di kejauhan tampak Widia dan Tommy datang mendekat. Hari yang mulai pagi dan
keributan ini sepertinya membangunkan mereka. Sam mendorong Yadi untuk berlutut
di depan mereka. “Diam di situ jangan coba-coba lari kau!” ancam Sam. Hasan
mengambil air dari danau dengan sebuah ember bekas lalu menyiram kepala Yadi.
Yadi menjerit gelagapan saat air itu menyiram kepala dan sekujur tubuhnya. Air
danau yang sedingin air es itu menyadarkannya.
“Ini ada apa sih?”
bingung Yadi.
“Di … di mana
Erina?” tanya Hasan.
“Erina? Saya ga
tahu Pak.”
“Si Anjing masih
mau bohong,” kesal Sam mengangkat tangannya akan memukul membuat Yadi
melindungi kepalanya lagi dengan tangannya. “Betulan Pak, saya ga tahu di mana
Erina, ampun Pak!” mohon Yadi.
“Di, ini kami
temukan di lemari kamu, ini kain gendongannya Erina! Kamu yang mengambilnya
bukan?” Hasan menunjukkan kain gendongan itu ke hadapan wajah Yadi. “Ya Tuhan,”
kaget Widia yang telah berada di samping Desi. Ia ingat kain itu yang
dipakai Desi untuk menggendong Erina waktu pertama kali datang. Yadi terkejut lalu
berkata gemetar, “Sumpah Pak … saya ga tahu itu punya siapa … dan saya belum
pernah melihatnya Pak … baru sekarang ….”
“Sudah ada bukti,
kamu masih ga mau ngaku?” geleng-geleng Sam.
“Betulan Pak, saya
ga tahu,” gemetar Yadi.
“Apa yang kamu
tenggelamkan di danau Subuh tadi?” selidik Hasan.
Yadi menunduk dan
diam.
“Jawab Di!” bentak
Sam.
“I … itu … hanya
plastik hitam berisi sampah bukan---”
“Kamu membunuh
Erina dan menenggelamkannya ‘kan untuk menghilangkan jejak!?” jerit Desi lalu
menangis. Widia dan Tommy terkejut mendengar itu. “Sabar Bu sabar,” Widia merangkul bahu Desi.
Di depan dermaga
terlihat mobil-mobil polisi yang berdatangan. Kemudian beberapa polisi terlihat
membawa alat kait seperti pancingan hanya dalam ukuran yang lebih besar. Hasan
menatap Yadi, berkata pelan tapi penuh tekanan, “Tunjukkan di mana kamu
menenggelamkan plastik hitam itu dan kalau betul itu Erina, kamu akan menyesal
telah membohongi saya Di.”
Beberapa saat
kemudian. Alat pancing besar itu telah dipasang di pinggir danau dan ujung
pancingnya yang berbentuk kaitan mulai ditenggelamkan. Seorang penyelam dari
kepolisian melompat ke dalam danau untuk mengaitkan alat pancing itu dengan
plastik hitam di dasar danau. Semua orang menunggu di pinggir danau dengan hati
tegang. Widia terus mengusap-ngusap bahu Desi memberi ketenangan. Tak
lama, penyelam itu muncul ke permukaan danau memberi tanda pada seorang polisi
yang mengoperasikan alat pancing itu. Polisi itu menekan sebuah tombol maka
alat pancing itu pun mulai bekerja.
Talinya pelan-pelan
menarik sesuatu dari dalam danau. Semua orang terlihat tegang. Dan ketika
plastik hitam itu muncul dari permukaan danau semua orang menahan nafasnya.
Jantung Desi berdetak cepat begitu pun Widia. Plastik hitam itu diletakkan di pinggir
danau secara perlahan oleh alat pancing tersebut. Setelah kaitannya dilepas,
Hasan mendekat dengan membawa sebuah pisau.
Desi, Widia, Tommy dan Sam
begitu juga Yadi yang telah terborgol itu memerhatikan. Hasan menarik nafas
sebelum menyobek ujung plastik dengan pisaunya. Pisau mulai menyobek plastik
hitam itu dengan memanjang hingga terbelahlah plastik hitam yang menggembung
itu hingga mengeluarkan isinya.
Semuanya menatap
terkejut.
Isi plastik hitam
itu ternyata bukanlah Erina melainkan puluhan video dewasa, daun-daun ganja
yang terbungkus koran dalam jumlah besar serta sejumlah narkoba dalam
plastik-plastik kecil.
Widia menghela nafas lega
mengetahui plastik hitam itu bukan Erina. “Syukurlah bukan Erina Bu,” bisik
gembira Widia pada Desi. Desi hanya mengangguk. “Jadi di mana Erina?’ lirih Desi. “Erina
sudah pergi … ga mau punya ibu kayak lo!” cetus Yadi kesal. Sam dengan cepat
menamparnya lagi, “Diam kau Di!” Yadi memekik ketika tamparan itu mendarat di
pipinya. “Kamu saya pecat Di!” sambung Sam. Yadi hanya menunduk sambil
memegangi pipinya
“Jadi ini yang
membuat kamu gelisah Di?” tanya Hasan.
Yadi mengangguk.
“Kenapa kamu
tenggelamkan ini semua?”
“Sejak kabin saya
digeledah, saya jadi ga tenang, saya takut ketahuan kalau saya menyimpan
benda-benda itu, maka saya pikir akan aman kalau saya simpan dalam danau saja.”
Hasan
geleng-geleng. “Bawa dia ke kantor,” perintah Hasan pada anak buahnya. Yadi pun
dibawa pergi.
“Lalu di mana anak
saya Pak?” Desi menatap Hasan lalu Sam dengan tatapan sedih. “Hari ini kita akan
melakukan penyisiran lagi Bu, semoga kita bisa menemukan Erina hari ini,” kata
Hasan. “Tolong Pak temukan Erina … dia belum makan dari kemarin …” Desi menangis.
“Saya tidak akan berhenti sebelum Erina ditemukan Bu, saya berjanji,” Sam
mengusap-ngusap bahu Desi.
“Sebaiknya sekarang
Ibu sarapan dulu yuk, saya sudah menyiapkan pancake,” ajak Widia. Desi menuruti. Widia merangkul
Desi lalu mengajak ke villanya.
