Falling in November



“Apakah ini hidup yang kamu mau? Apakah ini cita-cita yang selama ini kamu inginkan? Inikah passion-mu? Inikah yang disukai hatimu? Coba tanya lagi dirimu. Jangan gegabah untuk mengambil keputusan hanya untuk membahagiakan orang lain, karena nanti kamu yang akan menjalaninya. Setiap hari, setiap minggu, kalau itu tidak membuatmu bahagia untuk menjalaninya lantas apa yang membuatmu bahagia?”

 

***


Bimala menyiapkan peralatan sekolahnya lalu bergegas keluar kamarnya sesaat setelah mendengar suara klakson mobil. “Mala, bawa sarapanmu nih!” teriak mamanya dari dapur. “Ga usah Ma, nanti saja aku beli di kantin,” ucap Bimala yang datang ke dapur untuk mencium tangan mamanya lalu mengeplak kepala adiknya yang sedang sarapan. “Aku duluan ya Jod!” ucapnya sambil tertawa.

 

“Aduh! Sialan!” cetus Jodi, sang adik, sambil mengelus kepalanya. “Bimala!” geleng mama melihat kelakuan putrinya terhadap adiknya itu. Bimala keluar dari rumah dan melompat masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil papanya telah menunggu di belakang kemudi. “Sudah siap?” tanya papa. Bimala mengangguk. Mobil berjalan menuju sekolah.

 

“Ingat, kamu sudah punya target untuk masuk perguruan tinggi negeri, nilai rapormu stabil dan bagus, prestasimu di bidang renang juga bagus, pelatih renangmu kemarin kasih tahu Papa, kalau kamu berada di dalam radar yang kemungkinan mendapatkan beasiswa, jadi pertahankan itu semua ya, Papa bangga sama kamu,” ucap papa mengusap-ngusap kepala Bimala. Bimala tersenyum.

 

“Hari ini ada tes apa sampai kamu minta anterin Papa pagi-pagi ke sekolah?’ tanya papa. “Tes untuk beasiswa kuliah ke luar negeri Pa,” jawab Bimala. “Wah keren banget itu Mala, Papa doain kamu lolos, Papa yakin kamu lolos! Anak Papa itu pintar kok,” kata papa. “Iya, kemarin mama yang kasih tahu info itu, mama ‘kan aktif di grup WA emak-emak di sekolah aku Pa, jadi hanya siswa berprestasi yang bisa ikut tes ini,” terang Bimala. “Bagus itu, jadi saingannya sedikit, hehehe,” kekeh papa.

 

Mobil berhenti di halaman depan sekolah. Bimala mencium tangan papanya lalu turun dari mobil. “Papa jemput lagi atau?” tanya Papa. Bimala menggeleng. “Ga usah Pa, aku pulang bareng Monika nanti.” Papa mengangguk. Bimala berjalan masuk ke sekolah dan melihat Monika telah menunggunya di depan pintu gedung sekolah.

 

Sebuah sekolah dengan gedung yang besar dan halaman luas. Gedungnya bertingkat tiga dengan pohon-pohon besar yang tumbuh meneduhi, terdapat juga dua lapangan basket, laboratorium, perpustakaan dan kantin.

 

“Gimana, lo udah siap tes ini Mala? Gue gugup dan deg-degan banget!” ucap Monika. Bimala tertawa. Mereka berjalan menuju ruangan tes khusus di sebelah ruang guru. “Gue berharap lolos, gue takut kalau ga lolos orang tua gue bakal kecewa, mereka pengen banget gue kuliah di luar negeri,” sambung Monika. “Gue yakin lo lolos Nik, lo pinter kok, kita ‘kan selalu di lima besar terus sejak kelas sepuluh bukan?” kata Bimala menenangkan sahabatnya yang gugup itu. Monika mengangguk-ngangguk.

 

Bel masuk terdengar. Tes itu pun dimulai. Bimala dengan lancar menyelesaikan setiap soal-soal tes itu dan keluar lebih dulu dari kelas di saat teman-teman yang lainnya belum selesai. Ia duduk di luar kelas menunggu Monika. Bel terdengar lagi, barulah Monika keluar kelas bersama teman-temannya yang lain. Wajahnya tampak kusut.

 

“Gila deh lo, lo selalu keluar duluan setiap kita ujian! Gimana sih bisa sepinter lo? Kalau gue, gue ga yakin akan lulus, huh!” kesal Monika. “Emang lo ga belajar semalam?” selidik Bimala. Monika menggeleng. “Gue pergi sama teman-teman, dan kita nongkrong semalaman di Bukit Bintang.” Bimala geleng-geleng, “Ya lo tahu hari ini ada tes, tapi malah main ke bukit.”

 

“Eh tapi di sana gue ketemu sama Ardi,” kata Monika. “Ardi?” Bimala mengerutkan kening. “Halah pake sok mikir … itu loh, Ardi cowok yang lo taksir dari kelas sepuluh itu loh,” goda Monika. Bimala tertawa. “Dia titip salam buat lo, ngelihat dari gelagatnya, kayaknya dia juga suka deh sama lo,” kata Monika. “Ah lo sok tahu!” geleng Bimala lalu berjalan. “Eh beneran Mala,” sahut Monika menyusul Bimala. “Malam ini kita mau ke Bukit Bintang lagi, lo harus ikut, soalnya lo udah lama ga datang kesana Mala,” kata Monika.

 

“Ya karena sekarang kita sudah kelas dua belas Nik, gue ngurangin maen, gue harus belajar buat persiapan masuk PTN,” terang Bimala. “Ayolah, masa belajar mulu sih, teman-teman pada nanyain lo tuh, ikut ya plis,” bujuk Monika, “Ardi juga ada di sana nanti malam.” Bimala menatap wajah temannya yang memonyongkan mulutnya memohon untuk dirinya ikut. Bimala menghela nafas. “Okelah gue ikut.” Dengan senang Monika mengangkat kedua tangannya. “Yeaayy!”

Dua orang pria sedang duduk berhadapan di atas sofa berwarna pastel dengan sebidak papan catur berada di antara mereka. Satu orang pria berambut hitam, berwajah tampan, terlihat jauh lebih muda dari pada pria yang duduk di hadapannya dengan rambut sedikit menipis dan memutih. “Rob, aku sudah memikirkan apa yang kau katakan tentang tujuan nyata dalam hidup itu,” kata pria muda tersebut sambil memindahkan kuda dan memakan salah satu pion lawannya.

 

“Dan?’ tanya Robi sembari menggaruk-garuk rambutnya yang menipis. “Dan aku sudah paham soal tujuanku,” jawab pria muda itu sambil memerhatikan Robi yang memindahkan pionnya yang semakin sedikit di atas bidak catur. “Paham bagaimana?” tanya Robi. “Ini soal cewek Rob,” jawab pria muda itu menggeser bentengnya dengan cepat. “Wah, kamu ga pernah cerita soal ini sebelumnya, siapa dia?” Robi menatap pria muda itu.

 

“Dia teman sekolahku, dia cerdas, cantik, populer … tipikal cewek yang jadi impian semua cowok tapi ga semua cowok bisa memilikinya.”

 

“Kau yakin itu tujuan nyata hidupmu?”

 

Pria muda itu mengangguk. “Jadi kau mau mengajaknya berkenalan?” tanya Robi seraya memundurkan rajanya karena melihat benteng pria muda itu berada di bidak yang sejajar dengan rajanya. “Rob, aku sudah kenal dia, ga perlu kenalan lagi, mungkin dia yang ga kenal aku, karena aku bukan termasuk cowok populer di sekolah,” tawa pria muda itu lalu memakan kuda lawannya menggunakan perdana menterinya. Robi menggaruk rambut tipisnya lagi, ia bingung melihat rajanya mulai terkepung.

 

“Lalu apa rencanamu?”

 

“Sederhana, aku akan menajaknya bersenang-senang.”

 

Robi mengerutkan keningnya. “Bersenang-senang bagaimana maksudnya?” Pria muda itu tersenyum. “Bersenang-senang ga ada maksudnya, bersenang- senang ya bersenang-senang.” Robi lalu memindahkan rajanya. “Jangan terlalu muluk untuk berharap lebih,” kata Robi mengingatkan.

 

Pria muda itu mengangkat perdana menterinya lalu meletakkan di depan raja milik Robi. “Skak mat,” cetusnya. Robi berdecak kesal. Pria muda itu lalu berdiri dari duduknya. “Aku tahu Rob, aku tidak suka yang muluk-muluk … senang bermain catur denganmu,” ucap pria muda itu bersiap pergi. “Minggu depan bagaimana?” tanya Robi.

 

“Rob, aku belum tahu, tapi kau tahu, sekarang aku siap menghadapi dunia dengan caraku,” ujar pria muda itu memakai jaket jeans birunya yang sobek di di kerahnya. “Jendra, kau tahu kau harus datang---”

 

“Rob, jangan khawatir … tidak ada yang tidak bisa aku atasi bukan?” kata pria muda bernama Jendra itu lalu melambaikan tangannya pada Robi dan menghilang keluar ruangan. Robi menghela nafas dan menggeleng pelan.

 

***

 

Bukit Bintang adalah sebuah bukit yang banyak dikunjungi muda – mudi untuk menghabiskan malam sambil menikmati lampu-lampu kota. Lokasinya berada di atas sebuah bukit dengan udara yang dingin. Suasananya ramai dengan banyak anak-anak muda yang bercanda dan tertawa. Terdengar juga suara musik yang dinyalakan dari salah satu audio mobil menambah semarak suasana. Sebagai penerangan, mereka menyalakan api unggun di tempat-tempat yang telah disediakan.

 

Monika dan Bimala datang saat teman-teman mereka telah berkumpul. “Hey Bimala! Kemana aja lo!” seru mereka senang saat melihat kemunculan Bimala. Mereka saling berpelukan. Saat itulah Bimala melihat Ardi yang tengah tersenyum memerhatikannya. Ardi pun mendatanginya. “Hai,” sapa Ardi. “Hai juga,” balas Bimala, “Ardi ya?”

 

“Ya,” angguk Ardi, “dan lo Bimala ‘kan? Yang cantik dan pintar di segala hal.” Bimala tersipu dipuji seperti itu. “Ga di segala hal, ada juga hal-hal yang gue ga pintar,” kilah Bimala. Ardi tersenyum. “Contohnya?”

 

“Memasak, gue ga pintar,” jawab Bimala. “Tapi kalau lo belajar lo pasti bisa,” ujar Ardi. Bimala mengangguk-ngangguk. “Ya betul juga itu.” Ardi tertawa.

 

Di kejauhan, Jendra melihat keramaian di Bukit Bintang itu. Ia duduk sendiri terpisah di tebing bukit di seberang Bukit Bintang. Di sini suasananya sepi dan tanpa lampu. Ia bisa mendengar keramaian di sebelah sana dengan gema yang memantul serta cahaya api unggun yang bergoyang-goyang. Mobil-mobil yang terpakir berderet-deret. Anak-anak muda yang tertawa. Jendra mendesah, ia merasa tidak menjadi bagian dari apa pun yang berada di sana meski di sana kebanyakan adalah teman-teman satu sekolahnya.

 

“Oya, Monik sudah menyampaikan salam lo, makasih ya,” kata Bimala. Ardi mengangguk. “Senang gue bisa ketemu lo di sini, bisa ngobrol sama lo, karena di sekolah lo kelihatan sibuk banget,” kata Ardi. Bimala tertawa. “Ya nanti ga dibikin sibuk-sibuk banget deh.” Ardi tersenyum.

 

Sebuah tetes air jatuh menimpa hidung Bimala yang mancung. “Hujan?” Ardi melihat ke langit yang mulai menurunkan tetes-tetes air berikutnya. “Ya, memasuki November, biasanya musim hujan sudah datang,” kata Bimala. “Ayo kita pergi dari sini!” ajak Ardi seraya memegang jemari Bimala. Bimala tersenyum senang.

