FINE-TUNED UNIVERSE:
CHAPTER 2 : PRO KONTRA PENCIPTA JAGAD RAYA
Lalu bagaimanakah pendapat yang kontra dengan
Fine-Tuned Universe?
Beberapa (atau malah banyak mungkin) ilmuwan yang
tak setuju dengan konsep “Grand Design” (alias alam semesta ini sudah dirancang
oleh “Higher Being” untuk bisa menampung kehidupan).
Mengemukakan alasan lain, mereka menawarkan
penjelasan yang dirangkum dalam istilah “Bayesian probability”.
Apa itu probabilitas Bayesian?
• BAYESIAN PROBABILITY
[Hujan sesungguhnya hanyalah satu dari sekian
probabilitas, namun bagi kita mungkin memiliki makna tersendiri]
“Bayesian” adalah suatu interpretasi (pemahaman)
dalam konsep probabilitas (kemungkinan), dimana kita menganggap sesuatu yang
sebenarnya terjadi secara acak sebagai sesuatu yang “spesial” dan bermakna.
Contohnya begini. Anggap aja kalian lagi pulang dari sekolah (atau kuliah atau
kerja, apapun aktivitas kalian) dan mendung di langit udah tebel banget.
Kalian berusaha pulang secepat mungkin agar nggak
keburu hujan karena nggak bawa payung atau jas hujan. Begitu sampai di rumah
tiba-tiba “Byuuuur!' hujan turun dengan sangat deras. kemudian kalian
menganggap itu sebuah keberuntungan, bahkan mungkin dilindungi sama "Yang
Di Atas".
Contoh lainnya. Semisal kalian suatu malam bermimpi
tentang kakek kalian dan tiba-tiba saja begitu bangun, kalian dapat kabar bahwa
kakek meninggal. Tentu saja kalian akan berpikir kejadian itu bukanlah
kebetulan semata dan merupakan firasat atau pertanda dari "Yang Di
Atas".
Namun benarkah demikian?
Kita coba teliti kasus pertama. Ketika kalian
pulang dalam kondisi nggak kehujanan, sebenarnya probabilitasnya amatlah
tinggi, yakni 50%, sehingga kondisi dimana kalian pulang sebelum hujan turun
sebenarnya bukanlah sesuatu yang spesial. Tapi seolah-olah menganggapnya
spesial karena dalam hati kalian nggak mau pulang dalam keadaan kehujanan.
Begitu pula dengan kasus kedua, kalian berpikir
mungkin mimpi tersebut adalah sesuatu yang bersifat supranatural, namun coba
kita tilik lebih lanjut.
Kalian menganggap peristiwa mimpi kalian itu
sebagai sesuatu yang amat mustahil (kecuali itu keajaiban) karena kalian hanya
berpusat pada satu sudut pandang.
Namun jika kita melihatnya dari sudut pandang yang
lebih luas, ada hampir 8 miliar penduduk Bumi. Semuanya bisa tidur. Semuanya
bisa bermimpi. Semuanya bisa saja memimpikan anggota keluarga mereka. Semuanya
bisa saja memimpikan kakek mereka secara spesifik. Dan bisa saja, dari mereka
semua, ada yang kakek mereka yg keesokan harinya meninggal.
Nah, bila kita melihatnya dari sudut pandang semua
penduduk yang ada di dunia, mimpi tersebut sebenarnya tidaklah memiliki
probabilitas yang kecil.
Itulah yang dinamakan “Bayesian Probability” yang
sebenarnya bisa pula diterapkan untuk mematahkan hipotesis Bumi Langka. Benarkah
semua “kenikmatan” yang kita rasakan, mulai dari ukuran hingga posisi Bumi yang
begitu “pas”, merupakan berkah dari Sang Pencipta? Ataukah itu hanya kebetulan
semata? Pihak yang kontra pada Hipotesis Bumi Langka mungkin menyebut teori
tersebut sebagai klaim yang berlebihan.
• THE EXOPLANET DILEMMA
[Mungkinkah di luar sana ada sebuah eksoplanet
eksotis yang memiliki kehidupan lain?]
Mereka mencoba menggelontorkan bukti bahwa ternyata
tak hanya Bumi yang memiliki kondisi yang ramah pada kehidupan.