***
“Bu Desi, sepertinya kami tidak
bisa membantu pencarian lagi, karena sore ini kami harus kembali ke Jakarta,
saya mohon maaf ya,” kata Widia lembut. Desi yang akan menyuap
pancake-nya terdiam. Ia meletakkan piring berisikan pancake itu. “Kenapa?” Desi menatap Widia. “Tommy tadi pagi
mendapat telepon dari rumah yang memberitahukan kalau mamahnya masuk rumah
sakit jadi kami harus pulang,” jelas Widia.
Desi menunduk.
“Tapi saya tidak punya siapa-siapa lagi di sini … kalau Bu Wid ga ada,
saya sendirian.” Widia merasa trenyuh. “Tapi ‘kan ada Pak Sam dan Pak Hasan yang akan
terus menemani Ibu,” hibur Widia. “Mereka jauh di depan sedang saya tinggal di
villa sendiri Bu,” mata Desi berkaca-kaca. Widia merangkul bahu Desi, ia merasa
tak enak dan tak tega meninggalkan Desi yang sedang tertimpa musibah ini sendiri.
“Sebentar ya Bu,”
ucap Widia lalu menuju kamarnya. Di kamar tampak Tommy sedang merapikan
barang-barangnya ke dalam koper. “Tom, ga bisakah kita semalam lagi di sini? Aku ga
tega lihat Bu Desi,” kata Widia pelan tak ingin terdengar Desi yang duduk di ruang
tamu. Tommy menatap Widia seakan tak percaya, “Ya ampun Wid, sekarang kamu
mendahulukan dia dibanding mamahku!”
“Pelankan suaramu Tom! Bukan
begitu Tom … kalau mamah di rumah sakit ‘kan masih ada kakakmu bukan? Kalau Bu
Desi di sini dia sendirian,” terang Widia. “Ga bisa, kalau
kamu mau di sini nemenin dia silakan saja … kalau aku mau pulang, ke rumah
sakit, jenguk mamah, titik!” tegas Tommy. Widia duduk seraya menghela nafas di tempat tidur,
ia tahu tak bisa membujuk suaminya.
Di ruang tamu, Desi mendengarkan
percakapan itu semua.
***
Di kantor polisi, Yadi sedang diinterogasi
Hasan. Sedang tugas penyisiran mencari Erina hari itu dipimpin Sam. Mereka
menyisir area sekitar danau dan area hutan cemara yang lainnya. Hasan
meletakkan kain gendongan itu di atas meja. “Di, supaya cepat, katakan kamu
ambil di mana kain ini?” Hasan menatap tajam Yadi. “Pak, kalau saya pemakai dan
penjual narkoba saya akui tapi untuk yang ini saya betul-betul tidak tahu!”
jawab Yadi.
Hasan menggebrak
mejanya. “Di, kita berpacu dengan waktu! Nyawa seorang anak dipertaruhkan di
sini!” sentak Hasan. Yadi menangis, “Sumpah Pak, saya tidak sejahat itu … saya tidak akan menyakiti anak kecil … demi
Allah Pak.” Hasan menatap Yadi dalam-dalam. Ia merasa Yadi mengatakan yang
sebenarnya. Hasan menyuruh anak buahnya untuk membawa Yadi ke sel. Kemudian ia
sendiri melangkah keluar dari ruang interogasi. Menuju ruang data dan duduk di
belakang sebuah komputer. Ia mulai mencari profil para pelaku kejahatan yang
ada di data kepolisian terutama yang berkaitan dengan kasus penculikkan
baru-baru ini.
***
Desi duduk di teras villanya ditemani Widia. “Tidak
bisakah Bu Wid semalam lagi di sini?” pinta Desi lagi. Widia
menggeleng, “Sayang sekali tidak bisa Bu … maafkan kami.” Desi menunduk.
“Saya mendoakan Erina ditemukan dalam keadaan sehat wal afiat dan bisa
berkumpul lagi bersama ibu,” ucap Widia bersungguh-sungguh. Desi mendongak
dan menatap tajam mata Widia, “Terima kasih pancake-nya ya Bu … maaf kalau saya merepotkan.”
Tatapan yang dingin itu cukup membuat Widia bergidik sebentar.
“Tidak masalah Bu …
saya yang malah sedih tidak bisa menemani Ibu … habis mau gimana lagi, ibu
mertua masuk rumah sakit sih,” sesal Widia.
“Tidak apa-apa Bu …
pulanglah … saya akan menanganinya sendiri.”
“Tidak kok, Ibu
tidak menanganinya sendiri … ada Pak Sam, Pak Hasan dan banyak polisi yang
bantu,” kata Widia membesarkan hati Desi. Desi tidak menanggapi, ia hanya terus menatap Widia. “Jadi
tidak apa-apa kalau saya tinggal ya Bu? Saya mau membantu Tommy
beres-beres,” lanjut Widia yang merasa tak enak mendapat tatapan dingin itu terus menerus. Desi mengangguk. Widia lalu
memeluk Desi. “Semua akan baik-baik saja Bu.” Kemudian Widia bergegas
meninggalkan Desi.
Beberapa saat
kemudian.
Desi hanya diam
memerhatikan Tommy yang tengah sibuk merapikan bagasi mobilnya di halaman villanya.
Beberapa saat kemudian, Widia keluar dari dalam villa menyeret sebuah koper besar dengan
terengah-engah. “Sayang, bantuin dong … berat nih!” seru Widia pada
suaminya. Tommy segera bergegas membantu istrinya. Desi memerhatikan koper
besar yang sedang diangkat berdua oleh suami istri tersebut. Ia mengerutkan
kening dan berpikir, untuk apa mereka membawa koper besar hanya untuk liburan
akhir pekan? Saat Desi tengah memerhatikan koper besar itu, ia terhenyak saat melihat dari
dalam tas tersebut ada sesuatu yang bergerak!
“Cepet masukkin
bagasi Tom, ini berat tahu!” cetus Widia yang terengah-engah. Kemudian mereka tampak
bergegas memasukkan koper itu ke dalam bagasi. “Eh Sayang, sebelum pulang kita
foto-foto dulu di pinggir danau dulu yuk! Mumpung warna senjanya bagus tuh!”
seru Tommy melihat pada cahaya jingga senja yang menyebar di garis danau. “Tom, jangan
terlalu senang begitu … ga enak sama Bu Desi … dia lagi duduk di
teras tuh ngeliatin kita,” bisik Widia. “Bodo amat, bodo amat,” sahut Tommy, “ayo
Sayang!” Tommy kemudian berlari ke arah dermaga diikuti Widia.