 

Jendra memejamkan matanya setelah melihat di seberang sana api ungggun dimatikan, orang-orang berlarian ke dalam mobil lalu pergi meninggalkan Bukit Bintang setelah hujan mulai turun. Ia membiarkan tetes air hujan itu menyentuh wajahnya. Setelah itu ia menaikki motornya yang berwarna merah dan pergi dari situ sebelum hujan menjadi deras. Suara teriakannya menikmati hujan yang turun terdengar bergema di perbukitan seiring roda motor berputar di jalanan aspal menurun yang berliku.

“Bimala, gimana tes beasiswamu ke luar negeri?” tanya mama saat mereka sedang sarapan pagi itu. “Belum ada kabar Ma, doain aja ya,” jawab Bimala. “Mama akan bangga sekali kalau kamu kuliah di luar negeri, bayangkan, apa kata keluarga besar kita, kalau anak mama kuliah di New York?” kata mama sambil membayangkan. “Awas Ma keselek, lagi makan jangan menghayal,” celetuk Jodi. Bimala tertawa.

 

“Mala, sore ini, kamu harus melatih renangmu lagi, pelatihmu sudah mengingatkan, untuk masuk beasiswa lewat jalur prestasi maka kamu harus ada di sepuluh besar, beberapa minggu di depan ada pertandingan renang, itu kesempatanmu untuk naikkin peringkat,” kata papa. “Iya Pa,” jawab Bimala. “Ayo kita berangkat ke sekolah sekarang,” kata papa. Bimala mengangguk.

 

***

 

“Baiklah, ini tugas lab akhir kalian yang akan menentukan nilai kalian di rapor dan penilaian untuk masuk PTN. Tugas ini akan dilakukan berpartner dari penempatan kelas lain. Bapak akan menyebutkan partner kalian masing-masing …. dengarkan,” ucap Pak Bambang, guru kimia, di ruang laboratorium lalu menyebutkan nama murid-murid dan partnernya. Hingga sampai di nama Bimala. “Bimala Putri berpartner dengan Jendra Satrianta,” kata Pak Bambang.

 

Bimala melihat sekeliling kelas, Jendra tidak tampak di situ. Bimala menghampiri Pak Bambang lalu memohon, “Pak, tolong, jangan pasangkan saya dengan Jendra, dia jarang masuk sekolah dan ---"

 

“Dan apa Bimala?” tanya Jendra yang tiba-tiba muncul di belakangnya. “Lah itu si Jendra,” tunjuk Pak Bambang. Bimala berdecak kesal lalu menuju meja diikuti Jendra. “Ok, sebelum kita berpartner untuk tugas lab akhir ini, gue mau kita bikin komitmen dulu,” kata Bimala. “Wow, gue belum nembak lo loh tapi udah disuruh bikin komitmen,” kaget Jendra seraya memegang dadanya. Bimala melotot. “Gue ga becanda! Dan lo bukan siapa-siapa gue.”

 

“Ok, ok … komitmen apa?” tanya Jendra. “Gue tahu lo jarang masuk sekolah, tapi saat kita sedang mengerjakan proyek ini, gue harap lo datang ke sekolah, di luar itu, gue ga peduli,” terang Bimala. Jendra manggut-manggut. “Dengar, lo bukan orang yang menyebalkan ‘kan? Kayaknya lo harus sedikit santai deh Mala,” kata Jendra.

 

“Santai? Yang jelas gue harus mengerjakan tugas akhir ini.”

 

“Kenapa?”

 

“Karena lo harus dapat nilai bagus di tugas akhir ini untuk menjaga nilai rapor lo tetap bagus, itu kalau lo mau dapet kredit penempatan kuliah di negeri, tidakkah lo tahu itu?” jelas Bimala lalu geleng-geleng. “Lalu lo akan menjadi orang terpintar lagi di sekolah ya?” sahut Jendra.

 

Bimala menghela nafas. “Supaya gue bisa kuliah di negeri dengan beasiswa dan gue bisa fokus ke hal-hal lain lagi setelah tugas ini selesai. Udah, sekarang kita kerjain. Kita harus masukkin natrium triosulfat ini ke dalam tabung ini.” Bimala mengambil tabung lalu menyendok bubuk kristal di meja labnya. “Menjaga nilai-nilai tetap bagus dan masuk kuliah negeri ya?” tanya Jendra mengulang kalimat Bimala.

 

“Ya, itu akan membantu kalau nanti lo akan mencari pekerjaan.”

 

“Pekerjaan? Wow …”

 

Bimala menatap pria itu kesal. “Jendra, bisakah kita kerjain tugas ini? Gue lagi mencoba fokus nih.” Jendra tertawa. “Ok, ayo kita kerjakan, tapi lo tahu ga, gue lebih suka bikin mesin waktu dari pada nyampurin bahan-bahan kimia gini, buat ngebawa lo ke masa depan, supaya lo lihat, lo ga perlu setakut itu dengan masa depan.” Bimala hanya melirik Jendra sebal.

 

Selesai jam pelajaran, Bimala langsung menemui guru kimianya di depan kelas. Jendra memerhatikannya dengan santai dari meja. “Pak, sudah saya bilang saya jangan dipasangkan dengan Jendra, dia sama saya ga cocok di tugas ini,” kata Bimala. “Masa? Setahu Bapak, dia cukup bagus di pelajaran kimia,” kilah Pak Bambang. “Tapi dia banyak omong,” bisik Bimala. Pak Bambang tertawa. “Dia memang begitu Mala, tapi anaknya cukup pintar, coba jalani saja dulu ok?” Bimala mendecak, ia tahu tak bisa merubah keputusan gurunya, ia pun meninggalkan meja gurunya.

 

Jendra juga bergegas mendatangi meja gurunya. “Pak, saya juga ada keluhan tentang Bimala Putri, dia aneh dan tukang ngatur,” kata Jendra. Bimala yang belum keluar dari ruang lab mendengarnya dan itu membuatnya terkejut. Apa?! Batin Bimala tak terima dikatakan begitu. Pak Bambang menatap Jendra. “Trus maumu gimana?” Jendra nyengir. “Tapi saya suka dia Pak, jadi jangan diganti pasangannya ya.” Pak Bambang geleng-geleng. Tapi saat Jendra mengatakan itu Bimala tidak mendengarnya karena ia telah keluar dari ruang lab.

 

Jendra melangkah keluar ruang lab dan melihat Bimala telah menunggunya dengan wajah marah. Jendra tersenyum tapi Bimala tidak, ia sudah menyiapkan energinya untuk menyemprot cowok satu ini.

 

“Apa maksud lo dengan mengatakan itu tadi?” cetus Bimala marah di hadapan Jendra. “Tidak ada maksud apa-apa, hanya mengatakan saja,” jawab Jendra santai. “Lo pikir lo siapa berani-beraninya ngomong gitu?” geram Bimala. Jendra menatap mata Bimala. “Gue pikir, gue bukan siapa-siapa seperti kata lo, tapi kenapa itu mengganggu lo?” Jendra lalu berjalan pergi. Bimala mengepalkan kedua tangannya kesal. “Arrrghh!”

 

Ardi melihat Bimala tengah berjalan melintas di halaman sekolah. “Hey Mala,” panggilnya. Bimala menoleh, “Hey juga Di.” Mereka berjalan bersama. “Kita pulang bareng ‘kan hari ini?” tanya Ardi. Bimala mengangguk. “Jadi gimana persiapan lo untuk kompetisi renang nanti?” tanya Ardi berjalan di sebelah Bimala. Bimala menghela nafas. “Gue hanya takut ngecewain papa, kalau gue kalah dan turun peringkat.”

 

“Kalau gitu lo harus berlatih lebih giat lagi Mala,” kata Ardi. Mereka sampai di tempat parkir mobil. Sebelum naik mobil, Bimala melihat Jendra di parkiran motor seberangnya. Pria itu tengah menyalakan motornya yang tak menyala-nyala. Jendra sadar tengah diperhatikan Bimala. “Tenang, ntar juga ni motor nyala kok, sudah pulang duluan sana,” teriak Jendra pada Bimala lalu mengedipkan matanya menggoda. Bimala geleng-geleng. “Itu Si Jendra ‘kan? Kamu kenal?” celetuk Ardi seraya membuka pintu mobilnya.

 

“Awalnya engga, karena dia partner di tugas lab gue, jadi kenal,” jawab Bimala. “Ayolah nyala dong, nyala, jangan di depan mereka lu mogok, malu tau,” bisik Jendra pada motor tua merahnya. Motor pun menyala. “Ah akhirnya!” ucap Jendra lalu membunyikan klakson, Bimala menoleh. “Dadah Bimala … sampai ketemu besok di lab ya,” teriak Jendra melambaikan tangannya. Bimala jadi tersenyum geli melihatnya.

 

“Mala, Sabtu kamu ke Bukit Bintang ga?” tanya Ardi. “Belum tahu, lo?” Bimala bertanya balik. “Kalau lo kesana, gue juga kesana, kabarin aja,” jawab Ardi. Bimala tersenyum dan mengangguk.

 

***

 

Jendra memerhatikan Bimala yang sedang mencatat di buku di ruang lab. “Mala, kamu lupa ya?” bisik Jendra. “Lupa apa?” sahut Bimala. “Kalau dulu, kita itu teman satu sekolah dasar, dan waktu ada pementasan drama lo jadi Nyai Roro Kidul,” kata Jendra. Bimala mengerutkan keningnya. “Hah, seumur-umur gue ga pernah jadi Nyai Roro Kidul ah,” geleng Bimala. Jendra tertawa. “Iya lo betul, gue ngarang …” Bimala melirik pada Jendra lalu geleng-geleng.

 

“Bukan jadi Nyai Roro Kidul tapi jadi putri raja,” lanjut Jendra. “Kalau itu iya, kenapa emang?” tanya Bimala sambil terus menulis dan melakukan percobaan kimia. “Waktu lo jadi putri raja, gue jadi rakyatnya, gue yang pake iketan kepala warna kuning,” terang Jendra dan membantu menuangkan cairan kimia ke dalam botol.

 

Bimala mencoba mengingat lalu menggeleng. “Gue ga inget itu.” Jendra mendesah. “Tentu saja lo ga inget, putri raja ga akan inget sama rakyat kecil.” Bimala menghela nafas. “Ya maaf, trus gue harus bersedih untuk itu?” Jendra nyengir. “Ga usah, ga ada yang bersedih buat gue, udah biasa … apalagi hari ini lo harusnya bahagia karena daftar nama murid yang masuk peringkat untuk masuk universitas negeri sudah keluar, ada nama lo di situ.”

 

“Itu belum final, harus dilihat dari nilai rapor dan prestasi lagi,” kata Bimala.

 

“Renang, untuk prestasi, wah lo betul-betul bekerja keras untuk itu.”

 

“Yah begitulah … trus kalau lo, daftar ke mana?” Bimala menghentikan menulis dan menatap Jendra. “Nggak kemana-mana,” jawab Jendra membalas tatapan gadis itu. Bimala terkejut. “Lo ga akan kuliah?” Jendra mengangguk sambil meneteskan cairan kimia dengan pipet.

 

“Trus setelah lulus sekolah apa yang mau lo lakukan?” tanya Bimala. Jendra tersenyum. “Menikmati hidup,” jawabnya. “Sesederhana itu? Trus kalau lo ga akan kuliah, ngapain lo ambil tugas akhir ini?” heran Bimala.

 

“Ga kuliah bukan berarti nilai rapor gue harus jelek,” jawab Jendra. Bimala manggut-manggut. Jendra lalu menatap dalam-dalam pada Bimala yang telah kembali menulis lagi.

 

“Lo tahu ‘kan Mala, kalau cowok yang namanya Jendra itu kacau?” kata Monika saat mereka tengah berada di dalam mobil menuju Bukit Bintang. “Gue ga tahu definisi kacau buat lo Nik, yang gue tahu Jendra itu hanya jarang masuk sekolah entah dia ngapain dan entah kenapa pihak sekolah ga negur dia … gue barusan cerita kalau dia setelah lulus itu ga akan kuliah, ga akan kemana-mana … aneh ga sih buat lo, ada anak muda ga punya mimpi atau keinginan?” ungkap Bimala.

