FINE-TUNED UNIVERSE: CHAPTER 1 – BISAKAH SAINS MEMBUKTIKAN TUHAN?
Salah satu pertanyaan, atau bahkan bisa juga disebut “misteri”, terbesar
dalam sains adalah darimana kita berasal.
Apakah kita sengaja diciptakan? Ataukah keberadaan manusia di alam semesta
ini sekedar kebetulan? Tak mudah memang menjawabnya.
Namun semakin dalam para ilmuwan mempelajari tentang alam semesta dan
kehidupan kita di Bumi, jawaban-jawaban tersebut seakan mendorong mereka ke
sebuah skenario, yakni “Fine-Tuned Universe” atau “alam semesta yang disetel
dengan apik”.
Apakah Fine-Tuned Universe itu? Dan apakah benar konsep Fine-Tuned
Universe membuktikan keberadaan Tuhan?
______
Bayangkan sebuah radio, dengan radio lama, stasiun radio yang kalian
inginkan nggak langsung serta-merta muncul begitu radio kalian nyalakan.
Tiap stasiun punya gelombang (channel) FM-nya sendiri. Dimana di antara
channel-channel tersebut, ada gelombang-gelombang yang nggak dipakai.
Alhasil, kalian harus mencari terlebih dahulu channel yang kalian inginkan,
biasanya dengan memutar “tuner” radio.
Ketika tuner mencapai gelombang yang kosong, maka kalian akan mendengar
suara “kemresek” yang cukup menganggu.
Namun begitu mendekati channel yang didiami oleh stasiun radio tersebut,
akan mulai terdengar suara yang awam di telinga kalian, mungkin suara DJ
radionya berbicara atau suara musik. Namun suara itu masihlah sayup-sayup atau
bercampur dengan suara “kemresek”.
Tapi begitu kalian menemukan suara itu, kalian tahu kalian sudah dekat
dengan channel yang kalian inginkan. Dengan menyetelnya sedikit, kalian akan
tiba dengan pas di channel yang kalian inginkan dan alhasil, suara yang
merdu-pun mengalun.
Inilah yang disebut dengan “fine tuning”. Kalian harus menyetelnya
dengan “halus” agar kalian bisa mendapat hasil yang kalian inginkan.
Alam semesta kita bekerja seperti itu. Tanpa ada “fine tuning” tersebut
maka alam semesta kita takkan pernah ada.
Bahkan, kehidupan kita juga takkan pernah muncul. Ilmuwan, baik Fisika
maupun Biologi, sejak awal abad ke-20 sudah menyadari fakta tersebut.
Masalahnya sekarang, apakah “fine tuning” disebabkan oleh Kekuatan yang lebih
tinggi, ataukah terjadi secara kebetulan semata?
_____
ALAM SEMESTA YANG SENGAJA “DISETEL”?
[Benarkah alam semesta kita bak sebuah radio yang harus disetel terlebih
dahulu agar bisa mengalunkan musik merdu bernama "kehidupan"?]
Walaupun memiliki dampak yang amat dahsyat bagi Fisika dan Biologi,
Fine-Tuned Universe pertama kali justru disadari oleh seorang ahli kimia
bernama Lawrence Joseph Henderson pada 1913.
Kala itu ia menyoroti bahwa lingkungan di Bumi sangatlah kondusif untuk
keberadaan air, dan tanpa air kehidupan di Bumi (termasuk manusia) takkan ada.
Fine-Tuned Universe dalam Fisika pertama kali dipelajari oleh Robert
Dicke pada 1961 dimana ia menyadari bahwa force terpenting dalam alam semesta,
yakni gravitasi dan elektromagnet bisa terjadi karena Hukum Fisika “disetel
secara halus”.
Di bidang Biologi, Fine-Tuned Universe juga diamini oleh Fred Hoyle pada
1984 dalam bukunya “The Intelligent Universe” dimana ia mengklaim alam semesta
ini seolah diatur agar kehidupan manusia bisa ada.