Melihat suami istri
itu pergi ke dermaga, Desi berdiri dari duduknya, masuk ke dalam villa. Ia menuju kamar anaknya
tidur lalu memeriksa kamar itu. Ia membuka lemari, lalu memeriksa ujung-ujung
kasur tapi ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Desi melangkah ke kamar
mandi yang ada di dalam kamar, memeriksa setiap sudutnya, tapi ia juga tak bisa
menemukan apa-apa.
bertolak pinggang,
matanya bertumbuk dengan kolong tempat tidur. Dengan cepat Desi membungkuk
untuk memeriksa kolong tempat tidur itu. Dan yang ditemukannya di kolong tempat
tidur membuatnya terkejut. Desi menemukan sebuah kotak bekas susu coklat
kesukaan Tommy! Desi bergegas keluar dari pintu belakang villanya. Ia melihat pasangan
suami istri itu masih sibuk memotret di dermaga. Melihat situasi aman, maka Desi melangkah
masuk ke halaman villa mereka, melewati jalan samping dan membuka pintu
belakang yang lupa dikunci Widia.
Desi berjalan
pelan-pelan di dalam dapur. Ia teringat akan kalimat Tommy di hari Erina
hilang. Tommy mengatakan, “Sudah dicari ke basement belum?” Kata basement itu
terngiang-ngiang di telinga Desi. Ia mencari-cari basement dan melihat sebuah
pintu yang berukuran lebih rendah dibanding pintu lainnya dan berada di dekat
lemari dapur. Desi mendorong pintu itu, hingga di hadapannya tampak anak tangga dari
kayu yang menyusur turun menuju lantai bawah.
Pelan-pelan Desi menuruni
anak tangga itu dengan hati berdebar. Ia menuruni satu persatu sampai di anak
tangga paling bawah. Kini tampak di depannya sebuah ruang basement yang tidak
terlalu besar yang dipenuhi dengan berbagai perabotan bekas tak terpakai. Tidak
banyak cahaya yang masuk selain basement itu tak berjendela juga karena di luar
hari telah menjelang malam. Desi meraba-raba dinding dan menemukan saklar lampu
lalu menyalakannya. Sebuah lampu bohlam dengan watt yang sangat kecil menyala.
Dengan cahaya temaram Desi menelusuri seluruh penjuru basement itu untuk mencari.
Setelah beberapa
menit melakukan pencarian, akhirnya Desi menemukan sesuatu. Apa yang ditemukannya itu
membuat sekujur tubuh Desi menjadi lemas. Ia menemukan boneka Erina ada di sudut basement di
balik tumpukkan perabot berdebu! Gemetar jemari Desi memeluk boneka itu. Ia
tak menyangka orang yang selama ini baik padanya ternyata pembohong. Bergetar
bola mata Desi menahan kecewa dan sedih. Ia kembali naik ke atas untuk memberitahu
apa yang ditemukannya pada Sam.
Desi bergegas
berlari mencari Sam yang tengah menyisir area lain dari hutan cemara. Desi
berteriak-teriak memanggil namanya. Sam yang mendengar teriakan itu mendatangi
Desi. Desi tampak pucat dan terengah-engah. Semua polisi yang ikut di tim
pencarian itu juga datang bergabung. “Ada apa Bu Desi?” Sam segera memberi
air minum pada Desi.
Desi menolak air
itu, “Tidak ada waktu untuk minum Pak … saya sudah tahu siapa yang menculik
anak saya Pak!”
“Betulkah?” Sam tak
yakin karena sebelumnya Desi salah menuduh Yadi.
“Kali ini saya
tidak akan salah Pak!”
“Ibu yakin?”
Desi mengangguk
cepat.
“Saya menemukan
bukti-bukti kuat, saya mendengar percakapan mereka di kamar yang akan membawa
anak saya pergi dan saya melihat sendiri anak saya dibawa di dalam koper! Tidak
itu saja, saya menemukan boneka di basement villa mereka dan menemukan jejak
kotak bekas susu coklat di kamar Erina!”
“Ya Tuhan! Siapa
penculiknya Bu?” kaget Sam.
“Penghuni villa no
dua!” seru Desi.
“Apa?!” kaget Sam,
“tapi … apakah mungkin mereka? Untuk apa mereka menculik?” Sam mengerutkan
keningnya. Desi melihat keraguan pada Sam. “Pak, Ibu Widia itu mandul, saya
yakin mereka membawa anak saya untuk diambil jadi anak mereka!”
Sam menatap Desi, “Mandul?”
Desi mengangguk.
Bisa jadi itu motifnya! Pikir Sam. “Apalagi yang ditunggu Pak? Kita harus
menghentikan mereka sebelum pergi jauh! Ayo Pak, tolonglah” gusar Desi sembari
memohon. “Baik Bu, kita ke villa sekarang,” Sam memerintahkan semua orang untuk
ikut dengannnya.
***
Hasan mengusap-ngusap
rambutnya, ia tak menemukan profil pelaku kejahatan yang cocok dengan kasus di
Villa Bukit Cemara itu. Ia kehabisan akal, bagaimana mungkin seorang anak bisa
hilang begitu saja dan tidak ada jejak tersangkanya?! Hasan memutar otaknya
untuk memecahkan misteri hilangnya Erina ini. Ia mengingat-ngingat apa yang
dilihatnya saat berada di villa Desi. Jendela dan pintu yang tak rusak. Kamar tidur
yang berantakan, mainan yang berserakan, sekotak coklat yang masih tersegel
belum terbuka, tumpukkan piring di dapur, serta bungkus bekas mie instan dan
plastik bekas bungkus roti yang bertumpuk di tempat sampah.
Seorang anak
buahnya datang menemuinya. “Lapor Pak, penyisiran di area danau untuk mencari
Erina tak membuahkan hasil, apa yang harus teman-teman lakukan di sana?” Hasan
menghela nafas, asanya untuk menemukan Erina seakan semakin menipis.
