SINJAI 2023



 ‘Jadi kita ini apa?’ tanyaku sambil mengunyah batagor yang mulai dingin.

‘Irdah,’ kata Andri, memanggil namaku.

 ‘Kita ini ya Homo Sapiens. Manusia. kamu tuh tidur mulu sih pas lagi pelajaran biologi.’

Andri sering menghindari pertanyaan yang sulit dengan candaan, tapi kali ini aku butuh penjelasan. Kami berdua sudah dekat selama setahun belakang, dan pada momen kelulusan SMK saat ini, di depan abang-abang batagor depan sekolah yang sedang mencabut jenggotnya dengan dua keping uang 500 rupiah, aku rasa pertanyaanku cukup wajar.

Hubungan kami dimulai dari pelajaran Bahasa Indonesia. Dimana kami, yang terpaksa tergabung dalam satu kelompok setelah ditunjuk oleh guru, harus membuat makalah dan mempresentasikan Sinjai Di Tahun 2023. Sekarang tahun 2002, apa pun bisa terjadi 21 tahun lagi. Kami diminta menggunakan imajinasi kami untuk membayangkannya. Tugas ini untuk tiga orang, tapi teman kami yang satu lagi tiba-tiba kena diare akut.

‘Pasti gara-gara dia sempet makan bakso tikus yang ada di ujung jalan,’ kata Andri saat itu.

Dia melanjutkan, ‘Gak apa-apa, Irdah, kita berjuang untuk makalah kita di perpustakaan, biar dia berjuang di WC rumahnya sendiri.’

Sebelumnya, kami tidak akrab. Andri adalah tipe pelajar yang selalu punya cara untuk tidur tanpa ketahuan guru di dalam kelas, tapi ketika ujian tiba, nilainya tiba-tiba bagus. Menyebalkan, memang. Sementara aku tipe anak rajin yang selalu mencatat pelajaran apa pun, yang dicari semua orang menjelang ulangan. Nilaiku nyaris sempurna, dan jika ketika ujian aku tidak dapat nilai 9, aku kepikiran satu minggu. Dari SD sampai sekarang, kelas 3 SMK ini, hanya dua kali aku rangking di luar tiga besar. Aku bangga untuk itu. Ketika mengerjakan makalah, Andri dan aku malah lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol. Topik demi topik bergulir, dan dengan selera humor Andri yang garing-garing menyebalkan, aku sesekali mengeluarkan tawa.

 

‘Aku kayaknya salah menilai kamu,’ kataku di sela-sela mengerjakan Pendahuluan. ‘Aku pikir kamu orangnya dingin, judes, pendiam.’

‘Sama dong,’ kata Andri.

‘Aku pikir kamu orangnya membosankan, tipe siswa taat aturan gitu. Kanebo kering yang dilaminating gitu.’

‘Ya emang, aturan ada buat diturutin,’ kataku.

 ‘Hidup gak sekaku itu ah,’ kata Andri. ‘Kalau janji, nah itu baru harus diturutin.’

‘Oke. Tadi kamu janji bakal pergi ke percetakan Zhaafira, print makalah ini, terus kamu yang presentasi besok. Bisa dipegang gak tuh?’

‘Lihat muka aku, apakah ini muka orang yang dengan gampang bisa ngebatalin janji?’ tanya Andri, sambil meringis lebar. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan matanya agak kecokelatan. Wajahnya seperti orang yang lolos audisi model majalah remaja, tapi gagal masuk ke putaran berikutnya. ‘Ganteng nanggung’ mungkin adalah frase yang tepat untuk menggambarkan dirinya.

Ketika harinya tiba, Andri betul menepati janjinya. Dia melakukan presentasi di depan semua orang dengan memukau. Senyumannya yang karismatik membuat setiap siswa administrasi perkantoran terbuai dengan apa yang dia bawa.

‘Menurut kelompok kami, di Sinjai masa depan, mobil pete-pete bisa terbang,’ kata Andri di depan kelas.

‘Bayangin juga bunyinya. Suara pete-pete yang terbawa angin. Prepepet siuuu prepepet siuuu. Ciiiiittttt. Nah itu suara petepetenya tiba-tiba belok.’

Tidak ada yang tertawa, kecuali aku sendiri. Entah kenapa, itu membuatku merasa istimewa.