Buktinya mereka menemukan exoplanet (planet-planet
yang ada di Tata Surya lain) yang berada dalam Zona Goldilocks sehingga mereka
bisa saja memiliki kehidupan.
Belum lagi Drake Equation dengan berani menyebutkan
angka ribuan hingga jutaan peradaban alien di galaksi kita saja. Itu berarti
kehidupan kita di Bumi bukanlah sesuatu yang “spesial” dan bisa terjadi dimana
saja
Berarti kehidupan kita sama sekali nggak spesial
dong?
Kita menganggapnya “spesial” karena kita belum
menemukan kehidupan alien yang lain.
Bagaimana dengan segala konstanta yang secara
“kebetulan” mengizinkan adanya kehidupan, seolah sudah diatur oleh Sang
Pencipta?
Pihak yang kontra akan berpendapat bahwa apa yang
ada di benak para pemuja “Fine-Tuned Universe” terkena “survivor bias”,
sehingga mereka berpikir bahwa “Fine-Tuned Universe” ini disebabkan karena alam
semesta memang dirancang untuk kehidupan, bukan semestinya, yakni kehidupan
justru ada karena “Fine-Tuned Universe”.
Memang, apa bedanya?
Untuk memahaminya sedikit, kita perhatikan sejenak
opini dari Richard Dicke yang dikemukakan tahun 1961. Ia berpendapat bahwa kita
semua “beruntung” berada di umur yang tepat di alam semesta ini (ia menyebutnya
sebagai “golden age”).
Jika umur alam semesta lebih muda, sekitar
sepersepuluh dari umurnya sekarang, takkan ada bahan karbon yang cukup untuk
mendukung kehidupan.
Jika alam semesta 10 kali lebih tua, maka
bintang-bintang yang ada di jagad raya keburu kehabisan energi mereka. Jika
pendapat itu benar, maka umur alam semesta saat ini merupakan salah satu
“keberkahan” yang tak terhingga bagi kita.
Namun benarkah itu? Ataukah justru kita salah
memahaminya? Bagaimana kalau sudut pandangnya kita ubah? Bagaimana jika kita
berada di umur alam semesta yang saat ini karena memang inilah umur alam
semesta yang paling optimal untuk mendukung kehidupan?
• CHAUVINISME YANG HUMANIS
Paham yang menyebutkan bahwa alam semesta kita
memang sengaja dirancang untuk kehidupan (semisal nilai-nilai konstanta-nya
sengaja disetel atau diatur agar bisa “ramah” pada kehidupan) disebut sebagai
“Anthropic Principle” atau “prinsip yang berpusat pada manusia".
Bagi beberapa (atau mungkin banyak) ilmuwan, paham
itu bisa disebut juga “chauvinisme” (sejenis rasisme), yakni menganggap
kita-lah sebagai pusat alam semesta ini dan jagad raya sengaja dibuat demi
manusia. Bagaimana jika kita selama ini malah “kepedean” dan sesungguhnya,
bukan itu yang tengah terjadi?
Peneliti berpendapat, jika saja konstanta alam
semesta sedikit berbeda, memang benar kehidupan berbahan dasar karbon (manusia,
hewan, tumbuhan, hingga bakteri) takkan pernah ada.
Namun itu tak menjamin bahwa kehidupan berbahan
dasar lain takkan pernah ada. Kita pernah menyinggung Hoyle State, dimana jika
nilainya berbeda (lebih besar atau lebih kecil sedikit), maka takkan ada cukup
karbon untuk menyusun kehidupan. Akibatnya, manusia takkan ada.
Tapi itu kan pendapat kita yang teramat membutuhkan
karbon. Bagaimana jika ada kehidupan lain yang tak membutuhkan karbon, namun
bisa menggunakan elemen lain, semisal silikon?
Kita dichapter sebelumnya tahu bahwa nilai Epsilon,
Omega, Lambda, dan Q amat penting bagi pembentukan bintang. Bila nilai mereka
bergeser sedikit saja, dipostulatkan bahwa bintang takkan terbentuk dan
kehidupan takkan ada.