“Perintahkan mereka istirahat dulu.” Anak buahnya mengangguk, “Siap Pak.”
Setelah anak buahnya pergi, Hasan membuka file-file kasus kriminal di data
kepolisiannya lagi. Kali ini ia mencari kasus-kasus penculikkan lama. Setelah
lama mencari ia tetap tak menemukan kasus yang bisa dikaitkan dengan kasus
Erina ini.
“Arrghhh!” kesal
Hasan yang merasa buntu. Ia berdiri dari duduknya berjalan ke jendela melihat
ke arah bukit cemara. Ia bisa melihat kabut yang turun di sana. Harapan Erina
semakin tipis dengan kondisi cuaca yang semakin membeku itu. Hasan berpacu
dengan waktu. Ia harus menemukan gadis kecil itu sebelum terlambat!
Mendadak terdengar
suara mesin fax yang mengagetkan Hasan. Ia mendekat ke mesin fax tersebut,
ingin melihat dokumen apa yang terkirim di situ. Hasan menunggu saat mesin fax
itu bergerak mencetak sebuah dokumen berisikan sebuah pemberitahuan. Mesin fax
itu terus bergerak mencetak isi dokumen hingga lengkap. Setelah lengkap dan
selesai, Hasan menyobek ujung kertas dokumen tersebut lalu membaca isinya.
Sebuah pemberitahuan dari kepolisian pusat yang bekerja sama dengan sebuah
rumah sakit, menginformasikan tentang pencarian orang yang hilang dari rumah sakit
mereka. Hasan melihat logo rumah sakit itu, ia berpikir sesaat lalu terkejut
karena logo rumah sakit itu mengingatkannya pada sesuatu!
Hasan segera
menghubungi nomor telepon rumah sakit yang tercantum pada dokumen pemberitahuan
tersebut. Tak lama, telepon itu menyambung. “Selamat malam, bisa bicara dengan
Dokter Hendar? Saya Hasan dari Kepolisian Sektor Bukit Cemara, ingin menanyakan
perihal dokumen informasi yang di-faks-kan kepada kantor kami ini, di dokumen
ini tertulis PIC-nya adalah Dokter Hendar bukan? … Baik saya akan menunggu.”
Setelah menunggu
beberapa saat, terdengar suara Dokter Hendar di ujung telepon, “Halo Pak Hasan
masih di situ? … saya Hendar ….” Hasan membalas sapaan itu. Kemudian ia mulai
menanyakan soal logo rumah sakit tersebut dan ia mendapat penjelasan dari
Dokter Hendar, tak berhenti di situ, Hasan juga mendapat penjelasan lain yang
membuatnya terkejut setengah mati!
Baik Pak Dokter,
apakah Bapak bisa datang kesini malam ini?” tanya Hasan. Dokter Hendar
menyanggupi. Setelah menutup teleponnya, Hasan terduduk dengan wajah masih
terkejut tak menyangka. Pantas saja jendela dan pintu tidak ada yang rusak,
pantas saja tidak ada tersangkanya! Hasan geleng-geleng setelah menyadari semua
itu.
Tiba-tiba telepon
genggamnya berbunyi. Hasan mengangkat teleponnya dan suara Sam terdengar gugup
di sana, “Pak … Pak … kita … kita sudah menemukan pelaku penculikkan Erina
sesungguhnya! Sungguh tak disangka!”
“Siapa?” tanya Hasan.
“Pak Tommy dan Bu Widia!
Merekalah pelakunya! Kita menemukan bukti kuat adanya boneka Erina di basement
mereka dan bekas kotak susu coklat di kamar Erina, itu susu coklat kesukaan Pak
Tommy,
dia pasti yang membawa Erina dari kamar dan menjatuhkan kotak susu tersebut
dengan tak sengaja … dan … Bu Desi melihat sendiri kalau Erina dibawa dalam sebuah
koper besar oleh mereka!”
“Anda yakin Pak?”
“Saya pikir, mereka
akan membawa Erina untuk dijadikan anak mereka!”
Hasan
mengusap-ngusap dagunya meragu.
“Apakah itu semua
bisa dikonfirmasi Pak?”
“Semua bukti, ada
Pak,” jawab Sam.
“Baiklah Pak Sam,
kalau begitu tahan dulu mereka di villa, saya akan kesana dan bongkar koper
mereka untuk membuktikkan apakah betul Erina ada di dalam koper atau tidak.”
“Tidak bisa Pak ….”
Hasan mengernyitkan
keningnya, “Tidak bisa? Kenapa?”
“Karena … me …
mereka sudah pergi melarikan diri Pak!” gugup Sam.
“Melarikan diri?” kaget Hasan.
“Tadi setelah
mendapat pemberitahuan dari Bu Desi kami segera menghentikan pencarian di hutan lalu
mengejar ke villa … tapi ternyata mereka telah pergi … tolong Pak kerahkan anak
buah Bapak untuk menangkap mereka!” seru Sam terdengar kesal dan menyesal
karena terlambat datang.
“Tidak perlu Pak,
biar saya yang menjemput mereka sendiri, mereka pasti belum jauh, perjalanan
turun dari villa ke bawah cukup memakan waktu karena jalanan yang jelek, kita
pasti bisa mengejarnya … kirimkan juga nomor plat mobil mereka lewat pesan ya
Pak,” ujar Hasan. “Loh kenapa dijemput Pak? Jangan dijemput tapi tangkap mereka
Pak!” tukas Sam kesal. “Saya tidak pernah serampangan dalam menangkap orang
Pak,” tegas Hasan.
“Tapi Pak …
bukti-bukti sudah menunjukkan kalau---”
“Pak Sam, bawa saja
semua bukti itu ke kantor, ok?” potong Hasan.
“Baiklah Pak, kalau
begitu saya dan Bu Desi juga akan datang ke kantor,” kata Sam. Hasan mengangguk, “Baik Pak.”
Setelah itu telepon dimatikan. Kemudian Hasan bersama dua anak buahnya
mengendarai mobil pergi mengejar Tommy dan Widia.
***
“Ah akhirnya lepas
juga dari perempuan aneh itu!” tawa lega Tommy. “Hush, ga boleh
gitu Tom, dia gak aneh … mungkin kesepian … aku sih kasihan sama dia ya,” kata
Widia.