*** Sorenya, sepulang sekolah, Andri mengajakku pergi makan untuk merayakan “presentasi Bahasa Indonesia yang telah selesai”. Kami pergi ke LapNas, tinggal menyebrang dari SMK 1, sekolah kami. Berjalan berdua, karena teman kelompok yang satu lagi itu, kembali kumat diarenya.

‘Sebenarnya dia makan apa sih?’ tanya Andri.

‘Tadi sih aku lihat di kantin dia makan gado-gado aja,’ kataku.

‘Gak mungkin, kan, lontongnya dari daging tikus?’ tanya Andri.

Kami berdua lalu tertawa. Kami berjalan, lalu membahas makalah yang kami kerjakan. Aku tampak khawatir, berkali-kali berkata seandainya lebih banyak gambar di makalah itu, seandainya kita bahas dari sisi politiknya, seandainya, dan seandainya.

‘kamu terlalu banyak penyesalan ah,’ kata Andri. ‘Makalahnya udah selesai, gak ada gunanya juga kita mikirin kemungkinankemungkinan yang udah lewat.’

‘Gitu ya,’ kataku.

‘Gitu,’ kata Andri. ‘Udah lah, hari ini kita jalan-jalan aja. Di kemungkinan yang sekarang terjadi. Dapet jelek atau pun dapet bagus, yang penting kan kita udah usaha.’

Hari itu seperti kepingan sebuah puzzle, perlahan kami saling memperlihatkan potongan-potongan diri kami, dan melengkapinya, hingga terlihat seutuhnya. Ketika makan berdua Siomay di ayunan dekat seluncuran kanak-kanak, aku jadi tahu bahwa Andri tidak suka popularitas, menurut Andri konsep dicintai banyak orang itu mengerikan. Jadi populer adalah beban yang terlalu berat. Satu orang saja bisa kecewa dengan diri kita, gimana kalau banyak orang yang kecewa?

‘Popularitas itu sebuah kutukan,’ kata Andri.

Sebagai orang yang mengganggap hidup jadi artis itu menyenangkan, tentu aku tidak setuju, menurutku popularitas bisa mendatangkan banyak manfaat. Tapi aku paham jalan berpikirnya, dan aku mengagumi itu. Mengagumi ada laki-laki 17 tahun yang isi kepalanya berbeda dari yang lainnya. Dimana, pada umur segini, popularitas adalah segalanya. Dimana, respect di tongkrongan adalah alasan untuk bahagia. Minggu depannya, kami berjalan berdua lagi, kali ini di pasar malam. Kala itu, setelah naik bianglala, kami berdebat lama di tribun tentang mengapa punya kelompok pertemanan itu hanya akan membuat kehidupan di SMK merana.

‘Remaja itu susah membuat keputusan sendiri. Makanya mereka suka meminta saran teman-temannya. Masalahnya, jarang yang punya pengalaman hidup cukup banyak untuk punya solusi,’ kata Andrii. ‘Jadinya, malah melakukan saran yang salah. Makanya banyak remaja melakukan tindakan-tindakan bodoh.’

 ‘kamu kan remaja?’

 ‘Bener juga sih,’ kata Andri. ‘Bodoh juga ya aku.’

Sekali lagi aku paham maksud Andri, tapi aku rasa pemikiran itu juga timbul karena dia tidak punya banyak teman di sekolah. Tidak ada yang mampu menandingi pola pikir Andri yang ajaib. Pantas banyak gosip bahwa dia adalah orang yang dingin. Terkadang, kita sering menilai buruk orang yang tidak kita pahami. Andri contoh korban dari penilaian itu. Semakin lama mengenal Andri, semakin aku merasa menemukan sebuah harta karun: seorang laki-laki yang dilewatkan begitu banyak perempuan lain di sekolah. Sosok laki-laki yang tidak cocok berada di dalam semrawutnya pergaulan masa muda, lalu asing sendirian.

‘kamu ngapain sih deket-deket sama cowok aneh itu,’ kata seorang teman sekelasku.

‘Andri itu waktu pensi sekolah dia malah mojok di lapangan bola sambil baca buku. Pantesan gak punya temen.’ Teman yang lain bilang,

‘Dia pernah ngelarang temen-temen kita ngerjain anak kelas 1. Masa senior mau ngapus senioritas. Bener sih, orang yang kebanyakan baca buku gak usah didengerin.’