 

“Engga buat Jendra … lo inget ‘kan waktu kelas sebelas dia pernah mukulin kakak kelasnya sampe dia diskors sebulan dan kakak kelas Bimalawat di rumah sakit seminggu?” beber Monika yang mengendarai mobil. “Dia dibully Nik,” sahut Bimala. “Helooow, tapi ga sampai bikin orang masuk rumah sakit juga kale,” balas Monika, “udah ah, jangan bahas si Jendra tuh lihat pangeran lo udah nungguin.”

 

Bimala melihat Ardi tengah berdiri di tempat parkir Bukit Bintang dengan tawa lebar. Bimala tersenyum lalu turun dari mobil yang telah terparkir. “Halo Di, nih kesayangan lo udah gue anter dengan selamat,” canda Monika lalu pergi menuju teman-teman lainnya. Ardi tertawa. “Udah lama nunggu di sini? Kenapa ga duduk di api unggun aja? Ntar juga gue kesitu,” kata Bimala.

 

“Gue mau nunjukkin spot bagus yang jauh dari keramaian Mala, ayo ikut gue,” ajak Ardi. Bimala mengikuti. Mereka melewati tempat parkir lalu berjalan sedikit untuk naik ke sebuah lahan kecil terbuka tepat di tepi bukit. Ada sebuah lampu bohlam kecil sebagai penerangan tergantung di situ. Di bawah sana tampak lampu-lampu kota bergemerlapan bagaikan tumpukan berlian yang berkilauan.

 

“Wah, lo bener Di, di sini cakep banget view-nya!” kaget Bimala. Ia lalu duduk di sebuah batang pohon mati menikmati pemandangan garis kota. Ardi duduk di sampingnya.

 

“Lo tahu dari mana spot ini?” tanya Bimala. “Tadi sebelum lo dateng, gue keliling dulu sekitaran sini eh ketemu spot ini,” cengir Ardi, “kata pemilik warung, tempat ini jarang dipake nongkrong karena kecil.” Bimala menarik dan menghela nafasnya. “Enak ya buat rileks dari kesibukan di sekolah,” senyum Ardi. Bimala mengangguk.

 

“Di, setelah nanti lulus kuliah, lo mau ngapain?” tanya Bimala. “Gue mau bikin label musik sendiri,” jawab Ardi. “Wah pria dengan impian yang besar,” tawa Bimala. “Harus dong, kalau lo sendiri setelah kuliah mau ngapain?” tanya Ardi. Ia menatap lekat wajah Bimala. Hatinya dipenuhi rasa.

 

“Gue membayangkan diri gue bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta, ya, bekerja di kota besar, kenapa enggak iya kan?” ucap Bimala. “Tentu saja Mala,” angguk Ardi. “Meski kita dari daerah, dari kota kecil, kenapa ga berani bermimpi besar dan melakukan sesuatu yang baru?” kata Bimala lagi.

 

Ardi tiba-tiba menggenggam jemari Bimala membuat Bimala terkejut. “Mala, gue suka sama lo, gue harap lo mau nerima rasa gue ini karena kalau engga gue akan menjadi pria paling patah hati sedunia,” ucapnya. Bimala diam karena bingung akan mengatakan apa. Ardi menatap mata Bimala, berkata, “Lo ga usah ngomong apa-apa. Gue tahu lo udah suka gue dari kelas sepuluh, sori kalau gue baru menyadari sekarang dan membuat lo nunggu selama itu.”

 

“Lo tahu dari mana itu?” heran Bimala. “Monika,” jawab Ardi. “Ya dalam hati gue juga udah nebak nama itu, mulut cewek satu itu memang sebelas dua belas sama ember,” geleng Bimala. Ardi tertawa lalu menarik Bimala ke dalam pelukannya. Bimala terkejut lagi, alih-alih kembali memeluk Ardi, ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.

 

Dari bukit seberang, Jendra yang duduk di atas motornya melihat dua insan itu. Bola matanya bergetar-getar. Dadanya bergemuruh seperti genderang yang mau perang. Ia pun menyalakan motornya lalu melaju pergi dari situ dengan cepat.

 

***

 

“Jendra! Hey Jendra!” panggil Bimala. Jendra tidak menanggapi, ia terus berjalan menuju motornya di lapangan parkir sekolah. “Jendra! Besok tugas lab harus dikumpulin dan gue butuh penyelesaian akhir dari lo, itu bagian lo!” cetus Bimala. Jendra duduk di atas motornya lalu menyelempangkan tas coklatnya di bahu. “Ah iya, tugas lab … tapi yang lebih penting adalah, gimana sama pacar baru lo? Ardi Bowo?” tanya Jendra sinis dan menatap Bimala. “Pacar? Dia bukan pacar, kita cuma temenan,” geleng Bimala.

 

“Temenan tapi di tempat sepi, berdua, lo nyender di bahu dia, wow Bimala, lo adalah perempuan terpintar di sekolah ini tapi lo ga tahu kalau hal itu artinya berpacaran??”

 

 “Lo ada di bukit juga ya? Di sebelah mana?” selidik Bimala. “Ga, gue ada di Bukit Bintang.” Jendra lalu menyalakan motornya. “Kalau ga ada, gimana lo bisa tahu?” heran Bimala. “Karena setiap muda-mudi di kota ini, healing-nya kesana,” jelas Jendra. Bimala mendengus tak percaya. “Udah deh, sekarang gimana sama tugas lab-nya?” Jendra mengenakan helm lalu menyerahkan satu helm pada Bimala. “Naik,” ucapnya menunjuk pada boncengan motor.

 

Bimala menggeleng tak mau dan tetap berdiri di titiknya. “Ya sudah, kalau ga mau naik, tugas itu bukannya kata lo, penting ya buat penempatan beasiswa lo dan nilai rapor lo?” tanya Jendra sambil menjalankan motornya. Bimala berdecak kesal sembari menghentakkan kakinya. “Sial!” umpatnya. Motor Jendra sudah berada di depan. “Jendra tunggu!” teriak Bimala lalu berlari menyusul.

 

Beberapa saat kemudian.

 

Jendra tersenyum sambil mengendarai motornya sedang Bimala duduk di boncengan mengenakan helm dengan wajah cemberut. Motor itu berjalan di jalanan kota. “Jadi lo mau ngerjain tugas di mana? Lo mau bawa gue kemana ini?” tanya Bimala. “Tenang, gue ga tertarik buat menculik lo, sekarang adalah saatnya lo rileks,” jawab Jendra. “Jendra, gue kalau mau rileks ke Bukit Bintang,” kata Bimala. “Rileks dan menantang, itu yang lo ga dapet di sana,” sahut Jendra. “Rileks apanya? Menantang apanya? Kita cuma muter-muter di jalanan doang,” cibir Bimala.

 

“Bilang belok sekarang,” kata Jendra. “Maksud lo?” bingung Bimala. “Bilang belok!” sentak Jendra. “Belok!” seru Bimala. Jendra pun membelokkan motornya dengan cepat hingga membuat Bimala nyaris jatuh dari boncengan sampai harus memeluk pinggang Jendra. Motor masuk ke dalam parkiran sebuah gedung perkantoran kemudian diparkir di situ.

 

“Mau ngapain di sini?” bingung Bimala. Jendra turun dari motor melepas helmnya dan helm Bimala. “Ayo ikut gue,” ajak Jendra berjalan menuju lobi gedung. “Jendra, ini kantor kita bisa diusir dari sini!” bisik Bimala cemas. “Tenang sih Mala, lihat, ini hari Sabtu, kita ga pake kantorseragam, ga ada yang tahu kita masih sekolah kalau lo ga panik, ayo,” sahut Jendra.

 

Jendra masuk ke dalam lobi dengan santainya sambil melambaikan tangan dan menyapa pada dua sekuriti yang sedang berjaga. “Apa kabar Bro, ada kerjaan gue yang ketinggalan,” kata Jendra diikuti Bimala yang berjalan sedikit menunduk dan takut-takut. Dua sekuriti itu menatap Jendra mengangguk tapi sambil mengerutkan dahi.

 

Jendra memencet tombol naik lift. “Udah gila lo, ini kantor tahu!” bisik Bimala. “Lo harus rileks Mala … lagi pula yang milih gedung ini ‘kan lo,” cengir Jendra. “Hah? Tapi lo yang nyuruh gue belok!” kesal Bimala. Pintu lift terbuka, Jendra masuk dan mau tak mau Bimala pun mengikutinya. Dua orang pegawai kantoran ikut masuk bersama mereka. Lift bergerak naik.

 

“Bagaimana dengan cek tiga ratus juta itu, sudah kamu cairkan Sayang?” celetuk Jendra pada Bimala. Wajah Bimala terkejut. Mulutnya menganga. Apa maksudnya ih? Batin Bimala. “Jangan melongo begitu Sayang, perempuan itu selalu pura-pura kaget kalau mendengar nominal besar uang padahal mereka suka,” bisik Jendra pada dua pegawai kantor di depannya. Para pegawai kantor itu tersenyum.

 

Bimala melotot pada Jendra. Pintu lift terbuka. Mereka keluar dari lift. “Apa-apaan sih tadi Jendra? Ga lucu tahu!” sebal Bimala. “Udah jangan marah, lihat,” tunjuk Jendra pada sebuah lobi di lantai dua. “Kok lo tahu kalau di lantai dua ini ada lobi?” heran Bimala. “Engga tahu, untung-untungan, kalau ga ada ya turun lagi,” cengir Jendra. Bimala geleng-geleng.

 

“Ayo, katanya mau ngerjain tugas,” sahut Jendra yang memilih duduk di sofa empuk dekat jendela. “Lo yakin di sini ngerjainnya? Emang ga apa-apa?” ragu Bimala celingukkan sambil duduk di sofa sebelah Jendra.

 

“Ga yakin sih, tapi itu yang menantangnya,” jawab Jendra santai sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tas selempangnya. Bimala membelalakkan matanya melihat Jendra membuka bungkusan itu. “Hah, lo mau makan nasi uduk di sini?” kaget Bimala.

 

“Ini sarapan tadi pagi yang belum sempet gue makan Mala, lo mau?” tawar Jendra. Dengan cepat Bimala menggeleng. Jendra menyuap nasi uduk itu ke dalam mulutnya. “Jendra, sebaiknya kita kembali ke sekolah,” ucap Bimala. “Dan mengerjakan tugas seperti umumnya anak sekolahan? Di mana menanantangnya?” sahut Jendra dengan mulut penuh nasi uduk dan telur. Bimala berdecak kesal mengeluarkan bukunya. “Ok … jadi apa penyelesaian lo untuk tugas lab----”

 

“Apakah lo akan bekerja di tempat seperti ini nantinya?” Jendra melihat-lihat sekelilingnya dengan mengunyah. “Lebih besar dari kantor ini, iya,” kata Bimala. “Gue suka gaya lo Mala, cewek dengan mimpi besar, keinginan besar, semua harus serba sempurna dan besar,” angguk-angguk Jendra. “Lo ada masalah dengan itu?” tanya Bimala dengan nada sedikit tinggi.

 

Jendra tertawa. “Tenang … gue tidak sedang menghakimi lo, tapi nasi uduk ini benar-benar enak banget.” Bimala menghela nafas, ia merasa laki-laki satu ini menyebalkan sekali. “Lo ga bisa seenaknya menduga-duga orang kayak apa dan lo ga bisa membaca pikiran gue,” tukas Bimala.

 

“Oh itu karena gue ga berusaha keras, sebentar,” ucap Jendra menyelesaikan makannya lalu mengambil botol minumnya dari tas dan setelah meneguknya ia meletakkan tangannya di atas kepala Bimala begitu saja. “Apa yang lo lakukan?” kaget Bimala. “Diam, gue mencoba membaca pikiran lo,” bisik Jendra memejamkan mata.