Inti atau premis dari Fine-Tuned Universe adalah perubahan terkecil pada
konstanta Fisika akan berakibat pada alam semesta yang benar-benar berbeda
(anggap saja seperti Butterfly Effect) dimana alam semesta tersebut akan lebih
“ganas” sehingga tak memungkinkan adanya kehidupan.
Ilmuwan kawakan Stephen Hawking pernah mengungkapkan keheranannya akan
besaran konstanta Fisika di alam semesta ini yang seolah-olah sudah sengaja
“disetel” sehingga kehidupan bisa muncul.
____
Apakah contoh konstanta-konstanta tersebut?
• Strong Force
Kalian sudah belajar tentang strong force kan, yakni force yang
bertujuan menggabungkan partikel-partikel sub-atomik agar membentuk atom? Mudah
dipahami jika strong force terlalu lemah, maka partikel sub-atomik takkan mampu
berikatan.
Namun bagaimana jika ia lebih besar? Jika strong force lebih besar 2%
saja, dipostulatkan bahwa hidrogen di seluruh alam semesta akan langsung habis
dalam menit-menit pertama Big Bang.
Tanpa hidrogen, takkan ada bintang yang menghasilkan energi untuk kita.
Tanpa energi, takkan ada kehidupan.
Hidrogen juga merupakan penyusun utama air (H2O), jadi tanpa hidrogen,
mudah dipahami bahwa kehidupan takkan pernah ada.
• 6 Konstanta Semesta ala Martin Rees
[Tanpa konstanta-konstanta ini berada di nilai yang tepat, maka bintang
takkan pernah ada di jagad raya ini dan begitu pula kehidupan]
Martin Rees dalam bukunya “Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape
the Universe” yang dirilis tahun 1999 merangkum 6 konstanta fisika yang apabila
nilainya diubah sedikit saja, akan menimbulkan kekacauan di alam semesta.
Konstanta-konstanta tersebut adalah:
1. “N”, yakni rasio kekuatan elektromagnetisme dengan gravitasi dari
sepasang proton. Nilainya sekitar 1036. Jika nilainya lebih kecil, alam semesta
kita akan berumur pendek dan keburu musnah sebelum kehidupan bisa muncul.
2. Epsilon (ε),yakni efisiensi fusi hidrogen menjadi helium, yakni
bernilai 0,007. Jika nilainya lebih kecil sedikit saja, yakni 0,006 maka takkan
ada helium. Sedangkan jika nilainya lebih besar sedikit saja, semisal 0,008,
maka hidrogen takkan pernah ada. Baik hidrogen dan helium merupakan
elemen-elemen terpenting di alam semesta dan menyusun 99% materi di jagad raya
ini. Tanpa kedua elemen itu, reaksi nuklir dalam inti bintang takkan bisa
terjadi.
3. Omega (Ω) atau “parameter densitas”, yakni pengaruh gravitasi
terhadap mengembangnya alam semesta. Nilainya adalah 1. Bila gravitasi terlalu
kuat, maka alam semesta akan runtuh (kolaps) begitu tercipta. Sedangkan jika
gravitasi terlalu lemah, bintang-bintang takkan bisa tercipta.
4. Lambda (Λ), atau disebut pula “cosmological constant” yang bernilai
amat kecil, yakni 10-122. Nilai tersebut tentu amatlah kecil (nol koma dengan
121 angka 0 di belakangnya) sehingga efeknya hampir tak terasa. Namun jika
nilainya tak sekecil ini, maka takkan ada bintang maupun benda langit lainnya
yang bisa terbentuk.
5. “Q”, yakni rasio energi gravitasi yang diperlukan untuk menarik
galaksi dengan energi yang ekuivalen dengan massanya Nilainya sekitar 10−5.