 ‘Aku denger dia korban santet,’ kata temen yang lain lagi,

kali ini gosipnya lumayan ngaco. Padahal, Andri bukan orang yang aneh. Dia hanya orang yang salah dimengerti. Itu adalah dua hal yang berbeda. Dari sekali pergi bersama, kami jadi punya jadwal rutin tidak resmi. Setiap malam minggu, Andri akan mengajakku keluar. Kegiatannya pun beraneka ragam. Kami pernah pergi hanya untuk makan kebab Turkiyem yang sedang dibicarakan banyak orang. Kami juga pernah keluar hanya untuk menemani aku membeli Pop Ice taro, lalu duduk di pinggiran Trotoar sambil ngomongin orang yang lagi belanja. Pada suatu malam, selepas masuk rumah hantu, lagi-lagi di pasar malam, kami berdiskusi panjang soal luka masa lalu.

‘Apa kejadian di masa lalu yang bikin kamu suka mimpi, kebangun tengah malam?’ tanya Andri.

‘Waktu ayah aku marahin aku pernah dapat nilai 5 di rapot dia bilang coba aja kamu lebih keras lagi belajarnya,’ kataku. ‘Dia bilang Papa sedih kalau kamu nilainya jelek. Aku pernah mimpi dikejar angka 5. Serem banget.’

Mata Andri terbuka lebar. ‘Pantesan hidup kamu penuh penyesalan ya. Selalu memikirinkan kalau aja, kalau aja. Ternyata trauma sama 5 toh.’

‘Ya gak gitu juga,’ kataku. ‘Kalau kamu apa?

Mimpi yang bikin kebangun?’ ‘Dulu aku main bola di sekolah, aku tahu kalau aku sundul bolanya, kepala aku bisa kena tiang gawang. Bener deh. Kepala aku kebentur tiang. Aku pingsan. Tapi gol. Abis itu aku mimpi berkali-kali kejedot tiang,’ kata Andri.

‘Tapi itu gak penting banget ngorbanin kepala cuma buat gol,’ kataku.

‘Kalau kita gak coba, kita gak pernah tahu kan?’ kata Andri.

Tanpa terasa, entah siapa yang memulai, di saat berjalan berdua, kami jadi bergandengan tangan menyusuri pasar malam di lapangan sinjai Bersatu. Anehnya, tidak ada rasa canggung atau cemas. Tidak ada malu atau ragu. Di saat itu aku tahu, kami punya sesuatu yang istimewa. Teman, tapi bukan hanya teman.

*** ‘Jadi kita ini apa?’ tanyaku sekali lagi di momen kelulusan SMK, sembari memotong batagor di atas piring. ‘Jangan ngeles lagi.’ ‘kamu adalah orang yang paling istimewa saat ini di hidup aku.’ ‘Temen?’

Andri terdiam. ‘Kalau temen itu boleh kangen malem-malem gak sih?’ ‘Gak tahu, kalau temen boleh… sayang gak?’ tanyaku. ‘Karena itu yang terjadi.’

Andri tersenyum lebar. Wajahnya yang menyebalkan itu terlihat jelas di bawah sinar matahari yang terik.

‘Kita jelas bukan teman aja, Irdah. Tapi aku gak mau kalau kita juga pacaran.’

‘Kenapa?’ tanyaku.

‘Karena minggu depan aku sudah pergi ke Makassar,’ kata dia.

Seperti sebuah film yang berjalan terlalu cepat, minggu depannya kami duduk berdua di sebuah warkop di terminal Bongki. Suara ramai kernet di terminal mengisi seluruh bus yang ada, memanggil penumpang yang terlambat. Andri mengaduk-aduk gelas kopi di depannya. Sebentar lagi dia akan menaiki busnya untuk kuliah di Universitas Negeri Makassar. Dia selalu ingin pergi dari Sinjai. Dia tidak pernah nyaman dengan betapa sesaknya kota ini. Betapa penghuninya seperti terburu-buru pergi dari satu sisi ke yang lainnya, kadang dengan topeng masing-masing yang mereka jarang lepas. Betapa orang lupa untuk sekali-kali, bernafas di tengah nasib. Betapa orang lupa, hidup ini lebih dari sekadar kerja dan menghabiskan uang, dan memamerkannya.

 Dia bilang, ‘Sinjai terlalu hebat untuk aku. Kota ini membuat aku takut.’

‘Tapi kan kota ini membawa banyak kesempatan.’