“Buatku tetep aneh … ada sesuatu di tatap matanya yang membuatku ga nyaman,” Tommy
membayangkan sorot mata Desi lalu bergidik sendiri. Widia tidak bisa membantah
itu karena ia pun mengalaminya. Mobil yang mereka kendarai telah menuruni jalan
berlubang dan sampai di daerah pertokoan. Di depan jalan tampak dua orang
polisi terlihat menunggu. “Ada apa ya Tom? Perasaanku kok ga enak,” kata Widia.
Seorang polisi
melihat nomor kendaraan Tommy lalu memerintahkan untuk menepi. “Kenapa ya Tom?” gelisah Widia. “Belum tahu
… mungkin hanya pemeriksaan rutin,” kata Tommy. Setelah mobil
berhenti, Tommy membuka jendela kacanya. “Selamat malam Pak, kenapa cuma saya yang
diberhentikan ya?” Polisi yang tadi menyuruhnya menepi berkata, “Tunggu ada
yang mau bicara sama Bapak. Ini soal kasus Erina. Tunggu sebentar.” Kemudian ia
melangkah ke mobil polisinya. Tommy dan Widia menunggu.
“Siapa yang mau
bicara sama kamu Tom? Dan dia bilang ini soal kasus Erina?” Widia mengerutkan
keningnya. Tommy tiba-tiba terkejut. “Waduh jangan-jangan kita dituduh sebagai
penculiknya sama perempuan aneh itu Wid!”
“Masa sih Tom?” Widia tak
percaya.
“Dia ‘kan doyan
nuduh … dia nuduh aku, trus nuduh Yadi … sekarang nuduh kita!”
“Apa alasan dia
nuduh kita? Padahal kita udah baik banget sama dia.”
“Wid … di dunia
ini banyak orang-orang yang tidak tahu terima kasih, tahu?!”
Dari mobil polisi
yang berhenti di depan turunlah Hasan. “Loh itu ‘kan Pak Hasan?” kaget Widia. Widia dan Tommy pun
bergegas turun dari mobil. “Pak ada apa ini? Kalau kami dituduh sebagai
penculik Erina sama Bu Desi dan Bapak percaya … ini keterlaluan sekali!” tukas Tommy ketika
Hasan mendatangi mereka.
“Kalian memang
dituduh sebagai penculiknya,” kata Hasan tenang.
“Apa?” Widia dan Tommy terkejut.
“Tapi tenang, saya
datang kesini hanya ingin mengajak Pak Tommy dan Bu Widia ke
kantor.”
“Pak, kita bukan
pelakunya! Kita pergi dari villa itu karena ibu mertua saya sakit, kami harus
segera pulang,” jelas Widia. Tommy pun menunjukkan pesan dari mamahnya pada Hasan. Hasan membacanya
lalu mengangguk.
“Saya percaya kok
Bu, Pak.”
Widia dan Tommy saling
pandang.
“Trus kenapa kita
harus ke kantor?” heran Tommy.
“Sebelum saya
jelaskan, boleh saya lihat koper besar yang Bapak bawa?” tanya Hasan. “Bapak menuduh kami menyembunyikan Erina
dalam koper itu ya?” terka Widia. “Ini pasti kata si perempuan aneh itu,”
gerutu Tommy. “Saya tidak menuduh, saya hanya ingin melihat saja,” senyum Hasan.
“Ok Pak, ayo kita lihat,” Tommy berjalan ke bagasi mobil diikuti Hasan dan Widia.
Tommy membuka retsleting
koper besar itu dan setelah dibuka tampaklah isinya. Hasan memandangi isi koper
tersebut yang berisikan dua buah barbel besar yang berat dan setumpuk pakaian.
“Kita senang olahraga Pak, makanya bawa barbel-barbel ini,” terang Tommy. “Sudah
saya duga, isinya bukan Erina,” kata Hasan. “Lagi pula kita ga mungkin
melakukan itu Pak!” ketus Tommy.
“Baiklah kalau
begitu, sekarang Bapak dan Ibu ikut ke kantor.”
“Loh buat apa Pak,
ini ‘kan sudah jelas kita bukan pelakunya?” sergah Widia.
“Apakah Bapak dan
Ibu mau tahu kebenaran soal kasus Erina ini? Saya menawarkan ini karena dari
awal Bapak dan Ibu turut terlibat dan membantu dalam mencari Erina,” Hasan
menatap Widia dan Tommy. “Ya, saya mau,” angguk Widia tanpa ragu “Kalau begitu mari kita ke
kantor.” Hasan berjalan kembali ke dalam mobil polisinya. Widia menatap Tommy, “Gimana Tom?” Tommy
mengangguk, “Ayolah, aku juga pengen tahu apa yang terjadi!” Maka dua mobil itu
pun beriringan menuju kantor polisi.
***
Setelah kedua mobil
itu sampai di kantor polisi, tak berapa lama, menyusul mobil van dengan kaca
gelap itu masuk ke parkiran kantor polisi. Setelah Sam dan Desi turun dari
mobil. Dua orang polisi segera membawa Sam dan dua orang polisi lagi
membawa Desi. Mereka dibawa ke tempat terpisah. “Eh kenapa ini?’ bingung Sam. “Loh
kenapa kita dipisahkan, mana penculik itu? Hey lepaskan!” Desi berontak
tapi pegangan kedua polisi itu lebih kuat. Mereka mengantar masuk Desi ke ruang
interogasi. Desi terlihat bingung saat berada di ruang interogasi itu. Ia berdiri
mematung di sudut ruang.
Sementara Sam
dibawa ke ruang sebelahnya di mana di situ sudah ada Tommy dan Widia. “Loh ini
pelakunya! Kenapa mereka ada di sini?” kaget Sam yang akan merangsek maju
memukul Tommy tapi dua orang polisi tadi memeganginya lagi. “Jangan nuduh
sembarangan Pak!” tukas Tommy berang. “Pak Sam kita di sini juga untuk mencari kebenaran soal kasus
Erina … lihat dulu tuh!” tunjuk Widia pada sebuah kaca besar yang memperlihatkan Desi tengah
berada di dalam ruang interogasi.