 

Bimala membiarkan tangan itu tetap di atas kepalanya. Ia jadi penasaran. “Lo ingin kuliah tapi tidak di situ, orang tua lo yang ingin kuliah di tempat itu, tapi karena mereka tidak diterima, mereka membuat lo untuk melakukannya, setiap malam sejak lo kecil mereka mengatakan kalau tempat itu bagus, hingga akhirnya lo mengikutinya. Bimala Putri, murid pintar, popular dan selalu ingin jadi yang terbaik, meski tidak berarti harus berlatih renang setiap waktu,” cerocos Jendra.

 

Kalimat-kalimat itu membuat Bimala terdiam. “Nah sekarang gimana menurut lo ramalan gue tadi setelah membaca otak lo?” tanya Jendra menarik tangannya. Bimala diam sebentar lalu menjawab, “Lumayanlah.” Bimala lalu menyendok nasi uduk dan mencicipinya. Jendra memerhatikannya. “Ya lo betul, nasi uduknya enak,” ucapnya. Jendra tersenyum, ia tahu apa yang dikatakannya mengena pada gadis itu.

 

Seorang sekuriti datang menghampiri mereka. “Ada yang bisa dibantu? Kalian mau bertemu siapa di sini dan dilarang makan di lobi,” katanya tegas. “Oh Sayang, akhirnya sekuriti datang juga setelah kita menunggu dari tadi dan kelaparan,” ujar Jendra berakting. Sekuriti itu mengerutkan kening. Bimala yang canggung jadi mengikuti permainan Jendra.

 

“Ya betul, kami menunggu lama di sini, tapi sudah terlambat, kami sudah kenyang dan kami akan mencari ruangan kantor lain untuk kami sewa, bukan begitu Sayang?” tanya Bimala pada Jendra. Jendra mengangguk sambil merapikan sampah bekas nasi uduk dan membuangnya di tempat sampah. “Ayo kita pergi Sayang,” ajak Jendra. Mereka berdua berjalan menuju lift dikawal sekuriti itu.

 

“Ok, tidak usah dikawal sampai lobi, kami tahu pintu keluar, terima kasih,” ucap Jendra pada sekuriti itu lalu mereka berdua masuk ke dalam lift. Setelah pintu lift tertutup mereka berdua tertawa.

 

Di atas motor dalam perjalanan pulang, Bimala masih tak menyangka ia memiliki keberanian bermain drama seperti itu. “Sepertinya lo sudah sering melakukan hal tadi ya?” tanya Bimala. “Sering sih engga, hanya kalau lagi butuh tantangan saja, ga gedung perkantoran aja, hotel juga, menikmati lobinya atau toiletnya,” sahut Jendra. “Lo gila ya Jendra,” geleng-geleng Bimala. “Gimana, sudah rileks dan menantang belum?” tanya Jendra. Bimala tertawa.

 

“Sekarang gue mau nebak, gue ga perlu baca pikiran kayak lo, kalau lo itu ga mau kuliah karena lo ga mau ninggalin kota ini, karena lo anak satu-satunya dan orang tua lo juga ga mau lo meninggalkan mereka, betul?’

 

Jendra tertawa. “Sebetulnya, gue itu lima bersaudara, gue mau kok ninggalin kota ini dan gue yakin orang tua gue juga ga keberatan kalau gue pergi.” Bimala nyengir. “Oh ternyata gue salah.” Jendra tersenyum dan sesekali menatap gadis yang berada di boncengannya lewat kaca spion. Menikmati setiap lekuk wajahnya. Tatap matanya yang lembut, senyumnya yang manis. Seperti sore yang teduh di ambang senja. Tiba-tiba hujan turun begitu saja mengejutkan Jendra dan Bimala.

 

“Jendra, ke pinggir dulu hujan!” teriak Bimala. Jendra bergegas mencari tempat berteduh di pinggir jalan. Mereka meminggirkan motor lalu ikut berteduh dengan pengendara motor lainnya di depan sebuah toko. Jendra melihat wajah Bimala yang basah oleh hujan. “Sori, lo jadi keujanan,” ucap Jendra. “Ga apa-apa Jendra,” cengir Bimala. Jendra tersenyum lalu menyerahkan selembar kertas pada Bimala.

 

Bimala membuka kertas itu. “Ya ampun Jendra, ternyata lo sudah bikin penyelesaian tugas lab? Trus kenapa tadi kita buang-buang waktu kesana sih!” Gemas dan sebal bercampur di hati Bimala. “Kalau ga gitu, lo ga bisa ngerasain yang namanya rileks dan tantangan bukan?” tawa Jendra. Bimala menggebuk bahu Jendra. “Lo tinggal salin, so gimana, gue partner yang bagus ‘kan?” Jendra mengangkat-ngangkat kedua alisnya. Bimala mencibir gemas, dalam hatinya berbisik, cowok ini unik juga ternyata.

 

Sebuah pesan WA masuk ke telepon Bimala. Bimala membacanya dan terkejut. Itu WA dari papa mengingatkan untuk latihan renang dua jam lagi. Bimala jadi tak tenang. Ia melihat pada Jendra yang sedang melihat air hujan lalu mengetik di telepon genggamnnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan toko tersebut. Kacanya membuka dan tampak Ardi di dalamnya. Jendra melirik pada Bimala.

 

“Ayo Mala, pulang!” ajak Ardi. Bimala menatap Jendra. “Jendra sori, gue harus pulang duluan, gue---” Jendra tersenyum. “Iya ga apa-apa Mala, lo duluan aja, daripada kehujanan.” Bimala mengangguk, melambaikan tangannya lalu bergegas masuk ke dalam mobil meninggalkan Jendra. Jendra mencoba membesarkan hatinya meski sesak. Mobil itu pun pergi, meninggalkan Jendra yang menatap kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di aspal jalan di bulan November.

 

Bimala mencari-cari Jendra di sekolah tapi tak ditemukannya. Ia menghubungi Jendra lewat telepon genggamnya. “Siapa ini?” tanya Jendra. “Lo ga save nomor gue, padahal kita partner di tugas lab!” kesal Bimala. Jendra tertawa. “Sori, gue becanda, gue save kok nomor lo.” Bimala berdecak sebal. “Lo ga masuk hari ini? Gue cari-cari lo Jendra, ‘kan gue udah bilang, kalau ada tugas lab lo harus masuk, di luar itu lo mau masuk mau engga, gue ga peduli!”

 

“Itu ‘kan aturan lo, bukan aturan gue,” sahut Jendra santai. “Emang lo kemana sih?” heran Bimala. “Kemana gue itu bukan urusan lo, tapi kenapa lo nelpon gue, gue tahu,” tawa Jendra. “Berarti ini udah lo rencanain ya? Lo sengaja bikin penyelesaian tugas lab kemarin salah, lo tahu kalau tugas kita harus direvisi lagi, Jendra lo bikin nilai gue terancam!” geram Bimala.

 

“Kalau gue bikin betul, kita ga bisa barengan lagi dong,” kekeh Jendra. “Besok, lo datang ke sekolah, bawa bagian penyelesaian tugas lo dengan benar!” tegas Bimala. “Ga, dengan catatatan lo mau nemenin gue dulu ke bengkel,” kata Jendra. Bimala mendesah sebal. “Jendra, jangan maen-maen dong, gue butuh nilai ini.”

 

Jendra tertawa. “Setelah dari bengkel, gue akan bikin penyelesaian tugas labnya dengan benar.” Bimala mengepalkan tangan dan menunjukkan wajah menahan geram tanpa suara. “Gimana?” tanya Jendra di ujung telepon. “Emang kenapa harus sama gue sih ke bengkelnya?” heran Bimala. “Sekalian ngerjain tugas lab di situ,” jelas Jendra.

 

“Kalau bohong awas lo ya Jendra,” ancam Bimala. Jendra tertawa.

 

***

Sore itu Jendra dan Bimala datang ke bengkel berukuran luas. Sebuah bengkel khusus motor antik dan jadul. Bimala terkesima melihat koleksi motor yang ada di situ dan motor-motor yang sedang diperbaiki. “Ini semua motor-motor lama ya Jendra,” ucap Bimala. Jendra mengangguk, “Yap, karena ini satu-satunya bengkel di kota ini yang bisa bikin motor jadul bisa jalan lagi.”

 

“Ayo gue kenalin sama Bang Montir, beliau jagonya soal motor antik,” kata Jendra. “Montir?” Bimala mengerutkan kening. “Ya, sesuai KTP, kaget ya? Namanya sudah pas sama bidang yang dipilihnya, itulah yang disebut passion sejati,” cengir Jendra. Jendra mengenalkan Bimala pada Montir.

 

“Wah baru kali ini si Jendra bawa temen cewek, biasanya berdua doang sama si Merah,” tawa Montir setelah bersalaman dengan Bimala. Bimala tahu merah itu adalah motor yang selalu dipakai Jendra. “Dia kesini mau ngerjain tugas sekolah sama gue Bang, sambil si Merah diservis,” cengir Jendra. “Aneh-aneh aja lo Jendra, ngerjain tugas sekolah di bengkel,” geleng-geleng Montir, “si Merah kenapa?”

 

“Susah dinyalain Bang,” kata Jendra. “Oh gampang, ya udah lo duduk aja sama pacar lo itu gih, ngerjain tugas, biar gue ngerjain si Merah sekalian gue cek mesinnya,” sahut Montir lalu memeriksa motor Jendra.

 

Bimala terkejut. “Pacar? Saya bukan pacar dia Bang.” Montir menatap Bimala lalu Jendra dan tertawa. Jendra juga tertawa. “Kenapa pada ketawa?” bingung Bimala. “Ntar juga situ demen sama si Jendra,” tawa Montir. Bimala mengerutkan kening lalu menatap Jendra. “Udah, ga usah dipikirin omongan Bang Montir, suka ngelantur dia mah kalau belum ganti oli,” kata Jendra sambil mengajak Bimala duduk.

 

Mereka duduk tak jauh dari motor Jendra yang sedang diservis. “Mala, apakah lo akan benar-benar membangun hubungan dengan cowok hebat seperti Ardi dengan kebohongan?” celetuk Jendra.

 

“Maksud lo?”

 

“Kenapa lo ga bilang aja yang sebenarnya? Kalau lo banyak menghabiskan waktu dengan partner lab lo dibanding sama dia.”

 

Bimala menghela nafas. “Antara gue dan Ardi bukan urusan lo.” Jendra manggut-manggut. Montir berteriak dari depan mereka. “Hey pacarnya Jendra, tolong ambilin kotak perkakas di lemari sebelah lo itu dan bawain kesini ya.” Bimala mendelik pada Jendra. “Udah iyain aja kalau lo itu pacar gue … soal jadi apa engga soal nanti …” cengir Jendra. Bimala mengambilkan kotak perkakas itu dan membawakannya untuk Montir.

 

“Bang, saya bukan pacarnya dia,” tunjuk Bimala pada Jendra yang tengah duduk. Montir menatap Bimala lalu tertawa. “Makasih ya udah bawain kotaknya,” ucap Montir kembali sibuk dengan motor. Bimala kembali duduk dengan sebal. “Tenang Mala, Montir itu suka becanda tapi dia itu seorang seniman mesin dan hasil kerjanya memuaskan,” kata Jendra.

 

“Baguslah, tapi lo ga punya banyak waktu, karena gue harus balik ke rumah dalam satu atau dua jam lagi, dan lo harus beresin tugas lab itu sekarang!” tukas Bimala. “Lo tahu Mala, motor yang sedang diservis Montir itu motor Honda tahun delapan tiga. Punya bapak gue trus dikasih ke gue. Bapak bilang itu motor jadul tapi desainnya seperti robot. Tipenya aja kayak nama robot, Astrea delapan ratus. Tahun itu memang lagi tenar-tenarnya robot. Lo lihat,” kata Jendra menunjuk. Bimala melihat pada motor Honda berwarna merah itu.

 

“Dibanding dengan motor Honda sebelumnya, motor itu punya desain jauh lebih modern dan berisi. Ga kopong. Bagian lampu utama, dibalut cover yang juga menyatukan sen serta lampu senja. Mirip kepala robot ‘kan?”