‘Itu yang mau aku cari di Makassar. Kesempatan sendiri, di tempat yang aku senangi.’

Aku memandangi mata Andri, dalam.

 ‘Kenapa?’ tanya dia.

‘Kenapa sih kamu gak mau lebih dari teman? Punya, uh, komitmen?’ tanyaku, melepaskan semua gengsiku. Ingin minta kepastian untuk terakhir kalinya.

‘Irdah, kita ini masih 18 tahun. Masih bodoh-bodohnya. Kita aja gak tahu siapa diri kita sebenarnya? Kepribadian kita masih berkembang, kenapa kita mau mengikat diri sama orang lain? ’

‘kamu gak sayang sama aku?’

‘Sayang. Tapi kalau kita pacaran, aku udah bisa bayangin. Pacaran nih. Pindah ke kota lain. LDR. Bete-betean. Ketemu orang baru. Putus. Kita saling benci satu sama lain, lalu gak akan saling ngobrol sampai tua.’

 Aku mengangguk. ‘Oh, kamu mau ketemu cewek-cewek lain ya, di perkuliahan nanti?’

‘Kurang tepat. aku mau ketemu kemungkinan lain dalam hidup.’

 Andri melihat tajam ke aku. ‘Sama kayak kamu, akan ketemu orang-orang baru dalam hidup. Di kuliah, di pekerjaan, di kehidupan. Dunia ini terlalu luas hanya untuk menggantungkan hati kamu ke orang yang temui waktu SMK. Gak mungkin kita, di umur yang semuda ini, kita sudah menemukan orang yang sempurna, ya kan?’

Aku sebenarnya ingin menjawab, tapi bagi aku, Andri, kamu adalah cowok yang sempurna. Aku mengurungkan mengucapkan itu, dan bertanya, ‘Jadi ini perpisahan?’

‘Anggap aja begitu,’ kata Andri.

‘Kalau kamu salah, gimana?’ tanyaku. Aku berkata lagi, ‘Kalau ternyata nih, kamu baru sadar aku adalah cewek yang paling sempurna untuk kamu, dan gara-gara ketemu aku kamu gak akan pernah bisa cinta sama orang lain lagi, karena kamu akan bandingin semua cewek sama aku, gimana?’

‘Kok kamu jadi pede banget ya?’ tanya Andri, sambil menggelengkan kepalanya, jahil.

Aku berkata, ‘Seandainya kita gak satu kelompok waktu bikin makalah itu. Mungkin aku gak perlu ngerasain perasaan kayak gini.’

‘Tuh kan, seandainya lagi,’ kata Andri.

Dia diam lalu berkata, ‘Aku tahu yang terjadi di Sinjai Tahun 2023.’

‘Kenapa? Mau ada pete-pete terbang?’

Andri menggeleng. ‘Kita bikin janji ya, kalau di tahun 2023, 21 tahun lagi, kita sama-sama belum nikah, kita nikah.’

Aku mulai naik pitam. ‘Di momen kayak gini, kamu mau bikin janji-janjian klise anak SMK?’ ‘Kita kan anak SMK’ ‘Bukan itu poinnya. Kamu gak tahu udah berapa temen kita yang sama bestfriend-nya ngomong begini? Ini geli banget Andri.’

‘Yah, kamu mau geli bareng gak?’ tanya Andri. ‘Bolanya di kamu.’

‘Dua puluh satu tahun lagi? Kita ketemu di tempat ini?’

‘Iya, di meja yang sama.’

‘Kalau warkop ini udah gak ada?’

‘Ya udah sih, geser ke tempat lain. Di sebelah paling ada Indomaret. Susah amat.’

‘Kalau ternyata kamu udah nikah?’

‘Aku akan ceritakan seperti apa rasanya. kamu juga akan ceritakan seperti apa keluarga kamu nanti. Anak kamu nanti. Kita akan merayakan jalan yang kita ambil, hasil dari persimpangan yang saat ini sedang kita hadapi.’

Andri tersenyum lebar. ‘Percaya deh, pertemuan kita akan ada gunanya.’

Aku mengangguk, menahan tangis. Ketika Andri menaiki bus itu, lalu pergi menjauh, baru aku tahu rasanya menangis sampai tidak bisa mengenali suara sendiri.