Sebuah kaca yang
hanya bisa dilihat dari sisi mereka sedang di sisi lainnya hanya tampak seperti
cermin biasa. Sam kebingungan, “Ada apa ini?” Seorang polisi berkata, “Lihat
dan dengar dulu Pak.” Sam mengangguk menuruti maka kedua polisi itu pun melepaskan pegangan
mereka. Sam, Widia dan Tommy memerhatikan pada ruang sebelahnya itu.
Di ruang
interogasi.
Desi melihat sekelilingnya.
“Halo, kenapa saya ada di sini? Saya kesini mau mencari Erina!” teriaknya. Tak
lama masuklah Hasan bersama Dokter Hendar. Desi menatap pria itu. “Halo
Desi, apa kabar? Kamu tentu masih mengingatku bukan?” sapa Dokter Hendar.
Desi menggeleng-geleng pelan dan lama-lama semakin kencang. Ia terus
melakukan itu untuk beberapa saat setelah itu tertawa keras. “Tentu saja aku
ingat kamu! Bapak Hendar! Mana rotiku Pak?” Desi mengeluarkan telapak
tangan kanannya meminta.
Dokter Hendar
mengeluarkan roti dari kantong jaketnya. Satu bungkus roti yang memiliki logo
rumah sakit di plastiknya. Hasan ingat plastik roti itu sama dengan plastik
roti yang ada di tempat sampah villa Desi. Dokter Hendar
meletakkan roti itu di atas telapak tangan Desi dan dengan cepat Desi menyobek
plastiknya lalu memakannya dengan lahap.
“Sekarang kita
pulang ya? Semua orang menunggumu,” bujuk Dokter Hendar. Desi menggeleng
cepat di luar gelengan batas kenormalan. Sangat cepat sehinga membuat wajahnya
tak tampak tertutupi kibasan rambut. “Tidak! Aku tidak mau pulang tanpa Erina!”
pekik Desi tak menghentikan gelengannya. “Ok, ok … stop hentikan itu Desi … bukankah
Erina selalu bersama denganmu? …” kata Dokter Hendar. Desi menghentikan
gelengannya, menatap Dokter Hendar.
“Erina bersama saya?”
tanyanya pelan.
Dokter Hendar
tersenyum, mengangguk, “Coba periksa kantong celanamu.”
Desi meraba-raba
kantong celananya dan mengeluarkan telepon genggamnya. Matanya berbinar, ia
menyalakan telepon genggam itu maka terdengarlah suara Erina menyanyikan lagu
“Balonku” disusul dengan suara-suara rekaman Erina lainnya. Desi tertawa
senang. “Erina! Kamu sudah pulang!” serunya senang kemudian memeluk telepon
genggamnya seakan itu Erina.
“Ya Tuhan,” Widia terkejut
melihat itu dari ruang sebelah. Begitu juga Sam dan Tommy. Sam bahkan mengusap
wajahnya berkali-kali tak percaya. Tapi mereka mulai memahami apa yang sedang
terjadi.
“Nah karena Erina
sudah ketemu, berarti kamu harus pulang sekarang … hitung mundur ya … tiga …
dua … satu … ayo ulangi,” Dokter Hendar mengatakannya dengan perlahan. Tapi Desi menggeleng
cepat, “Tidak mau!” Desi mencengkeram jaket Dokter Hendar sambil berteriak, “Aku mau
penculiknya! Mana penculiknya?!” Hasan terkejut, ia berusaha melepaskan Desi dari Dokter
Hendar.
“Biarkan Pak Hasan,
biarkan …” kata Dokter Hendar yang diam saja dan bersabar ketika Desi memukulinya.
Setelah terlihat puas, Desi melepaskan cengkeramannya. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil
menghitung mundur dengan lemah kemudian terduduk di lantai. Desi memeluk
lututnya lalu menggerung menangis.
Widia ikut meneteskan air
matanya, hatinya trenyuh melihat kondisi Desi itu. Setelah menangis,
pelan-pelan Desi terkulai tak sadarkan diri. “Obat di roti itu mulai bekerja,” bisik
Dokter Hendar pada Hasan, “bisa tolong angkat Desi ke mobil saya
Pak?” Hasan mengangguk dan memerintahkan
anak buahnya untuk menggotong Desi.
Setelah itu Dokter
Hendar menyalami Hasan. “Terima kasih untuk bantuannya Pak Hasan dan terima
kasih untuk tidak melukainya … dia sudah seperti anak saya sendiri,” senyum
Dokter Hendar. “Iya Pak … saya betul-betul tidak menyadarinya hingga dokumen di
faks itu masuk … terima kasih sudah menjelaskan semuanya,” kata Hasan. Dokter
Hendar mengangguk.
“Tapi bagaimana
kalau Desi sadar di jalan, apakah Dokter akan baik-baik saja?” cemas Hasan.
Dokter Hendar tersenyum, “Dia sudah mengenal saya Pak, dia tidak akan melukai
saya, di mobil juga ada seorang perawat yang akan mendampingi.” Hasan
mengangguk. Mereka berjalan menuju parkir mobil. Setelah itu Dokter Hendar
pergi membawa Desi dengan mobilnya. Hasan menatap mobil rumah sakit yang keluar dari
pekarangan kantor polisi itu. Setelah itu ia kembali ke dalam kantor dan
melihat Widia, Tommy sedang menatap barang-barang bukti yang dibawa Sam dari villa Desi.
Widia melihat sekotak coklat
yang masih tersegel dan belum dibuka. Ia ingat saat Desi mengatakan kalau Erina
memakan banyak coklat itu, ternyata itu tak benar. Tommy melihat boneka itu,
ia memegang tangan bonekanya dan teringat apa yang digendong Desi saat datang
ke villa ternyata bukan Erina tapi boneka ini, begitu juga dengan yan digendong
Desi saat Erina sakit, ternyata boneka ini.
Hasan menatap
mereka semua, “Bagaimana Bapak, Ibu? Inilah kebenarannya.”
“Pak Hasan kami mulai mengerti dengan semua
ini tetapi, apa yang terjadi dengan Erina? Dan bagaimana bukti-bukti itu ada di
ruang basement Pak Tommy dan kain gendongan itu ada di lemari Yadi? Kami ingin tahu,” kata
Sam. Widia dan Tommy mengangguk, mereka juga ingin tahu.