 

Bimala memerhatikan. Betul juga kata Jendra, ucap hati Bimala. “Bapak bilang, gue harus rawat dia, seperti dia bagian dari hidup gue, kalau sakit gue harus sembuhin dia, dan Montir dokternya,” kata Jendra. Bimala manggut-manggut. “Kita sedang merawat kehidupan,” lanjut Jendra. “Lo sama Montir? Yang bener aja,” tawa Bimala. “Bukan, tapi gue dan bapak gue,” kata Jendra. “Oh sori,” ucap Bimala merasa tak enak telah menertawakan.

 

“Kalian dekat? Lo dan ayah lo?” tanya Bimala. “Seperti yang seharusnya antara bapak dan anak,” jawab Jendra. “Jadi, motor ini adalah kesayangan lo,” kata Bimala. “Ya, kesayangan gue,” ujar Jendra. Bimala menghelakan nafas. “Gue tahu apa yang ada dalam pikiran lo sambil menghela nafas itu, ‘lo sebetulnya pintar Jendra, lo punya potensi, harusnya lo fokus untuk nilai rapor lo, ngapain lo ngurusin motor tua begini’ begitu ‘kan isi pikiran lo?” tebak Jendra.

 

“Gue ga bilang begitu tepatnya, tapi itu bener juga,” kata Bimala. Jendra tersenyum. Montir memanggil Jendra karena motornya telah selesai. “Ayo kita pulang sekarang,” kata Jendra. “Jendra! Kata lo kita akan ngerjain tugas di sini?” bingung Bimala. Jendra tak menggubris, ia membawa motornya diiringi lambaian tangan Montir. “Sampai ketemu lagi pacarnya Jendra,” teriak Montir. Bimala hanya nyengir pada Montir lalu menatap kesal pada Jendra yang telah duduk di atas motor.

 

“Jendra lo udah janji mau ngerjain---”

 

“Tadi lo bilang lo ga punya banyak waktu dan harus segera pulang, ayok,” ucap Jendra. “Arrrghh! Gue benci lo,” gemas Bimala lalu duduk di boncengan dengan wajah cemberut di sepanjang jalan. Jendra tertawa.

Beberapa saat kemudian, motor telah sampai di jalan komplek rumah Bimala tapi betapa terkejutnya Bimala ketika melihat mobil Ardi berada di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya.

 

“Jendra, belok! Belok sini cepet!” seru Bimala panik. Jendra tertawa sambil membelokkan motornya. “Lo kenapa sih, takut ketahuan sama pacar lo ya kalau lo deket sama partner lab lo?” Bimala menggeleng. “Secara situasi dia memang pacar gue tapi secara resmi belum!” Jendra mengerutkan kening. “Gimana sih, gue ga ngerti ….”

 

“Udah berhenti di sini,” kata Bimala. Jendra menghentikan motornya. Bimala melompat turun dari boncengan, menyerahkan helmnya pada Jendra lalu berkaca pada kaca spion motor untuk merapikan rambutnya. Jendra memerhatikannya. “Menyelinap dari jalan belakang rumah seakan-akan dari rumah tetangga, wow, pintar sekali,” sindir Jendra.

 

“Bisa diem ga?” sebal Bimala, “besok tugas lab harus udah jadi, gue ga mau tahu, bye!” Sebelum Bimala melangkah pergi Jendra memegang lengan Bimala. Bimala terkejut. “Ntar malam setelah Ardi pulang, gue akan kesini, ok? Jam sepuluh.” kata Jendra. “Kita mau ngapain malam-malam?” heran Bimala. Jendra hanya menatap mata Bimala dalam-dalam tak menjawab.

 

“Jendra?”

 

“Ini bukan kencan, tenang aja.”

 

  Bimala melepaskan tangan Jendra dan berjalan. “Ntar malam gue akan tunggu di sini Mala! Di tempat rahasia kita!” seru Jendra. Bimala mendengarnya tapi terus berjalan meninggalkan Jendra. Setelah Bimala menghilang di balik jalan, Jendra menghelakan nafas, menatap langit sebentar lalu menyalakan motornya dan pergi dengan hati yang resah.

 

***

 

Ardi dan Bimala duduk di teras rumah. “Sori, telat,” kata Bimala. Ardi menatap Bimala. “Mala, lo ingat ‘kan apa yang gue omongin waktu kita duduk berdua di Bukit Bintang?” Bimala mengangguk. “Lo menyatakan perasaan lo dan bilang kalau lo suka gue …  tapi Di, gue belum mengatakan apa yang gue---”

 

“Apa yang akan lo katakan jadi ga penting Mala … dengan lo udah suka gue dari kelas sepuluh itu sudah menandakan … dan kemarin itu di Bukit Bintang gue terima lo jadi pacar gue. Sekarang artinya lo sudah jadi pacar gue dan gue sudah jadi pacar lo, jadi jangan ada rahasia-rahasiaan di antara kita lagi, lo paham?” ucap Ardi. Bimala mengangguk. “Mana hape lo?” tanya Ardi.

 

Bimala mengerutkan kening. “Buat apa?” Ardi mengeluarkan telepon genggamnya dan menyerahkannya pada Bimala tapi Bimala menolaknya. “Mala, hape gue ini ga dilock, gue kasih hape gue buat lo cek dan gue kasih password sosial media gue juga, sekarang lo juga kasih hape lo dan gue minta password sosial media lo,” kata Ardi.

 

“Hah? Tapi buat apa?” heran Bimala. “Mala, dalam sebuah hubungan, ini yang namanya saling jaga dan percaya. Gue harus jagain lo dan lo juga jagain gue. Gue harus tahu lo temenan sama siapa aja, begitu juga lo ke gue,” terang Ardi. Bimala menggeleng. “Bukan seperti itu sebuah hubungan yang dilandasi kepercayaan Di.”

 

Ardi tertawa. “Lo memang murid pintar di sekolah Ra tapi untuk soal hubungan, lo belum pengalaman.” Bimala menatap Ardi. “Dan lo sudah?” Ardi tertawa lagi. “Kalau sudah cinta, maka kita harus saling tahu isi hape kita, supaya ga ada orang ketiga atau yang mengganggu kita,” kata Ardi.

 

Bimala menggeleng. “Di, kalau cinta, maka lo akan percaya sama orang itu tanpa harus mengontrolnya. Itu penjajahan namanya.” Ardi menghela nafas, tahu kalau cewek di depannya ini cewek pintar bukan kaleng-kaleng. “Ok, ok, kalau lo ga mau, gue ngalah deh … trus tadi telat, lo kemana dulu?”

 

 “Gue ngerjain tugas lab dulu,” jawab Bimala. “Jendra?” tanya Ardi. “Iya, bareng dia,” jawab Bimala. “Kenapa lo pilih pasangan dia sih? Dia ‘kan rada-rada kacau anaknya,” kata Ardi. “Pak Bambang yang masangin gue sama dia,” jelas Bimala. “Repot punya partner tugas sama anak kacau,” ucap Ardi.

 

“Di, sebetulnya gue pengen tahu, kenapa Jendra disebut kacau? Gue mau denger dari sudut pandang lo,” tanya Bimala. “Baiklah, dia pernah berteriak-teriak sendiri di toilet sekolah sampai guru BK menenangkannya dan dia juga pernah berantem sampai lawannya Bimalawat di rumah sakit, dari sudut itu, gue bilang otaknya kacau atau dia make narkoba,” kata Ardi.

 

“Dia memang random, tapi dia ga pake narkoba, gue yakin itu,” tegas Bimala. “Sekarang lo ngebelain dia,” sindir Ardi. “Gue bukan ngebelain, gue cuma meluruskan, kasian kalau orang dituduh untuk hal yang ga dilakukannya,” kata Bimala. “Gue curiga, jangan-jangan lo udah deket banget sama dia sampe yakin begitu?” selidik Ardi.

 

“Dia partner gue Di, cuma itu,” tegas Bimala. Ardi menggenggam jemari Bimala. “Udahlah, malam ini gue kesini bukan buat ngebahas dia … Mala, Sabtu ini, kita ke Bukit Bintang ya, kita belum umumin hubungan kita sama temen-temen.” Bimala menggeleng. “Ga usahlah Di, memang harus?”

 

“Lo aneh, cewek itu paling suka kalau hubungan dengan pacarnya dipamerin ke temen-temennya, bikin video bareng di Tiktok, pamer kemesraan gitu lah … eh lo malah ga mau, aneh,” heran Ardi. Bimala tertawa. “Mungkin, gue bukan tipe cewek itu atau jujur, gue belum bisa yakin apakah hubungan ini yang gue---”

 

Ardi menutup bibir Bimala dengan telunjuknya sehingga Bimala tak bisa melanjutkan kalimatnya. “Lo menyukai gue dan gue menyukai lo, itu udah cukup Mala,” bisik Ardi lalu mengecup kening Bimala. Bimala menghela nafas dalam dilema.

 

***

 

Jam sepuluh malam, Bimala menunggu. Ia merapatkan jaketnya. Udara di bulan November yang basah karena musim penghujan terasa lebih menusuk tubuh. Tak lama, sebuah motor merah tiba dengan seorang pemuda berjaket jeans biru dengan kerahnya yang sobek, memakai tas slempang coklat dan syal warna ungu tua di lehernya, tersenyum lebar. Bimala bergegas naik ke boncengan motor dan duduk sambil memakai helm. “Ini sebaiknya harus sepadan Jendra, gue udah kedinginan begini loh,” kata Bimala.

 

“Siap Tuan Putri.” Jendra membuat gerakan hormat. “Tumben pake syal, syal siapa itu?” tanya Bimala. “Syal nenek gue,” cengir Jendra lalu menjalankan motornya. “Mala, lo tahu ga, apa salah satu hal yang paling menyenangkan kalau saatnya nanti lo berkeluarga?” tanya Jendra dalam perjalanan di atas motornya. Bimala menggeleng. “Ga tahu.”

 

“Lo akan bercerita sama anak-anak lo, saat-saat lo sekolah dulu, saat-saat lo ga sekadar belajar tapi juga menikmati masa remaja lo, membuat kenangan,” kata Jendra. Bimala terdiam, ia tak pernah melakukan itu. Siklusnya hanya belajar, latihan renang, ke Bukit Bintang, repeat.

 

Jendra membelokkan motornya ke sebuah lapangan kosong yang berpagar. Ia menghentikan motornya. “Lo bisa naek pagar ‘kan?” tanya Jendra. “Hah?” kaget Bimala. Jendra dan Bimala turun dari motor. “Ayo!” Jendra menarik tangan Bimala yang masih kebingungan. “Kita mau ngapain sih di sini?” tanyanya. Dengan tangkas Jendra menaikki pagar kawat yang tinggi itu.

 

Bimala menggeleng, “Ga, ga … gue ga bisa naek pagar dan ini melanggar hukum Jendra!” Jendra telah melewati pagar lalu melompat ke tanah. “Ayo!” cetus Jendra. Bimala tampak ragu. Ia melihat pada pagar kawat itu lalu menggeleng. “Ayolah Mala, udah tanggung, lo udah di sini … gue jamin ini pasti sepadan dan ini akan jadi cerita buat lo nanti,” kata Jendra meyakinkan.

 

Bimala berdecak sebal, apa yang dikatakan Jendra benar, ia sudah jauh-jauh ke tempat ini, ga mungkin juga dia harus balik pulang lagi. Bimala lalu mengumpulkan keberaniannya. Ia melompat ke pagar kawat itu dan berusaha untuk naik. Jendra tersenyum.

 

Saat Bimala berjuang untuk naik tiba-tiba pagar kawatnya bergerak membuka. “Lo ngapain naek Mala? Ini pintu kawatnya ga dikunci,” cengir Jendra. Bimala yang masih menempel di pagar kawat bak cicak itu seketika terkejut dan marah. “Sialan Jendra!” geram Bimala. Ia melompat turun dari pagar dan langsung menggebukki Jendra yang tertawa-tawa. “Lo ngerjain gue! Jengkel gue!” gemas Bimala menguyek-nguyek kepala Jendra. Jendra lalu berlari ke dalam lapangan dikejar Bimala yang masih kesal.