Jika terlalu kecil, maka takkan ada bintang yang mampu terbentuk. Namun jika
terlalu besar, bintang-bintang takkan selamat sebab akan saling bertabrakan.
6. “D”, yakni jumlah dimensi ruang, yakni tentu saja 3. Dikatakan bahwa
kehidupan takkan bisa ada jika hanya ada 2 atau bahkan ada 4 dimensi ruang.
• Hoyle State
[Karbon tak hanya bermanfaat untuk menghasilkan berlian yang begitu
indah ini. namun juga tanpa karbon, takkan ada permata bernama kehidupan di
Bumi ini]
Contoh lain dari konstanta Fisika yang begitu menentukan takdir kita
adalah “Hoyle State” yang berkaitan erat dengan energi sebuah atom karbon.
Nilainya adalah 7,656 MeV.
Jika nilainya kurang 7,3 atau lebih besar dari 7,9 maka takkan ada cukup
karbon di alam semesta ini untuk mendukung kehidupan. Perlu kalian tahu bahwa
kehidupan kita (tak hanya manusia, namun juga seluruh makhluk hidup di Bumi)
merupakan kehidupan yang berbahan dasar karbon.
______
Mungkin kalian berpikir, kok dari tadi kita ngomongin bintang sih? Emang
ada efeknya buat kita?
Eits, bintang bisa disederhanakan dengan istilah yang lebih mudah kalian
mengerti, yakni: MATAHARI.
Bayangkan jika nggak ada Matahari, nggak akan ada Tata Surya. Mau planet
Bumi kita melayang-layang nggak tentu arah di gelapnya alam semesta? Tanpa
Matahari, mustahil akan ada kehidupan.
Bayangkan saja jika Matahari sekarang tiba-tiba lenyap, kehidupan jelas
takkan bertahan lama. Tanaman takkan mampu berfotosintesis sehingga tumbuhan
akhirnya akan punah, diikuti musnahnya hewan dan manusia.
Sebuah video dari Arvin Ash [YouTube] justru lebih jauh lagi mengeksplor
ada 19 parameter Fisika yang harus di fine-tuned atau disetel dengan halus agar
kehidupan bisa ada.
Dengan kata lain, apabila nilainya berubah sedikit saja, maka alam
semesta ini bisa saja steril dari kehidupan. Silakan cek videonya untuk
mengetahui apa saja konstanta-konstanta tersebut.
Namun benarkah adanya “Fine-Tuned Universe” menjadi bukti saintifik akan
keberadaan Tuhan?
Untuk menjelaskan keajaiban “Fine-Tuned Universe”, Kenneth Einar Himma
dan George Schlesinger mengatakan demikian. Katakanlah ada pria bernama John
yang memenangkan hadiah lotere sebesar 1 juta dolar. Tentu saja, kalian akan
menganggap bahwa John adalah pria yang amat beruntung.
Namun bagaimana jika katakanlah, John kemudian memenangkan hadiah lotre
sebesar 1 juta dolar itu selama 3 kali berturut-turut? Pasti kalian berpikir,
ada yang nggak beres! Pasti ada dalang di balik semua ini?
Maka lihatlah bukti-bukti di atas. Jika cuman satu (semisal kita ambil
saja Cosmological Constant), kalian sah-sah saja jika berpikir, wah mungkin itu
kebetulan sahaja.
Namun jika nilai N, epsilon, omega lambda, Q, dan D juga berperilaku
sama, maka kalian mungkin mulai ragu bahwa ini semua sekedar “kebetulan”.
So, does that actually prove that God exist?
Kita akan mempelajarinya lebih lanjut dengan teori lain, yakni
“Rare-Earth Hypothesis”.
_____
KEAJAIBAN “RARE-EARTH HYPOTHESIS”
[Anugerah kehidupan yang begitu menakjubkan di Bumi ternyata amat
dipengaruhi oleh posisi planet ini di alam semesta]
Salah satu aplikasi dari “Fine-Tuned Universe” adalah “Rare-Earth
Hypothesis” atau “Hipotesis Bumi Langka”.