“Baiklah, jadi
setelah saya menerima faks soal pasien yang hilang dari rumah sakit, melihat
kalau logo rumah sakit di dokumen itu sama dengan logo di plastik roti yang
saya lihat di dapur villa Bu Desi, kemudian saya juga merasa janggal karena di
dapur villa Bu Desi hanya ada sampah bungkus mie instan dan roti, kenapa tidak ada
bungkus atau sisa makanan untuk anak? Padahal dia punya anak masih kecil … maka
saya menelepon Dokter Hendar, saya menduga ini ada kaitannya … dan beginilah
penjelasan Dokter Hendar …”
Kilas balik ketika
Hasan menelepon Dokter Hendar.
“Halo Pak Hasan
masih di situ? … Saya Hendar …” ucap Dokter Hendar di ujung telepon. “Ah Pak
Dokter … saya ingin menanyakan perihal pasien yang hilang dari rumah sakit
Anda, saya sedang memegang dokumen faks-nya nih … saya menelepon Anda karena
logo rumah sakit Anda sama dengan logo yang saya lihat di bungkus plastik roti
di sebuah villa yang di sewa seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang
hilang.”
Sebelum menjawab,
Dokter Hendar menghelakan nafas terlebih dulu, “Iya itu memang roti yang hanya
dikemas khusus untuk pasien tertentu di rumah sakit kami … dan ibu yang
kehilangan anaknya itu pasti namanya Desi … Desi Sari bukan?
… Dia mengulanginya lagi.”
“Dokter tahu Bu Desi?” kaget
Hasan, “dan apa maksud Dokter dengan mengulangi lagi?”
“Anaknya yang hilang
itu namanya Erina bukan?”
“Betul sekali Dok!”
“Ini bukan yang
pertama kali dilakukan oleh Desi … sebelumnya dia juga pernah melarikan diri dari
rumah sakit dan melakukan hal yang sama di kota lain.”
Hasan terkejut, ia
ingin tahu lanjutan kalimat Dokter Hendar lagi.
“Begini Pak Hasan …
Desi adalah pasien rumah sakit kami … saya adalah dokter yang merawatnya
sejak dia masuk rumah sakit ini setahun yang lalu … beberapa hari yang lalu dia
melarikan diri dengan membawa mobil van milik salah satu karyawan kami. Kami
memang membebaskan dia bisa kemana saja di dalam rumah sakit ini karena selama
dia meminum obatnya, dia tidak akan mengganggu, tapi kami kecolongan, ternyata
dia melarikan diri lagi.”
“Minum obat? Memang
Bu Desi kenapa?” tanya Hasan.
“Desi itu sedang
sakit Pak, tapi bukan fisiknya … mentalnya yang sakit.”
“Maksud Dokter,
sakit jiwa?”
“Iya … sebetulnya
kasus yang diderita Desi ini cukup jarang, dia mengalami gangguan kejiwaan yang kompleks. Desi juga sering
mengalami halusinasi, ilusi juga delusi yang membuat dia terlempar dari realita
lalu menganggap semua itu terjadi. Bagi Desi batasan antara realita
dan tiga hal tadi itu bagai asap tipis.”
Tapi, apabila Desi berada dalam
kondisi baiknya, terlebih setelah dia rutin meminum obatnya, dia akan baik-baik
saja dan sejujurnya, dia adalah seorang perempuan yang pintar Pak Hasan dan
pandai mengemudi ….”
“Juga sepertinya
dia menyukai roti,” kata Hasan.
Dokter Hendar
tertawa, “Desi memang sangat suka roti dan dia tahu akan kondisinya itu Pak, dia
ingin sembuh … tapi dia tak suka minum obat … karena itu saya isi roti-roti
tersebut dengan obatnya untuk mengendalikan masalah kesehatan mentalnya … dan
memang kemana dia pergi, dia selalu membawa roti-roti itu di tasnya …
sepertinya itulah yang menjaga dan menstabilkan kondisi kejiwaannya selama di
pelarian.”
Hasan
manggut-manggut, “Tapi, kenapa dia bisa menuduh orang?”
“Nah sayangnya,
pengalaman traumatis kadang membuat batasan tipis itu buyar dan bila itu
terjadi, maka Desi yang dasarnya memang pintar itu akan menyusun rencana untuk
memengaruhi orang lain seakan apa yang ada dalam akalnya itu benar terjadi …
seperti merasa melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak terjadi,
meletakkan barang bukti yang sebetulnya dia sendiri yang bawa dan dia sendiri
yang meletakkannya juga lalu akalnya akan mengatakan kalau itu dilakukan oleh
orang lain. Jebakan akal, itu yang terjadi pada Desi.”
Hasan teringat akan
kain gendongan yang ditemukan di lemari Yadi, itu berarti Desilah yang
meletakkannya sendiri, begitu juga dengan boneka di basement dan kotak bekas
susu coklat! Hasan menggelengkan kepala setelah menyadari semua itu.
“Apa yang
menyebabkannya Dok” tanya Hasan.
“Faktor biologi
atau keturunan, pengalaman traumatis dan kehidupan perkawinan yang buruk, Desi mengalami
semua itu.” Suara Dokter Hendar terdengar sedih saat mengatakan itu semua.
“Anak itu mengalami kehidupan yang berat,” tambahnya.
“Lalu apa yang
terjadi dengan Erina?”
Ini sebetulnya
cerita menyedihkan Pak Hasan … Erina sudah tewas sejak setahun yang lalu … anak
berusia lima tahun itu tewas di tangan ibunya sendiri … Desi.”
“Ya Tuhan,” seru
Hasan, “tapi para saksi mendengar suara Erina Dok!”
“Yang kalian dengar
itu adalah suara-suara rekaman Erina semasa hidupnya di hape yang tadi dia
bawa-bawa … Desi senang sekali memutarnya berulang kali dan dalam delusi ilusi
halusinasinya, ia menganggap bahwa Erina masih hidup … ia bercanda dengan
anaknya, memeluknya, menggendongnya, bernyanyi bahkan berdialog dengannya …”
“Soal Erina …
mengapa Desi bisa melakukan itu?”