 

“Udah, udah, ampun Tuan Putri,” ucap Jendra mengatupkan tangannya di dada. “Awas aja kalau ngerjain gue lagi,” cetus Bimala melotot. Cantik sekali, bisik hati Jendra melihat wajah gadis yang sedang kesal itu. “Lihat, kita di mana,” kata Jendra. Bimala melihat diri mereka berada di tengah lapangan dan di atas mereka langit terbuka.

 

“Ini lapangan punya siapa Jendra? Kita bisa ditangkap loh main masuk begitu saja,” kata Bimala. “Lapangan ini sudah kosong sejak lama dan meski dipagari, warga sekitar boleh memakai lapangan ini kok, kadang dipakai buat lomba panjat pinang, lomba burung dan lain-lain. Katanya mau dibangun ruko atau gedung sekolah, entahlah,” terang Jendra sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya.

 

“Trus ngapain lo tadi naik pagar kalau pintunya ga dikunci dan lapangan ini boleh dipakai?” heran Bimala. “Biar keren kayak di film-film,” jawab Jendra singkat. Bimala geleng-geleng campur senyum. “Dah beres,” kata Jendra setelah meletakkan tiga buah benda di tengah lapangan.

 

Bimala terkejut melihat benda itu.

 

“Jendra! Lo seriusan mau nyalain kembang api di sini?” kaget Bimala setelah melihat tiga buah benda berukuran sedang yang di letakkan sejajar di lapangan itu adalah kembang api. Jendra mengangguk. “Lapangan ini juga biasa dipake buat acara tahun baruan kok,” terang Jendra. “Masa?” Bimala tak percaya.

 

“Orang yang kegiatannya cuma belajar, latihan renang dan ke Bukit Bintang ya ga akan tahu kalau di kotanya ada lapangan serba guna seperti ini, makanya kalau gaul jangan di situ-situ doang,” bisik Jendra di telinga Bimala. Bimala mendengus sebal.

 

“Sini mundur dan duduk, kita nikmati pertunjukkannya,” ucap Jendra lalu duduk bersila di lapangan beralaskan rumput. Bimala ikut duduk di samping Jendra. Jendra menyalakan sumbu kembang api yang panjang dan saling bertautan itu. Suara merenges menyala menjalari sumbu menuju kembang api pertama. Hati Bimala tak bisa dipungkiri, ia sungguh senang sekali.

 

Saat ujung sumbu itu menyentuh bubuk mesiu maka terdengar letupan-letupan, seperti sebuah apollo yang bersiap lepas landas. Kemudian sebuah letupan besar melontarkan kembang-kembang api. Melesat cepat bagaikan meteor-meteor kecil dari bumi yang menghujani langit. Lalu meledak di angkasa memunculkan berbagai macam warna dalam bentuk tiga dimensi.

 

Kepala Bimala mendongak, matanya tak berkedip menatap angkasa dan mulutnya terbuka lebar. Ia terpesona. “Woooow,” ucapnya gembira. Jendra tidak melihat pada kembang api, ia malah menikmati setiap lekuk wajah Bimala dari sisi samping di bawah berbagai macam warna seperti di dunia fantasi.

 

Kembang api kedua menyusul menyala dan meluncur ke angkasa. Bimala masih terlihat antusias dan tak sabar. Jendra tersenyum, kali ini ia ikut menikmati ledakan warna-warni itu di angkasa.

 

“Bintang atau kembang api?”

 

Bimala terkejut mendengar pertanyaan dadakan dari Jendra itu. “Maksud lo?” tanya balik Bimala. “Kalau disuruh milih, lo mau jadi bintang atau kembang api?” tanya Jendra. “Ada-ada aja pertanyaan lo Jendra,” sahut Bimala sambil terus menatap kembang api.

 

“Kalau gue, gue akan memilih jadi kembang api,” kata Jendra.

 

“Rata-rata orang, lebih memilih jadi bintang, kenapa?” tanya Bimala.

 

“Kehadirannya ditunggu-tunggu. kehadirannya juga memberikan kebahagiaan dan kegembiraan meski dia harus terbakar habis tapi itu akan diingat. Kembang api itu melambangkan kebebasan, dia melesat melakukan apa yang dia suka.”

 

Bimala tersenyum tipis mengagumi jawaban itu. Bimala lalu menatap Jendra dari samping yang tengah melihat pada kembang api ketiga yang meletus di angkasa. Wajah Jendra yang tampan bermandikan warna-warni indah.

 

“Sebaiknya lo nikmatin kembang api terakhir ini sebelum abis, jangan liatin wajah gue kali,” celetuk Jendra dengan mata terus melihat ledakan-ledakan permainan warna. Bimala jadi tersipu malu, ia kembali menikmati kembang api terakhir itu.

 

Dan setelah Jendra mengantarnya pulang, Bimala tergeletak di atas tempat tidur tanpa bisa memejamkan matanya. Ia terbayang kembang api dan wajah Jendra yang membuatnya senyum-senyum sendiri.

 

***

 

“Bimala,” panggil papa. “Iya Pa.” ucap Bimala lalu menghampiri papanya yang tengah duduk di ruang tamu. “Kemarin pelatih renangmu bilang, kamu ada di peringkat dua belas, dan minggu depan adalah kompetisi untuk mendapatkan tambahan nilai. Jadi kamu harus serius,” ucap papa. Bimala mengangguk. Papa menatap Bimala. “Papa serius Mala, kamu harus masuk sepuluh besar untuk bisa mendapatkan beasiswa ke universitas negeri itu. Ngerti?” Bimala mengangguk lagi. “Ngerti Pa.”

 

“Anakmu pasti ngerti dong Pa, dia ‘kan murid terpintar di sekolah loh,” celetuk mama. “Pa, apakah Papa dan Mama pernah mendaftar di universitas negeri?” tanya Bimala. Papa dan mama saling berpandangan. “Sebenarnya pernah,” jawab mama. Bimala mendengarkan.

 

“Tapi kita ga diterima, jadi mimpi kami ada di mimpimu,” sambung papa. Dalam hati Bimala teringat apa yang dikatakan Jendra saat pemuda itu memegang kepalanya dan meramalnya meski hanya main-main. Jendra benar ternyata, ucap Bimala dalam hati.

 

 “Papa pernahkah berpikir untuk melakukan hal lain dari rutinitas yang Papa lakukan sekarang untuk pekerjaan?” tanya Bimala. “Seperti apa? Papa hanya tahu bekerja di kantor,” ucap papa.

 

“Entahlah, mungkin pekerjaan yang selama ini Papa inginkan, sesuatu yang Papa suka dan menyenangkan buat Papa jalani?”

 

“Papa sebetulnya mau punya restoran,” kata papa akhirnya mengatakan keinginannnya. “Iya, kita berdua suka makan soalnya,” tawa mama. “Kalau gitu sudah saatnya Papa dan Mama memikirkan untuk melakukan hal itu,” senyum Bimala lalu meninggalkan kedua orang tuanya.

 

***

 

Di halaman sekolah Monika dan Bimala terlihat duduk-duduk di lapangan berumputnya. Menikmati makan siang sambil berbincang-bincang. “Dia percaya diri, spontan dan pintar, kadanag-kadang menyebalkan, lucu dan random,” kata Bimala sambil membayangkan Jendra. “Jadi apa yang kalian lakukan semalam?” tanya Monika.

 

‘Oh, kita cuma bersenang-senang, ngobrol sambil menikmati kembang api.”

 

“Apa? Ini padahal bukan tahun baru!”

 

“Seperti yang gue bilang, dia random tapi menyenangkan,” senyum Bimala.

 

“Gimana Ardi? Bukannya lo jalan sama dia?” bingung Monika. “Ardi … entahlah Nik … dia pernah minta hape gue untuk dilihat isinya, dia juga ngasih hapenya ke gue, tapi gue tolak … kata dia itu artinya saling cinta,” kata Bimala. “Masa sih? Ardi seprotektif itu ‘kah?” kaget Monika.

“Kalimat-kalimatnya pun buat gue toxic banget Nik,” lanjut Bimala. “Tapi lo suka dia sejak kelas sepuluh Mala,” kata Monika. “Entahlah Nik,” geleng Bimala ragu dengan perasaannya pada Ardi sekarang. “Kemarin temen gue lihat lo pake motor bareng Jendra Satrianta si anak kacau itu di luar jam sekolah, benarkah?” tanya Monika.

 

“Ya, kadang gue jalan sama dia juga,” jawab Bimala. “Wow,” geleng Monika. “Kenapa? Gue ga boleh punya teman lain?” heran Bimala. “Bukan dengan anak kacau itu juga Mala,” kata Monika. “Dia ga kacau Nik, dia melakukan hal dengan caranya sendiri,” jelas Bimala. “Lo tahu ‘kan berita-berita yang tersebar?” Monika mengingatkan.

 

“Ya, Ardi udah cerita … sebetulnya Jendra itu keren sih, dia membuat gue lebih menikmati hidup, menolong gue untuk lepas dari rutinitas yang membosankan,” ungkap Bimala. “Baguslah, kalau lo merasakan begitu,” kata Monika.

 

Suara klakson mobil terdengar dari luar pagar sekolah. “Baiklah, gue harus pergi sekarang, ada latihan renang, papa udah jemput, sampai ketemu besok Nik,” ucap Bimala. “Fokus renang ya Ra jangan mikirin Jendra,” celetuk Monika. Bimala tertawa.

 

***

 

Ardi duduk di hadapan Bimala di teras rumah. “Mala, malam ini gue dateng kesini buat memperbaiki hubungan kita, sepertinya gue salah terlalu maksain apa yang gue mau, kayak minta hape lo, dan itu membuat lo merasa dikontrol, jadi gue minta maaf dan gue harap lo juga punya keinginan untuk memperbaiki hubungan kita,” kata Ardi.

 

Bimala menghela nafas. “Jujur Di, gue suka sama lo waktu kelas sepuluh, tapi sekarang gue ga yakin dengan apa yang gue rasakan.”

 

“Apa maksud lo? Kemarin lo fine-fine aja,” bingung Ardi. “Di, lo ga ngasih gue kesempatan untuk bicara,” kilah Bimala. Ardi tampak kecewa. “Ok lah Di, gue akan coba ya,” kata Bimala memberi kesempatan. Ardi pun tersenyum mengangguk. Jodi, adik Bimala, datang dari luar rumah. Ia melangkah ke teras dan menyerahkan sebuah kotak kardus kepada Bimala. “Apa ini Jod?” tanya Bimala.

 

“Ga tahu, tadi ada cowok pake Honda bebek merah, nitipin kardus ini, buat Kakak katanya,” jawab Jodi lalu masuk ke dalam rumah. Bimala membuka kardus itu. “Apa itu?” tanya Ardi. “Entahlah, gue harap sih penyelesaian tugas lab,” jawab Bimala. Setelah kardus terbuka, Bimala mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya.

 

“Syal ungu?” heran Bimala. Ia mengeluarkan sebuah benda lagi. “Apa ini?” Bimala tak mengerti dengan sebuah benda besi yang berada di tangannya. “Itu karburator motor yang baru,” kata Ardi lalu mengambil selembar catatan dari dalam kardus itu. “Hah? Karburator motor? Apa-apaan sih?” kaget Bimala.

 

“Benda-benda ini dijamin tidak akan membuat lo lolos beasiswa tapi nanti lo pasti pakai,” kata Ardi membacakan isi pesan di catatan tersebut. Bimala melihat di balik catatan yang dibaca Ardi itu ada tulisan. Nanti malam datanglah jam delapan di tempat rahasia kita, ini bukan kencan. Sebelum Ardi membacanya, Bimala buru-buru mengambil kertas catatan itu dari tangan Ardi lalu bersikap biasa. “Aneh banget sih, buat apa dia ngirimin ini ke gue?” bingung Bimala.