Sesuai namanya, Rare-Earth Hypothesis berpendapat bahwa kehidupan
seperti di Bumi amatlah langka. Uniknya, hipotesis ini bisa menjawab pertanyaan
dari Fermi Paradox mengapa hingga sekarang kita belum bisa melihat kehidupan
alien selain di planet kita.
Hipotesis ini berpendapat bahwa kehidupan di Bumi ini disokong oleh
fenomena astrofisika dan geologis yang sebenarnya amatlah mustahil atau
memiliki kemungkinan (probabilitas) yang teramat kecil.
Dengan kata lain, keberadaan manusia di alam semesta ini bisa dianggap
keajaiban. Ataukah, alam semesta ini malah memang sengaja dirancang untuk kita
tinggali?
Istilah “Bumi Langka” pertama kali muncul dalam buku besutan Peter Ward
dan Donald Brownlee pada 2000.
Peter sendiri adalah seorang ahli geologi dan palaentologi, sedangkan
Donald adalah astronom sekaligus ahli astrobiologi, keduanya dari Universitas
Washington.
Mereka berdua berpendapat bahwa agar kehidupan bisa ada, maka
faktor-faktor di bawah ini perlu dipenuhi. Dan uniknya, Bumi memiliki semua syarat-syarat
di bawah ini.
1. Memiliki lokasi yang tepat di galaksi yang tepat pula.
[Ilmuwan mempostulatkan bahwa kehidupan tak bisa berlangsung di galaksi
globular tapi bisa berlangsung di galaksi spiral asalkan letaknya tak berada di
pusat galaksi]
Ada banyak galaksi yang berada di alam semesta kita, pasti kalian semua
bisa mengamini itu. Namun tak semua galaksi bisa menjamin kehidupan.
Semisal, galaksi berbentuk globular (bulat) yang teramat padat dengan
banyak bintang di dalamnya akan menghasilkan radiasi yang amat tinggi yang
jelas akan memusnahkan kehidupan.
Galaksi globular kemungkinan memiliki banyak bintang yang berpotensi
menjadi supernova, sehingga juga bisa melenyapkan kehidupan. Belum lagi
kemungkinan kita bertabrakan dengan bintang lain juga semakin tinggi.
Tak hanya itu, jikapun kita tinggal di galaksi yang bisa menjamin
kehidupan, semisal Bima Sakti yang berbentuk spiral, lokasinya pun akan
menentukan apakah kehidupan itu bisa lestari atau tidak.
Sebagai contoh, letak Tata Surya kita berada di lengan Bima Sakti.
Mengapa tidak di tengah? Karena di pusat Bima Sakti terdapat Lubang Hitam
raksasa yang memancarkan radiasi sinar X dan gamma yang teramat berbahaya.
Bahkan bagian pusat galaksi disebut sebagai “Dead-Zone” karena jelas
kehidupan takkan selamat di sana.
2. Mengorbit dengan jarak yang tepat dengan tipe bintang yang tepat pula
Untuk menjelaskan ini, kalian harus tahu apa itu prinsip “Goldilocks
Zone”.
Zona Goldilocks adalah zona “hijau” di sekitar sebuah bintang, dimana
apabila sebuah planet mengorbit di zona tersebut, maka kondisi di planet
tersebut akan mendukung kehidupan.
Lokasi Zona Goldilocks ini amat bergantung apa tipe, ukuran, dan usia
bintang tersebut.
Syarat pertama sebuah bintang dapat mendukung sebuah kehidupan adalah bintang
tersebut haruslah bintang tunggal dan bukan sebuah “sistem biner”.
Sistem Biner terjadi apabila sebuah sistem memiliki dua bintang,
sehingga kedua bintang tersebut akhirnya saling mengorbit satu sama lain.