“Desi adalah
korban kekerasan dalam rumah tangganya Pak, suaminya selalu menyiksa dan
menyakitinya bahkan untuk kesalahan sepele … berkali-kali Desi masuk ke
rumah sakit ini dalam kondisi babak belur, gegar otak dan nyaris tewas tapi dia
tidak pernah mau melaporkannya pada polisi … ternyata Desi punya
rencana lain … dia membalas dan membunuh suaminya … nahas, ilusinya menciptakan
kondisi seakan suaminya itu belum mati dan melarikan diri … Desi mengejarnya
lalu menikamnya, tapi … ternyata itu Erina.”
Hasan menunduk
sedih mendengarnya, ia tak bisa membayangkannya.
“Itu salah satu
pengalaman traumatis bagi Desi, perasaan bersalah dari trauma yang mendalam
membuatnya menghidupkan Erina lagi dalam akalnya lalu menyalahkan orang lain
untuk kehilangannya … kami membiarkan Desi hidup dengan ilusi
Erina ini, karena mengingat Erina itu yang membahagiakannya …” Dokter Hendar
menghela nafas, “begitulah Pak Hasan, kami semua di rumah sakit ini menyayangi
Desi, senang rasanya kalau kami bisa berkumpul lagi dengan dia.”
“Baik Dok, apakah
Pak Dokter bisa datang kesini malam ini untuk menjemput Bu Desi?” tanya
Hasan. “Dengan senang hati Pak Hasan, saya akan berangkat sekarang,” jawab
Dokter Hendar. Setelah itu telepon ditutup.
Kembali dari kilas
balik.
Suasana hening setelah
Hasan selesai menceritakan itu. Widia tampak termenung dengan sesekali
menggelengkan kepala tak menyangka. Tommy dan Sam hanya terdiam tak tahu mau berkata
apa.
“Begitulah
kebenaran dari misteri hilangnya Erina ini … sekarang Pak Tommy dan Bu Widia boleh
pulang begitu juga dengan Pak Sam” ucap Hasan. “Pantas saja dia tidak pernah
memperkenalkan Erina pada kita dan kita ga pernah melihat Erina secara langsung
baik di villa atau juga di mobil van yang berkaca gelap itu, ternyata selama
ini dia hanya sendiri,” lirih Widia. Hasan mengangguk.
“Maafkan aku juga Tom … ternyata
apa yang kamu katakan soal kejadian di dapur malam itu benar … sepertinya Bu Desi yang
mengalami ilusi atau halusinasi atau delusi … entahlah, hingga ia menyangka
kamu menyukainya … tapi yang jelas maafkan aku karena sudah menamparmu,” sesal Widia. Tommy tersenyum
dan menggenggam jemari istrinya, “Lupakan saja Wid.”Widia
mengangguk
“Memang ada apa di
dapur?’ sela Sam yang bingung. “Ah bukan hal yang besar kok Pak,” senyum Tommy, “baiklah
Pak Hasan, terima kasih, sekarang kami sudah jelas dengan apa yang terjadi
dengan kasus ini … kalau begitu kami mohon pamit.” Tommy menjabat tangan
Hasan diikuti Widia dan Sam. Setelah itu mereka semua kembali pulang dan Hasan kembali
ke dalam kantornya.
* Seminggu kemudian.
Widia tampak menunggu di
kursi bangsal rumah sakit. Tak lama, Desi muncul dengan
senyumnya. “Halo Bu Wid … tumben ke sini,” sapanya. Widia tersenyum lalu memeluknya kemudian kembali
duduk. Desi duduk di depan Widia. “Apa kabar Bu Desi?” tanya Widia. “Semuanya masih
sama Bu … sehat dan waras,” tawa Desi. Widia ikut tertawa lalu menyodorkan satu plastik
penuh roti. Desi melihat itu. “Apakah ini untuk Erina?” tanyanya.
“Bukan ini
oleh-oleh untuk Bu Desi,” senyum WIdia. Desi mengambil plastik itu, “Terima kasih Bu Wid.” Widia
mengangguk, “Sama-sama.” Desi menatap Widia, “Apakah Bu Wid mau
berkenalan dengan putri saya?” tanya Desi. Sedih hati Widia mendengar
itu tetapi ia tak menampakkannya. “Boleh … mana Erina? Saya mau berkenalan
dengannya,” Widia mengatakannya dengan bersemangat. Desi melirik ke ujung
bangsal, “Tapi dia malu dan bersembunyi tuh.” Widia melihat pada ujung
bangsal yang tidak ada siapa pun.
“Ya sudah lain kali
saja kenalannya kalau begitu,” senyum Widia. Waktu berlalu seiring mereka bercengkerama
dan tertawa berdua. Widia melirik jamnya. “Baiklah Bu Desi, hari sudah sore, saya
pamit dulu kalau begitu.” Desi mengangguk. Widia memeluknya lalu Desi berdiri dari
duduknya berjalan ke ujung bangsal membawa sekantong plastik berisikan roti itu
tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Widia. Widia menatap Desi kemudian ia berjalan
keluar rumah sakit. Ia berjanji dalam hatinya, sejak hari ini, ia akan
sering-sering datang untuk menengok Desi.
“Mah siapa itu?”
tanya Erina yang bersembunyi di ujung bangsal. “Itu teman Mamah, dia membawakan
roti ini buat kamu,” kata Desi. Erina menggeleng, “Ah aku ga suka roti … aku
sukanya coklat!” Desi duduk di lantai di hadapan Erina. “Ya sudah kalau ga mau, rotinya
Mamah aja yang makan,” Desi menyobek plastik itu lalu mengunyah rotinya. “Mah aku punya lagu
baru!” seru Erina dengan mata berbinar. “Lagu apa? Ayo nyanyi sama Mamah!” mata
Desi tak kalah berbinar.
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, merah,
kuning, kelabu, merah muda dan biru …” Erina mulai bernyanyi diikuti oleh Desi. Kemudian
mereka bernyanyi berdua. “Meletus balon hijau … dor!” Desi dan Erina
tertawa. Mereka berdua melanjutkan lagunya. “Hatiku sangat kacau, balonku
tinggal empat, kupegang erat-erat ….”
Sore itu di ujung
bangsal rumah sakit tampak Desi yang sedang bernyanyi sendirian dengan
bahagianya.
0 Komentar