Namun pendapat bahwa “kehidupan tidak akan ada jika
bintang tidak ada” adalah pendapat kehidupan berbahan dasar karbon seperti kita
(karena kita emang tidak bisa hidup tanpa Matahari).
Bagaimana jika ada bentuk kehidupan lain yang sama
sekali tak membutuhkan bintang? Bagaimana jika kehidupan itu bisa selamat hanya
dengan menggunakan foton, elektron, atau bahkan tinggal di Lubang Hitam?
Anggap saja analoginya begini. Kita di Indonesia
makanan pokoknya adalah nasi dan kita menganggap bahwa kita nggak akan bisa
hidup tanpa nasi. Pokoknya kalau belum makan nasi, itu namanya belum makan.
Namun bagaimana dengan orang-orang yang hidup di
belahan dunia lain? Semisal di sebuah pulau di Polynesia, makanan pokok mereka
adalah umbi. Di Eropa, makanan pokok mereka adalah gandum (roti). Di Amerika Selatan,
makanan pokok mereka adalah jagung. Kalau kita cuman berpusat pada diri kita
sendiri (beraliran Chauvinisme) kita akan berpikir kalau manusia ya bisanya
cuman makan nasi. Tapi kenyataannya, manusia bisa kok survive dengan makan
makanan lain, semisal jagung dan gandum.
• MULTIVERSE AND THE REALM OF POSSIBILITY
Lalu bisakah sains menjawab mengapa Fine-Tuned
Universe bisa ada? Mengapa 'seakan-akan” alam semesta ini memang dirancang
untuk keberadaan manusia? Ternyata bisa dan uniknya, menggunakan konsep “Multiverse”.
Multiverse berkaitan erat dengan semua kemungkinan
(probabilitas) yang ada di alam semesta ini. Semisal kalian lagi berjalan
pulang ke rumah (atau kontrakan atau kost, terserah kalian) dan ada dua jalan,
semisal ke kiri atau kanan. Ketika kalian mengambil jalan kiri, kalian akan
membuka “dunia paralel” baru dimana kalian berjalan ke kiri. Jika kalian
berjalan ke kanan, kalian juga membuka “dunia paralel” lain dimana kalian
berjalan ke kanan. Segalanya tinggal mengikuti apa yang akan terjadi di tiap
jalan itu. Jadi, probabilitas ke kanan atau kiri itu akan menjadi percabangan
dunia paralel di Multiverse.
Sama halnya semisal kalian lulus dari SMA terus
bingung mau apa. Apa mau bekerja atau mau kuliah? Jika kalian memutuskan
kuliah, masih ada kemungkinan lain. Apa kalian mau masuk jurusan keguruan,
ekonomi, sains, teknik, kedokteran, dan lain-lain. Mungkin di alam semesta ini
kalian malah memilih opsi yang anti-mainstream, yakni nikah.
Namun di alam semesta lain, mungkin kalian akan
mengambil keputusan berbeda. Mungkin saja bekerja di sebuah pabrik. Mungkin
kuliah hukum. Atau mungkin malah jadi YouTuber, dan lain-lain. Semua
kemungkinan kehidupan kalian itu ada di Multiverse.
Coba kita terapkan pemahaman itu ke semua konstanta
Fisika yang kita punya. Anggap saja ketika Big Bang terjadi, tercipta berbagai
kemungkinan alam semesta berbeda dengan nilai konstanta yang berbeda pula, dan
semua menjelma menjadi Multiverse.
Mungkin ada alam semesta yang umurnya hanya
sedetik. Mungkin ada alam semesta yang kosong melompong, hampa tanpa bintang,
planet, apapun. Mungkin ada alam semesta yang memiliki bintang, namun hanya
sedikit, sehingga tak memiliki galaksi. Mungkin ada alam semesta yang justru
jumlahnya bintangnya amat banyak, 100 kali lipat alam semesta kita, sehingga
langit malam tidaklah hitam, melainkan terang benderang.