Beruntung, bintang kita, yakni Matahari, adalah bintang tunggal yang tak
memiliki kawan. Gawat jadinya bila ada dua bintang di Tata Surya kita.
Lho, memangnya mengapa? Apa akan terlalu panas? Panas bukanlah masalah
utamanya, melainkan “Three Body Problems”.
Apa lagi itu? Jika dua benda langit bertemu, maka logikanya benda langit
yang memiliki gravitasi lebih kecil akan mengorbit benda langit yang memiliki
gravitasi lebih besar.
Contohnya seperti Bulan mengorbit Bumi. Apabila dua benda langit
memiliki gravitasi sama besar, mereka akan saling mengitari satu sama lain
seperti sistem biner tadi.
Gerakan dua benda langit sangat mudah diprediksi oleh Hukum Newton,
namun apabila satu benda langit lain ditambahkan ke dalam sistem itu, hasilnya
akan kacau.
Inilah yang disebut “Three Body Problems”. Ketika ada tiga benda langit
(semisal dua bintang dan satu planet), maka gerakan ketiganya akan sangat
kacau.
Tak ada satupun perhitungan matematis ataupun hukum alam yang bisa
memprediksi gerakannya.
Semisal bisa saja semenit Matahari ada di dekat kita (sejauh Merkurius)
kemudian di menit berikutnya, kita berada sejauh Neptunus dari Matahari,
kemudian tiba-tiba kita akan ada di orbit Mars.
Gerakan tiba-tiba yang tak teratur itu tentu saja akan langsung
memusnahkan kehidupan di planet kita.
Uniknya, sekitar 50% bintang yang ada di alam semesta kita terlibat
dalam Sistem Biner tersebut, sehingga bisa dibilang kita amat beruntung.
Ukuran bintang juga amat berpengaruh. Bintang berukuran raksasa seperti
Sirius dan Vega tidak hanya lebih panas, namun juga menghasilkan lebih banyak
radiasi ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan.
Bintang yang lebih kecil (disebut “dwarf star” atau bintang kerdil)
mungkin lebih aman. Namun kacaunya, planet yang mengorbit bintang kerdil
umumnya berada dalam kondisi “tidal-lock”.
Artinya, ada satu permukaan yang akan terus-menerus menghadap ke bintang
itu dan permukaan lainnya akan terus menghadap ke sisi berlawanan.
Akibatnya, takkan pernah ada pergantian siang dan malam. Terang dan
gelap di sana akan berlangsung selama-lamanya.
3. Urutan planet yang tepat dalam Tata Surya
Bagaimana jika selama ini Jupiter menyumbang amat banyak bagi kehidupan
kita di Bumi? Lah kok bisa? Jupiter aja letaknya amat jauh, Bagaimana bisa
mempengaruhi kehidupan di Bumi? Ternyata Jupiter selama ini diam-diam menjadi
“vacuum cleaner langit”.
Namun kita juga beruntung letak Jupiter tak terlalu dekat dengan kita.
Jika letaknya terlalu dekat, gravitasi Jupiter yang amat kuat jelas akan
mengacaubalaukan kondisi planet bumi.
4. Ukuran planet yang tepat
Jika Bumi berukuran lebih kecil, akibatnya gravitasinya akan lebih kecil
pula. Dampaknya bisa langsung kita rasakan.
Planet kita takkan bisa menarik udara dan air agar tetap di permukaan
Bumi. Alhasil, planet kita takkan memiliki atmosfer dan lautan.
Kebalikannya jika Bumi kita terlalu besar, atmosfer kita justru akan
terlalu tebal. Mungkin kalian malah senang ya, kan kalo atmosfer lebih tebal,
udara juga lebih banyak, jadi kita bisa lebih lega bernafasnya?
Eits, tapi ingat, atmosfer juga punya tekanan. Semakin tebal
atmosfernya, semakin besar tekanannya.