 

“Jendra ya? Emang kacau otaknya,” geleng Ardi. Bimala menyimpan semua benda itu ke dalam kardus dan menutupnya kembali. “Kayaknya dia suka sama lo,” curiga Ardi. “Dia suka sama motornya,” kelit Bimala. “Apa pun itu, gue harap lo jangan ngeladenin dia, kita sedang memperbaiki hubungan kita ingat?” tukas Ardi.

 

“Dia cuma partner Di!” tegas Bimala. “Ok, ok … kalau gitu, kita ke Bukit Bintang malam ini yuk, temen-temen pada kesana,” ajak Ardi. “Lo duluan, nanti gue kabari, gue harus urus kotak kardus ini dulu,” kilah Bimala. “Ok,” angguk Ardi lalu pergi. Bimala mengepalkan tangannya kesal pada Jendra.

 

***

 

Jam delapan malam. Bimala berjalan menghampiri Jendra yang duduk di atas motor menunggu. “Jendra! Kita harus bicara,” cetus Bimala. Jendra tersenyum. “Ayo naik,” ucapnya seraya menyerahkan helm. Bimala menggeleng. “Gue ga akan pergi.” Jendra manggut-manggut. “Ya sudah, kalau lo ga pergi maka kita ga akan bicara.” Jendra menggoyang-goyang helm di tangannya di depan wajah Bimala. “Arghhh!” kesal Bimala mengambil helm itu dan memakainya. Jendra tertawa.

 

“Jendra, lo ga bisa seenaknya ngirimin barang-barang aneh ke rumah gue begitu saja!” protes Bimala di atas motor yang berjalan. “Syal nenek gue lo sebut aneh? Kasian nenek gue,” geleng Jendra. “Syalnya engga tapi karburatornya ga penting!” ketus Bimala. “Itu karburator baru loh,” sahut Jendra. “Buat apa? Gue ga punya motor Jendra!” cetus Bimala. “Tapi lo bisa naek motor ‘kan?” tanya Jendra. “Ya bisalah,” jawab Bimala.

“Nanti lo pasti punya motor,” senyum Jendra.

 

“Jendra, dengar ya, gue suka sama lo … gue suka berteman sama lo, karena itu kita sering jalan bareng tapi sekarang gue merasa mulai aneh dan merasa lo merencanakan sesuatu sama gue!”

 

Jendra menggeleng. “Gue ga punya rencana apa-apa Mala, gue cuma menikmati hidup dan mengajak lo bersenang-senang. Lo juga sekali-kali harus rileks, hidup lo tegang banget.”

 

 “Omong kosong! Lo sedang menjebak gue!”

 

“Hah, jadi itu yang lo pikir?” kaget Jendra lalu menghentikan motornya di pinggir jalan yang sepi. “Ya, dan dengan mengirim barang-barang itu, lo berharap gue mengikuti permainan lo,” kata Bimala. Jendra turun dari motor, membuka helmnya lalu menatap Bimala yang masih duduk di atas motor. “Gue tidak berharap apa-apa dari lo Mala,” kesal Jendra, “lo bebas pergi kapan pun lo mau!

 

Bimala terdiam. Jendra menunjuk pada jalan raya yang kosong. “Lihat, lo boleh turun sekarang di sini, gue ga memaksa lo,” kata Jendra. Bimala turun dari motor, membuka helmnya dan meletakkannya di jok motor. “Lo memang menyebalkan!” cetus Bimala.

 

“Lo itu Bimala Putri, murid pintar, populer, juara renang dan punya pacar kaya, ngapain lo malam minggu sama gue di sini pake motor jadul? Sana pergilah dari sini!” usir Jendra.

 

Bimala menatap Jendra, menggelengkan kepalanya. “Gue pikir lo beda, ternyata lo sama saja dengan cowok-cowok menyebalkan lainnya! Lo kekanak-kanakkan dan pantas lo ga punya teman di sekolah,” ketus Bimala. Jendra hanya diam, Bimala tak tahu hati Jendra dipenuhi kekalutan.

 

“Lo bisa menilai gue, sekarang gimana sama lo? Lo yang selalu mengajak gue, memaksa gue dengan cara lo supaya gue ikut ke lobi gedung, bengkel, lapangan kosong! Ngirimin benda yang aneh! Apakah itu bukan egois namanya?” tambah Bimala. Jendra hanya diam. “Kenapa lo yang ngusir gue? Seharusnya gue yang ngusir lo. Pergi sekarang, menyingkir dari gue!” lanjut Bimala dengan gemetar dan nyaris menjatuhkan air mata.

 

Tiba-tiba sebuah klakson mobil terdengar. Sebuah mobil berhenti di belakang motor mereka. “Kak Jendra! Kak Jendra!” panggil seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun keluar dari mobil lalu memeluk Jendra, disusul Robi. Bimala terkejut melihatnya. Ia menyeka matanya agar tak terlihat habis marah dan sedih.

 

“Kak Jendra, kapan datang lagi ke rumah hijau? Kakak sudah lama ga dateng. Aku pengen banget lihat kembang api lagi dan maen games bareng Kakak lagi!” kata anak laki-laki itu penuh semangat.

 

“Iya, iya, nanti Kak kesana ya,” senyum Jendra pada anak laki-laki itu. Bimala memerhatikan, dalam hatinya bertanya-tanya siapa mereka. “Hey Jendra,” sapa Robi. “Hey Rob,” balas Jendra. Bimala kaget mendengar Jendra memanggil pria itu dengan sebutan nama padahal sudah jelas pria itu jauh lebih tua darinya.

 

“Siapa ini?” tanya Robi menunjuk Bimala pada Jendra. “Oh iya,” Jendra menepuk jidatnya, “biar aku kenalin … Robi, Alvin … ini Juminten ….” Bimala melotot namanya disebut salah oleh Jendra. “Bukan Pak, nama saya Bimala,” sela Bimala cepat. Robi tertawa lalu melirik pada Bimala. Ia teringat akan apa yang dibicarakan Jendra saat mereka bermain catur. Rupanya inilah perempuan yang dibicarakan Jendra waktu itu.

 

“Kak Jendra, ayo sekarang kita ke rumah hijau, ayolah,” ajak Alvin, anak laki-laki itu. “Nanti ya, Kak sedang ada urusan dulu sama Juminten,” kata Jendra. Bimala menahan sebal mendengarnya. “Ayolah Kak plis,” mohon Alvin dengan wajah memelas dan tangan terkatup di dadanya. Ia pun naik ke jok motor Jendra. “Aku akan mengalahkanmu di games Kak, ayolah Kak sekarang nginep di rumah hijau,” mohon Alvin lagi. Bimala tersenyum melihat Alvin yang lucu itu.

 

“Besok aja gimana? Sekarang Kakak ada urusan dulu,” bujuk Jendra. “Besok aku ada tugas sekolah,” tolak Alvin. Bimala memerhatikan Jendra. “Besok, Kak janji kesana,” kata Jendra. “Ayo Alvin, kita pergi, malam ini Kak Jendra ada urusan dulu,” bujuk Robi lalu menurunkan Alvin dari motor. Alvin terlihat kecewa. “Vin, besok, Kak janji,” senyum Jendra. “Janji pramuka?” tanya Alvin. “Iya,” angguk Jendra. Wajah Alvin pun berubah ceria lagi.

 

Mereka lalu kembali naik mobil. “Jangan lupa bawa kembang api Kak, aku mau jadi kembang api!” seru Alvin bahagia di samping kursi Robi yang mengendarai mobil. Bimala tertawa mendengarnya lalu melirik pada Jendra. Hatinya kembali mencair, pria ini selalu memberi kejutan yang tak disangkanya.

 

“Jendra, kita harus bicara,” kata Robi. “Ok Rob, semua akan baik-baik saja,” senyum Jendra melambaikan tangan. Apa maksudnya? Batin Bimala.. “Dadah Kakak Bimala …” kata Alvin. Bimala melambaikan tangannya. “Dadah juga Alvin,” senyum Bimala. Mobil pun bergerak pergi.

 

“Jadi … siapa mereka?” tanya Bimala menatap Jendra.

 

“Tetangga,” jawab Jendra pendek. Bimala tak percaya begitu saja. “Alvin itu hiperaktif atau autis … atau apa?” tanya Bimala. Jendra hanya diam sambil memakai kembali helmnya. “Jadi lo itu konselornya Alvin atau relawan? Seperti itukah?” selidik Bimala. Jendra hanya menatap Bimala. Bimala tersenyum. “Sepertinya memang begitu, ternyata lo itu cowok lembut ya.”

 

Jendra hanya menghela nafas. Bimala lalu mengambil helm, memakainya. “Jadi apa itu rumah hijau? Panti asuhan atau acara sukarela?” tanya Bimala. Jendra hanya diam saja. Bimala naik ke boncengan motor. “Ayo kita pergi dari sini, gue ikut kemana lo mau pergi,” kata Bimala. “Yakin? Tadi ngusir gue,” kata Jendra menatap Bimala dari kaca spion. Bimala mengangguk.

 

Motor pun dinyalakan dan berjalan. Terus berjalan keluar dari perkotaan menuju perbukitan. “Belok di situ! Di jalan jelek itu,” tunjuk Bimala mendadak. Jendra menghentikan motornya sebelum belok. “Kenapa di sini?” tanya Jendra. “Ga harus pake alasan bukan? Sama seperti saat lo belok ke gedung waktu itu,” jawab Bimala. Jendra melihat jalanan bukit yang jelek berbatu itu.

 

“Lo takut ya? Boooo,” bisik Bimala dari belakang. Jendra tersenyum. Dengan cepat ia pun membelokkan motornya. Motor itu berguncang-guncang membuat Bimala harus memeluk Jendra agar tidak terlempar dari motor. “Pelan-pelan Jendra!” teriak Bimala. “Ini lucu banget,” kata Jendra. “Kenapa?” tanya Bimala memeluk Jendra erat-erat. “Lo yang memilih jalan ini, ini diluar dugaaan,” seru Jendra. Motor terus menaikki bukit hingga beberapa saat kemudian mereka sampai di pinggiran tebingnya. Bimala dan Jendra turun dari motor.

 

Di seberang tebing bukit mereka, tampak Bukit Bintang dan anak-anak muda yang sedang berkumpul menyalakan api unggun menghabiskan malam minggu.

 

Bimala melihatnya. Jendra membuka jaket jeans-nya lalu menyerahkan pada Bimala. “Thanks Jendra, gue tadi ga berencana pergi soalnya.” Bimala memakai jaket jeans itu dan merasa hangat. Mereka duduk berdua di pinggir tebing ditemani cahaya bulan.

 

“Jadi di sana itu Bukit Bintang, ternyata dari sini ya waktu lo melihat gue dan Ardi. Gue belum pernah ada di sisi ini,” kata Bimala. “Gue ga pernah di sisi sana,” ujar Jendra. “Ga ada yang penting-penting banget di sana Jendra,” senyum Bimala. “Iya gitu? Bukankah di sana tempat kumpulnya anak-anak muda keren dengan mobil-mobil bagusnya,” ucap Jendra.

 

“Dulu tempat itu menyenangkan, sekarang hanya tempat untuk nongkrong memamerkan pacar, pamer apa yang lo pakai, gibahin temen atau guru, ya hal-hal ga penting,” terang Bimala. “Banyak info berarti di sana,” cengir Jendra. “Ya, tapi di sana semua omong kosong,” kata Bimala, “tapi di sini, rasanya apa adanya, tenang dan tidak peduli dengan semua keramaian.” Jendra tersenyum.

 

“Dan lo, lo ga peduli dengan apa yang orang katakan, lo hanya jadi lo,” ucap Bimala.

 

“Memenuhi keinginan orang untuk menjadi yang mereka inginkan, itu bukan gue Mala, gue berhasil atau gagal, gue ga akan ngecewain siapa-siapa.”

 

Bimala mengangguk. “Lo betul … jadi, lo sering kesini?” Jendra mengangguk. “Yeay, gue menemukan tempat pelarian lo,” bisik Bimala senang. Jendra tersenyum. “Gue ga tahu bagaimana lo melakukannya. Kemungkinannya mungkin satu berbanding seribu. Tapi tadi lo memilih jalan belok yang sering gue pakai kalau kesini.”