Memang, kondisi-kondisi alam semesta itu sepertinya
terlalu ganas bagi kehidupan kita. Beberapa alam semesta itu mungkin memang tak
memiliki kehidupan sama sekali alias steril. Namun kita jangan terus
beranggapan, mentang-mentang kondisi alam semesta itu tak seperti kondisi alam
semesta kita, berarti nggak mungkin ada kehidupan di sana.
misalkan saja, kita tinggal di Indonesia yang
beriklim tropis yang nyaman sehingga kehidupan di sini begitu subur dengan
banyaknya flora dan fauna. Itu memang fakta. Namun jangan beranggapan bahwa
tempat lain di Bumi yang kondisinya nggak subur seperti di Indonesia nggak
memiliki kehidupan. Semisal di kutub selatan yang sangat dingin, nyatanya ada
penguin. Di gurun yang amat terik, nyatanya ada kaktus. Tapi kita juga tak bisa
memungkiri, ada tempat yang sama sekali memang tak mendukung kehidupan karena
kondisinya terlalu ekstrim, semisal Laut Mati dan kawah vulkanik (sebenarnya
ada sih jenis bakteri yang bisa hidup di sana, tapi kalian tahu lah maksudnya).
Bisa saja di alam semesta itu, walaupun bagi kita
tak kondusif, memunculkan kehidupan yang jauh berbeda dengan kita (karena harus
beradaptasi dengan kondisi yang berbeda pula).
Jika kehidupan itu cerdas, bisa saja mereka
berpikir bahwa alam semesta mereka juga di “fine-tuned” alias disetel “sebegitu
nyamannya”.
Padahal menurut kita, kondisi alam semesta mereka
amat ganas. Dan kebalikannya, mereka jika berkunjung ke sini, juga mungkin akan
berpendapat alam semesta kita amat ganas dan takkan mendukung kehidupan mereka.
Tentu saja kita tidak bisa membuktikan pendapat
ini. Kita masih belum bisa menemukan gerbang ke dunia paralel lain. Kita saja
masih belum bisa membuktikan keberadaan Multiverse, semua baru sebatas ide.
Pendapat kontra yang melibatkan “Multiverse” ini,
secara spiritual juga meresahkan, sebab seakan “membuktikan” bahwa Tuhan memang
ada, namun bukan Tuhan yang kita harapkan. Konsep ini konon membuat Albert
Einstein amat cemas sampai mengeluarkan komentar, “God doesn't play dice” atau
“Tuhan tidak bermain dadu”. Pendapat ini ia gelontorkan ketika ia pertama kali
mendengar “Interpretasi Copenhagen” yang diusulkan dua ilmuwan Denmark, Niels
Bohr dan Werner Heisenberg untuk menjelaskan fenomena Dunia Kuantum.
Apakah maksudnya?
• “TUHAN” DAN DADU MULTIVERSE
Begini ceritanya, Interpretasi Copenhagen amat
berkaitan erat dengan probabilitas di Dunia Kuantum, salah satunya adalah Asas
Ketidakpastian Heisenberg.
Kalian mungkin masih ingat pelajaran SMA tentang
atom, dimana dalam sebuah atom ada inti yang terbuat dari neutron dan proton,
serta ada pula sebuah elektron yang mengitarinya. Nah kita mungkin membayangkan
lintasan orbit elektron mirip dengan orbit planet yang mengitari Matahari, sehingga
bisa digambarkan dengan sebuah garis berbentuk lingkaran ataupun oval.
Namun Heisenberg berpendapat lain. Karena elektron
berada di Dunia Kuantum yang aturannya (atau bahkan realita-nya) berbeda dengan
aturan dunia kita, maka orbit elektron tersebut berupa “awan” yang berisi tiap
kemungkinan lintasan elektron tersebut. Barulah ketika diamati (semisal kita
mengadakan pengukuran), “awan kemungkinan” itu runtuh dan hanya menyisakan satu
lintasan elektron saja.
Anggap saja kasusnya mirip-mirip sama kasus
Percobaan Celah Ganda dimana foton yang awalnya menjadi gelombang, akan runtuh
menjadi partikel apabila diamati.
Kita coba ingat kembali percobaan Kucing
Schrodinger dimana seekor kucing diletakkan dalam kotak tertutup dengan bahan
radioaktif. Kotak itu dirancang sedemikian rupa hingga ada kemungkinan 50%
kucing itu mati dan 50% kucing itu hidup (apabila kucing itu berada di Dunia
Kuantum).