Akibatnya tubuh kita bisa langsung remuk. Selain itu, atmosfer tebal
juga akan lebih cepat memicu efek rumah kaca sehingga permukaannya akan semakin
panas.
5. Memiliki Satelit Berukuran Besar
Ternyata Bulan tak hanya berfungsi menghiasi langit malam semata.
Kontribusinya terhadap kehidupan di Bumi juga teramat besar.
Bahkan bisa dikatakan, tanpa adanya Bulan, takkan ada kehidupan di Bumi.
Keberadaan satelit sebesar Bulan di bagian dalam Tata Surya tergolong
aneh dan ganjil.
Bayangkan, dari empat planet terdekat dengan Matahari, hanya Bumi yang
memiliki satelit alami.
Merkurius dan Venus tak memiliki satelit. Mars memiliki dua satelit,
yakni Phobos dan Deimos, namun keduanya bukanlah satelit “alami”.
Phobos dan Deimos sesungguhnya asteroid dari sabuk asteroid antara Mars
dan Jupiter yang kebetulan tertangkap gravitasi planet merah tersebut.
Buktinya, bentuk Phobos dan Deimos tidaklah beraturan, jauh dari bentuk
bola sempurna satelit alami seperti Bulan.
Mengapa Bumi bisa dianugerahi satelit seperti Bulan? Para astronom
menduga bahwa miliaran tahun yang lalu, ketika masih dalam tahap pembentukan,
Bumi dihantam oleh sebuah planet bernama Theia.
Theia langsung musnah akibat tabrakan tersebut, namun pecahannya
kemudian bergabung kembali menjadi Bulan.
Mengapa peristiwa ini penting? Sebab tabrakan tersebut mengubah poros
Bumi yang seharusnya tegak lurus menjadi miring, sehingga memiliki iklim yang
teratur. Kemiringannya pun sempurna.
Ilmuwan memperkirakan jika kemiringan Bumi terlalu drastis, maka musim
bisa berkecamuk secara ekstrim. Namun jika poros Bumi tidak miring, maka
variasi iklim takkan cukup untuk menyokong kehidupan.
Tak hanya itu, tabrakan tersebut juga membuat rotasi Bumi bertambah
cepat. Konon kecepatan rotasi Bumi ini menjadi amat pas bagi lamanya pergantian
siang dan malam yang mendukung fotosintesis tumbuhan berkembang.
Bagaimana dengan peran Bulan sendiri bagi kehidupan di Bumi? Adanya
gravitasi Bulan membantu kestabilan perputaran Bumi pada porosnya.
Gravitasinya juga membantu pergerakan lempeng Bumi sehingga memacu
siklus mineral yang amat dibutuhkan makhluk hidup. Tak hanya itu, adanya pasang
laut saat purnama juga bermanfaat sekali bagi kehidupan biota laut.
6. Memiliki atmosfer
[Walaupun terlihat ringkih, namun atmosfer kita bak perisai yang
melindungi kehidupan kita]
Komposisi atmosfer Bumi-pun seakan begitu sempurna untuk mendukung
kehidupan Bumi. Planet kita memiliki lapisan ozon untuk melindungi kehidupan
dari ancaman sinar ultraviolet.
Rasio nitrogen dan karbon dioksida dalam atmosfer juga dalam takaran
tepat agar kehidupan bisa berkembang. Karbon dioksida hanya dibutuhkan dalam
level yang sedikit, yakni sekitar 400 ppm (part per million).
Kadar CO2 yang lebih tinggi dari itu akan meracuni kehidupan, belum lagi
akan menciptakan efek rumah kaca dan global warming.
Sama halnya dengan kadar oksigen. Jika terlalu sedikit, tentu kita mesti
rebutan oksigen dengan makhluk lain.
Bagaimana jika oksigennya terlalu banyak? Jangan lupa, oksigen adalah
gas yang amat mudah terbakar. Bila konsentrasi oksigen terlalu tinggi, udara
kita akan mudah sekali terbakar.
0 Komentar