*** Dua puluh satu tahun berlalu seperti kedipan mata. Satu detik aku memakai baju SMK, detik berikutnya, aku memakai blazer Zara, menjadi mbak-mbak apparel zara yang membawa tumbler kemana-mana. Sedetik kemudian, aku berjalan memasuki terminal Bongki di sebuah sore yang terlalu cerah. Tahun 2023. Disini sekarang aku duduk, di meja yang sama ketika aku dan Andri berjanji dulu. Tanggal yang sama, jam yang sama. Warkop ini masih bertahan, logonya saja yang lebih modern. Rasa kopinya masih sama, gulanya masih terlalu manis. Orang-orang masih tergesa-gesa menaiki bus. Banyak yang sama. Aku dan Andri yang sekarang berbeda, dua puluh satu tahun kemudian, kami tumbuh menjadi orang yang asing. Setelah melepas kepergian Andri di Bongki waktu itu, kami perlahan-lahan menjauh. SMS sempat berbalas, tapi lama kelamaan, dengan kehidupan baru, kami perlahan mulai hilang. Dia sempat add Yahoo Messenger milikku, chatting sebentar beberapa malam berturut-turut, lalu makin jarang, lalu Andri tidak online lagi.

Andri benar, kami sibuk dengan kehidupan baru. Aku sangat serius belajar di kampus. Pikiranku sederhana: jika aku malas di kampus, nilaiku jelek, maka aku tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Setelah empat tahun, aku lolos dengan predikat cumlaude. Setelah itu aku melamar di perusahaan konsultan terkenal, diterima dan langsung menjadi karyawan yang dibanggakan. Inilah buah dari kerja keras, dengan memberikan yang terbaik di tiap kesempatan. Buah dari keinginan tidak ingin mengecewakan diriku sendiri. Rasanya manis sekali. Aku bertemu dengan suamiku ketika menyebrang jalan pada sebuah sore, sepulang kantor. Hujan turun malu-malu, lalu ketika aku menutup rambut dengan tangan, seorang laki-laki dengan payung hitam berkata, ‘Boleh aku payungi?’ Aku iyakan. Kami berjalan, berbicara, dan saling kenal satu sama lain. Seperti cinta yang kadang datang tidak sengaja, aku pun jatuh cinta tanpa persiapan. Kami jadi sering keluar, dan tidak lama kemudian, dia berniat melamarku.

‘Aku tidak ada niat untuk main-main dengan kamu,’ kata dia di sebuah restoran Korean kitchen yang ada di sekitar BTN Citra Graha sinjai, saat itu. Karena ini sudah mulai serius, aku pastikan dia memang orang yang baik, aku menelpon beberapa teman yang kebetulan kenal dengannya, bertanya seperti apa dia orangnya. Proses memutuskan menikah aku perlakukan seperti orang yang sedang mencari partner bisnis: penuh permintaan rekomendasi dari orang lain. Aku pun menikah dengan dia di suatu hari Sabtu di bulan Desember. Pernikahan kecil yang romantis. Di sinilah aku sekarang, di tahun 2023. Aku punya suami yang baik, pekerjaan yang membuatku bahagia, dan pada akhirnya, punya dua orang anak yang luculucu.

Andri tidak pernah ada di pikiranku selama ini. Waktu Facebook mulai ramai dipakai orang, aku sempat mencari akunnya, tapi tidak ketemu. Aku cuma dengar gosip-gosip saja tentang Andri dari teman sekolah yang sempat bertemu denganku di sebuah resepsi. Aku dengar, Andri menetap di sebuah rumah di Gowa, di pinggiran kota. Aku juga dengar dia sibuk melukis dan menjualnya ke mancanegara. Dia, menurut beberapa sumber, memang tidak punya media sosial. Reunian demi reunian Akbar SMK, Andri juga tidak pernah datang. Teman teman semakin banyak yang tidak tahu kabarnya. Semakin tahun berganti, orang semakin lupa dengan dirinya. Dia seperti hilang dari muka bumi. Tanpa jejak. Inilah kenapa aku datang di terminal Bongki sore ini.