Sebelum kotak itu dibuka, kucing itu berada dalam
dua “state” yakni hidup dan mati (ada yang menyebutnya “zombie” malah, yakni
separuh hidup separuh mati). Nah, ketika kita membuka dan mengamati kondisi
kucing itu, maka probabilitas tersebut runtuh dan hanya menyisakan satu
“realita”, yakni semisal kucing itu masih hidup.
Contoh lainnya adalah ketika kita menaruh sebuah
dadu di bawah sebuah gelas yang ditelungkupkan (lagi-lagi dalam Dunia Kuantum).
Gelas itu bukan gelas transparan sehingga kita tak tahu kondisi dadu di dalam
gelas itu.
Anggap saja kita mengocoknya dengan
menggoyang-goyangkan gelas itu dengan keras tanpa membaliknya. Apabila belum
dibuka, di dalam gelas itu sang dadu memiliki 6 “state” probabilitas, yakni
angkanya bisa 1, 2, 3, ,4, 5, atau 6 (kondisi ini disebut “superposisi”).
Menurut Teori Kuantum, dalam gelas itu terdapat dadu dalam semua kemungkinan tersebut.
Namun ketika dibuka, semua probabilitas itu akan “kolaps” menyisakan hanya
satu, yakni dadu itu bernomor 1, semisal.
[Apa benar Tuhan bermain dadu saat menciptakan alam
semesta ini?]
Sekarang kita terapkan Asas Ketidakpastian
Heisenberg ini untuk menjelaskan Fine-Tuned Universe.
Anggaplah kita memiliki “Tuhan” (dalam tanda kutip)
yang bisa menciptakan alam semesta. Ia ingin menciptakan kehidupan adidaya yang
ia namakan manusia (ingat ya, tujuannya menciptakan “manusia” bukan alien).
Namun “Tuhan” ini tak tahu caranya. Maka dari itu, ia kemudian menciptakan
semua kemungkinan alam semesta dalam Dunia Kuantum. Ia mencoba semua
probabilitas dengan mengetes semua kemungkinan nilai dari semua konstanta
fisika yang ada.
Semisal ia menciptakan alam semesta dengan nilai
Omega (konstanta dari Martin Rees tadi) dengan berbagai nilai, semisal 1; 2; 3;
0,5; 0,25; bahkan mungkin 0. Dia kemudian menemukan (dari alam-alam semesta
yang tercipta) bahwa nilai 1 adalah yang paling sempurna. Lalu ia mencoba
mengutak atik nilai konstanta lain, semisal Epsilon, Lambda, dan lain-lain. Ia
juga semisal, mencoba Matahari dengan berbagai kemungkinan ukuran, mencoba
berbagai macam kemungkinan jarak orbit Bumi ke Matahari, mencoba apakah Bumi
lebih baik dengan atau tanpa Bulan, pokoknya ia mencoba setiap kemungkinan yang
bisa terbayangkan.
Kemudian “Tuhan” itu akhirnya menemukan bahwa
probabilitas
terbaik
yang bisa memunculkan manusia adalah alam semesta
dengan nilai konstanta sesuai Fine-Tuned Universe dan planet Bumi dengan lokasi
sesuai Rare-Earth Hypothesis. Alam semesta itulah yang kita tinggali. Kemudian
setelah puas dengan “ciptaannya”, iapun meruntuhkan semua alam semesta lain.
Dengan kata lain, “Tuhan” ini “bermain dadu” dengan
mengecek semua probabilitas untuk menciptakan manusia.
Namun “Tuhan” macam apakah ini? Bukankah Tuhan
sesungguhnya maha tahu?
[Apakah Fine-Tuned Universe tercipta karena
lemparan-lemparan dadu probabilitas dan kita-lah hasilnya?]
Pertanyaan paling mendasar kini bukanlah apakah
Fine-Tuned Universe berhasil membuktikan keberadaan Tuhan atau tidak. Namun
kini pertanyaannya, jika Fine-Tuned Universe memang benar, Tuhan seperti apakah
yang akan kita temui?
Jika pencarian Tuhan melalui ilmu Fisika dan
Mekanika Kuantum justru menemukan hasil seperti ini, apa lebih baik jika kita
tinggal di Dunia Matrix Simulasi saja?
0 Komentar