Aku datang untuk mendengar kabar petualangan Andri dalam hidupnya. Orang seunik Andri pasti punya segudang cerita yang menyenangkan. Seperti apa pandangannya terhadap Twitter, Tiktok, Youtube. Ketiga hal yang tidak ada waktu kami muda dulu. Aku kangen sudut pandangnya yang sinis, tapi realistis. Aku datang untuk menepati janji konyol dua orang anak SMK yang tidak mengerti apa-apa. Tapi, sepertinya Andri tidak datang hari ini. Aku menunggu dari siang hingga menjelang malam. Kopi sudah ada tiga gelas, tapi Andri juga tidak datang. Aku mulai merasa bodoh. Mana mungkin Andri masih ingat, janji ini? Sembari menunggu, aku baca Whatsapp dari suamiku. Dia bertanya, ‘Gimana ketemu dengan cinta monyetnya?’

Aku balas, ‘Kayaknya dia lupa.’

Suamiku memang mengizinkan aku bertemu dengan Andri hari ini, dia bilang dengan gagah saat aku minta izin,

‘Biar kamu tahu kalau suami kamu ini pasti jauh lebih keren dari cinta-cintaanmu waktu SMK.’ Memang agak terlalu percaya diri dia, tapi itu yang aku suka.

Aku berdiri dan hendak beranjak pergi, dan di saat itu ada seorang laki-laki dengan jaket hitam masuk ke dalam. Aku mendengar dia berbicara kepada pelayan, ‘Boleh ditanyakan ke dalam, apakah ada pengunjung bernama Irdah?’

Si pelayan terlihat bingung. Aku melihat ke arah dia dengan alis diangkat. Aku bertanya kepada dia, ‘Cari saya?’

Pemuda itu menghampiriku. Tubuhnya kurus, kulitnya sedikit gelap, wajahnya terlihat lelah. Ada kantung mata yang cukup besar untuk orang seusianya. Seolah dia perlu tenaga tambahan untuk keluar rumah hari ini. Dia lalu berkata, ‘Mbak Irdah saya temannya Andri.’

Sekedip kemudian aku dan dia duduk berdua. Dia masih belum memperkenalkan namanya kepadaku. Kakinya bergoyang, tandanya dia tidak nyaman. Pelayan datang memberikan menu dan dia tolak dengan bilang bahwa dia tidak akan memesan apa-apa, orang ini lalu berkata kepaku,

‘Andri tidak bisa datang.’

‘Kenapa?’

‘Karena dia sudah tidak ada. Tiga tahun lalu. Kecelakaan ketika ekspedisi.’

Aku hanya diam terpaku. Bingung bagaimana harus memproses ini semua. Aku tidak sedih, tapi ada sesuatu asing yang di dadaku, seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita miliki. Tanpa diminta, teman Andri ini lalu bercerita tentang dirinya. Dia adalah teman Andri di studio lukis miliknya. Dia lalu bercerita hidupnya berubah semenjak bertemu dengan Andri. Cara pandangnya terhadap dunia, caranya menghadapi persoalan, Andri memberikan warna yang segar kepada hidupnya yang hitam- putih. Mereka pun jadi akrab, dan bersama-sama mereka mengembangkan studio lukis tersebut.

‘Andri orang yang istimewa,’ katanya.

 ‘Andri sudah menikah?’ tanyaku.

‘Belum. Andri tidak pernah menikah. Ada beberapa perempuan yang mampir di hidupnya, tapi tidak pernah lama pacarannya. Selalu begitu. Dia seperti tidak pernah puas dengan pasangannya. Selalu ada yang kurang. Saya juga sempat bertanya kenapa, Andri bilang karena dia pernah kenal sama seorang perempuan waktu SMK, dimana dia cocok dan nyaman sekali, dan gara-gara ini dia selalu membandingkan perempuan lain yang datang dalam hidupnya kepada orang itu. Saya tanya siapa namanya, dan nama yang dia sebut, nama Mbak. Irdah.’

Aku tersenyum tipis, ‘Dia bilang apa?’

‘Andri cerita bagaimana kalian saling melengkapi kalimat masing-masing. Bagaimana kalian bisa ngobrol sampai diusir dari cafe tempat kalian malam mingguan. Bagaimana obrolan tentang kopi bisa berakhir kepada pertanyaan aneh seperti Timur Tengah itu sebenarnya di Timur atau di Tengah?’

Aku tertawa, ‘Iya kami pernah satu jam debat soal itu. Gak penting banget.’

Teman Andri tersenyum. Aku kembali bertanya, ‘Kenapa waktu itu dia tidak cari saya?’

‘Sudah,’ jawabnya.

‘Saya yang bantu dia waktu itu, cari lewat Facebook. Andri kan gak suka main sosial media. Begitu saya kasih lihat Facebook Mbak, foto pertama yang dia lihat, adalah foto mbak irdah sama suami.’

‘Dia bilang apa?’

‘Andri bilang, dia turut senang sama mbak Irdah yang udah sukses dan berhasil dalam hidupnya.’ Teman Andri melihatku, dia lalu melanjutkan,

‘Saya sempat ke Bongki waktu itu, ke Sinjai sama Andri. Ada urusan pekerjaan. Andri sempat bilang, kalau waktunya tiba dia mau ketemu sama Mbak Irdah lagi, karena sudah janji dari SMK. Tanggalnya, hari ini, persis sehari setelah ulang tahun pernikahan saya, Mbak. Makanya saya ingat. Dia sempat bilang, Mbak pasti akan datang, apa pun yang terjadi. Makanya saya datang hari ini, takutnya Mbak datang dan kecewa, karena Andri tidak ada. Saya mau ngabarin itu saja, Mbak. Paling tidak ini adalah hal paling minimal yang saya bisa lakukan untuk teman saya. Biar orang tidak berpikir bahwa dia bisa ingkar janji.’

Aku hanya memainkan jari di atas gelas, masih tidak menangis. Andri meninggalkan memori yang mendalam di kepalaku, tapi aku tidak tahu kenapa tidak menangis.

‘Saya pamit Mbak, biar mbak bisa memproses ini semua,’ kata Teman Andri, beranjak pergi ke pintu keluar.

‘Sebentar,’ kataku.

‘Andri pernah bilang gak, dia nyesel meninggalkan saya dulu?’

‘ Enggak, dia bilang dia gak nyesel meninggalkan Mbak. Soalnya, Mbak sekarang bahagia.’ Teman Andri lalu tersenyum. ‘Saya pergi dulu, Mbak.’

*** Aku pulang ke rumah dengan rasa berat di dada, menyetir mobil dengan perlahan. Di jalan pulang aku melihat persimpangan demi persimpangan jalan. Di saat ini, aku tidak bisa melarang pikiranku untuk melamun jauh. Membayangkan semua kemungkinan yang hidup bisa berikan, dengan semua persimpangannya. Aku membayangkan seperti apa hidupku jika menyusul Andri ketika lulus SMK itu? Apa yang terjadi, jika aku tidak menyebrang jalan waktu itu, tidak bertemu suamiku, lalu Andri melihatku masih single di Facebook. Dia mengirimkan message, berisi bahwa dia baru tahu aku orang yang tepat untuknya. Lalu, kami pada akhirnya bersama-sama. Seperti apa hidup kami? Mungkin setiap sore kami melamun berdua di teras studio lukisnya. Seperti apa wajah anak-anak kami, lebih ke siapakah wajah mereka? Apa yang akan kami lakukan hari ini? Selama ini aku merasa aku telah melakukan segalanya, mengambil jalan terbaik dalam hidup. Belajar keras untuk pekerjaan bagus. Selektif memilih laki-laki hingga punya keluarga bahagia. Tapi, hari ini, aku memikirkan: apakah ada hidup yang lebih baik menanti dengan Andri? Hidup seperti apa, di persimpangan yang tidak aku ambil? Lalu aku mulai berandai, apa yang akan Andri bilang jika kami bertemu tadi, dan aku menceritakan semua tentang keraguanku atas pilihan hidupku saat ini, berpikir seandainya, seandainya, seperti biasanya.

Lalu aku pasti tanya jadi apa gunanya pertemuan ini kalau cuma untuk bikin aku overthinking? Dia kan bilang waktu itu kalau pertemuan kita akan ada gunanya. Tapi aku rasa tidak perlu bertemu Andri untuk tahu jawabannya, karena aku kenal dia seperti apa. Aku yakin jika aku bertemu dia tadi, dan bertanya,

‘Jadi untuk apa kita ketemu lagi seperti ini?’ Dia pasti akan jawab,

‘Untuk tahu betapa manisnya sebuah penyesalan.’

Di mobil, aku mengedipkan mata. Terasa air mata yang hangat jatuh setetes, lalu makin lama, makin deras, seperti keran yang dibuka terlalu kencang. Dua puluh satu tahun kemudian, di sela persimpangan-persimpangan jalan yang aku lewati, kok bisa, dia masih mampu membuat aku menangis?