 

“Hmm … apakah itu artinya semesta merestui kita?” canda Bimala. Jendra menatap Bimala. Hati Bimala berdegup. Jendra memegang jemari Bimala, Bimala merasakan hatinya berdebar. Perlahan bibir mereka mendekat dan semain dekat, tapi tiba-tiba Jendra tersadar. “Tidak … ini bukan kencan … kita sebaiknya pergi dari sini,” bisik Jendra. Bimala menghela nafas lalu mengangguk. “Kita lab partner,” kata Jendra lagi.

 

“Tentu saja,” angguk-angguk Bimala canggung. “Kalau Pak Bambang tahu kita bukan ngerjain tugas lab malah begini, dia pasti akan marah,” kata Jendra bergegas berdiri. Bimala tertawa. Mereka pun naik motor dan pergi.

 

Di perjalanan pulang mendadak hujan turun deras. “Jendra, cari tempat berteduh!” teriak Bimala. “Iya Tuan Puteri sabar,” sahut Jendra mencari-cari. Ia lalu meminggirkan motornya di depan sebuah ruko. Hanya ada dua orang pengendara motor yang ikut berteduh di situ karena malam sudah semakin larut. Hujan turun dengan deras diiringi petir.

 

Pelan-pelan Bimala menggenggam jemari Jendra yang berdiri di sampingnya. Jendra menatap Bimala. “Lo harus WA Ardi atau papa lo minta dijemput, hujannya lebat banget,” kata Jendra. Bimala menggeleng. “Ga Jendra, gue ga mau ninggalin lo kayak kemarin, gue akan di sini sama lo sampai hujan ini reda, titik!”

 

“Gimana kalau ada banjir?” tanya Jendra menakut-nakuti. “Gue tetep nemenin lo,” ucap Bimala keukeuh. “Gimana kalau ada angin puyuh? Fuuhhh, fuuhhhh,” kata Jendra sambil memeragakan angin puyuh dengan tangannya. “Bodoh, itu bukan angin puyuh, yang lo tunjukkin itu ular namanya,” tawa Bimala. Jendra tersadar dan ikut tertawa. Hujan pun terus turun.

 

Setelah malam itu Bimala tampak lebih ceria. Ia pergi ke pesta ulang tahun temannya bersama Ardi dan Monika. Di sana Bimala berjoget penuh semangat dengan Monika. “Wah, kayaknya ada yang seneng nih,” celetuk Monika. “Rasanya gue dapat pencerahan Nik,” kata Bimala sambil berjoget. “Lo abis kejedot apa gimana?” tanya Monika. Bimala tertawa. Ardi mendekati Bimala. “Mala, lo kenapa? Jangan lebay gitu dong jogetnya,” bisiknya sambil memegangi lengan Bimala untuk membuatnya diam.

 

“Gue lagi seneng emang ga boleh?” tanya Bimala. “Lo kemarin ga datang ke Bukit Bintang kemana? Dan hari ini lo tampak terlalu senang, lo abis ngapain?” curiga Ardi. “Gue udah bilang, gue ga kesana karena hujan besar dan gue ga ngapa-ngapain,” tukas Bimala. Ardi menatap tajam Bimala. ‘Lepasin tangan gue, sakit!” lirih Bimala. Monika bergegas memisahkan.

 

“Udah Di, lepasin Bimala, jarang-jarang ‘kan kita lihat Bimala seneng begini, selama ini dia cuma belajar dan latihan renang, biarinlah dia joget-joget malam ini ngelepasin beban,” kata Monika. Ardi melepaskan cengkeramannya dan membiarkan Bimala serta Monika berjoget lagi meski wajahnya tampak kesal.

 

***

 

Bimala yang tengah belajar di dalam kelas tiba-tiba dikejutkan dengan suara ramai dari luar kelas. Semua beramai-ramai keluar kelas untuk melihat apa yang terjadi. Bimala terkejut ketika melihat Jendra tengah dibopong oleh guru BK dan seorang guru lainnya. Jendra berteriak-teriak sambil memegangi kepalanya. Bimala hanya bisa menatapnya nanar. “Apa yang terjadi,” tanya Bimala bingung. “Gilanya kambuh,” celetuk seorang teman Bimala.

 

Ardi yang berada di seberang kelas Bimala menatapnya lalu mengirimkan pesan WA. “Lo lihat ‘kan? Betapa berbahayanya kalau lo meladeni anak itu!” Bimala hanya membacanya tak meresponnya. Setelah pulang sekolah, Bimala bergegas ke kamar. Ia membuka laptop dan mencari informasi mengenai rumah hijau di Google tapi ternyata informasinya sangat banyak, Bimala tak tahu rumah hijau mana yang dimaksud Alvin, anak kecil itu.

 

Ia berpikir lalu melihat jaket jeans milik Jendra yang pernah dipinjamnya tergantung di dinding kamarnya. Bimala memeriksa jaket itu berharap ada sesuatu yang bisa dijadikannya informasi. Di kantong jaket bagian dalam, ia menemukan sebuah botol obat atas nama Jendra Satrianta. “Paroxetine,” ucap Bimala membaca nama obat itu. Ia lalu mengetik nama obat itu di Google dan setelah menemukan infonya Bimala terkejut. “Ya Tuhan,” lirihnya.

 

Obat itu adalah obat anti depresi berat.

 

***

 

Keesokan harinya Bimala tak melihat Jendra di sekolah. Di ruang lab atau bahkan Bimala tak melihat motornya terparkir di tempat parkir. Bimala menunduk. Ia mencoba menghubungi nomor telepon Jendra, tapi tak menyambung. Bimala semakin kepikiran akan kabar Jendra. Ia tak lagi berkonsentrasi dalam pelajarannya. Di setiap ulangan kini Bimala menjadi yang terakhir mengumpulkannya, biasanya ia selalu menjadi murid pertama yang mengumpulkan.

 

Dalam latihan renang pun begitu. Bimala tak bisa fokus hingga pelatihnya geleng-geleng karena Bimala memilik waktu paling lambat dalam menyelesaikan renangnya. Akhirnya Bimala memutuskan untuk ke ruang administrasi sekolah. “Hai Bimala ada yang bisa dibantu?” sapa seorang pegawai adminstrasi sekolah.

 

“Bu, teman saya, Jendra Satrianta, sudah beberapa hari ini ga masuk sekolah, dia memang ga satu kelas dengan saya, tapi kita ditempatkan oleh Pak Bambang dalam satu proyek lab dan dia belum menyelesaikan tugasnya, jadi saya kesini mau tanya alamat rumahnya supaya saya bisa memberitahunya,” terang Bimala.

 

“Maaf Bimala, kami tidak boleh memberikan informasi data pribadi siswa,” tolak pegawai administrasi. “Tapi Bu, gara-gara itu, nilai saya jadi ngegantung dan ini bisa mempengaruhi penilaian beasiswa saya,” kata Bimala. “Tetap tidak bisa, kamu bisa mengeceknya di sosial media dia bukan?” kata pegawai adminsitrasi itu. “Jendra cuma punya facebook dan postingan terakhir saat dia masih SMP, tidak ada alamatnya juga,” jelas Bimala. “Silakan kamu menghubungi Pak Bambang saja kalau begitu,” sarannya. Bimala berdecak sebal karena pegawai itu tampaknya tak bisa dibujuk, ia lalu keluar dari kantor administrasi dan menuju ruang guru di mana Pak Bambang sedang duduk di mejanya.

 

“Pak, di mana Jendra? Kenapa dia tidak masuk selama ini?” Bimala langsung melontarkan pertanyaan itu di depan Pak Bambang. Pak Bambang melirik pada guru BK yang juga ada di situ. “Saya berusaha mengimbanginya, tapi dia tidak peduli Pak, saya sudah bilang sejak awal saya tidak mau dipasangkan dengan dia,” kesal Bimala.

 

Guru BK datang menghampiri Bimala. “Bimala tenang … Jendra sedang mengalami masa-masa sulit sekarang,” ucap guru BK. Pak Bambang turut mengangguk. “Sulit bagaimana?” tanya Bimala. “Sungguh hanya itu yang bisa kami katakan Bimala,” kata guru BK. “Tapi, adakah yang bisa saya lakukan untuk membantunya?” tanya Bimala lagi. “Aku tahu ini ide buruk,” celetuk Pak Bambang. “Apa maksudnya Pak?” Bimala mengerutkan keningnya menatap Pak Bambang. “Memasangkanmu dengan Jendra,” jawab Pak Bambang. “Apa? Jadi itu bukan random?” kaget Bimala. Pak Bambang menghelas nafas. “Jadi, Jendra yang memilih saya?” tanya Bimala masih terkejut. Pak Bambang mengangguk. Bimala menggelengkan kepala lalu keluar dari ruangan guru.

 

***

 

Beberapa hari kemudian, Bimala memgikuti kompetisi renang sebagai penentuan peringkat beasiswa. “Kamu pasti bisa!” ucap mama menyemangati Bimala yang bersiap-siap. Bimala tak menggubrisnya karena pikirannya masih menggantung pada Jendra. “Bimala, ini kesempatanmu untuk naik peringkat dan mendapatkan beasiswa itu,” tambah papa. Bimala hanya diam dalam keraguan.

 

Kompetisi dimulai. Bimala melompat ke dalam air bersamaan dengan peserta kompetisi lainnya. “Ayo Bimala! Ayo Bimala!” teriak papa dari kursi penonton. Bimala menggerakkan tangan dan kakinya untuk mendorong tubuhnya membelah air. Ia berusaha cepat tapi pikirannya terganggu. Beberapa kali air kolam tertelannya hingga membuatnya tak konsentrasi. Sedang para peserta lainnya telah mengambil putaran kedua, Bimala masih berkutat di putaran pertama.

 

Papa dan mama terkejut melihatnya. “Apa yang terjadi?” bingung papa. “Biasanya dia berenang dengan cepat,” kata mama. “Kak Bimala ga konsen, pasti ada yang sedang dipikirin,” celetuk Jodi. “Apa yang dipikirkannya?” tanya mama. Jodi mengangkat kedua bahunya. Sedang Ardi yang juga datang saat itu hanya geleng-geleng melihat Bimala.

 

Dan hasil akhirnya, Bimala pun menduduki posisi terakhir di kompetisi tersebut.

 

***

 

Di dalam mobil perjalanan pulang, Bimala tampak lesu. Ia pulang bersama Ardi. Ardi melirik pada Bimala. “Apa yang terjadi Mala?” tanya Ardi. Bimala tak menjawab ia malas untuk membahasnya. “Lo tidak tampil seperti biasanya,” kata Ardi. Bimala membuang pandangannya keluar jendela. “Lo sakit atau gimana?” tanya Ardi. “Gue ga apa-apa Di,” jawab Bimala tanpa mengalihkan pandangannya.

 

Mobil akhirnya sampai. “Mau gue temenin sampai rumah?” tanya Ardi. Bimala menatap Ardi. “Ga usah Di, rasanya gue pengen istirahat atau sendiri dulu, entahlah,” tolak Bimala. “Lo tadi membuang kesempatan Mala, sayang banget,” kata Ardi. “Di, plis, gue lagi ga mood buat ngebahasnya,” ujar Bimala.

 

“Tapi pasti mood kalau ngebahas Jendra,” sindir Ardi. “Kenapa lo mikir gitu?” kaget Bimala bercampur kesal. “Lo punya janji sama Jendra ‘kan?’ sinis Ardi. “Ga, gue ga punya janji apapun sama Jendra, gue mau istirahat,” jawab Bimala. “Tapi lo sering jalan sama dia,” sahut Ardi. “Gue jalan sama banyak orang Di, apa ada yang salah dengan itu? Apa gue cuma boleh jalan sama lo doang? Gue juga punya temen Di,” kesal Bimala.

 

“Ok, ok,” angguk Ardi. “Jendra itu hanya partner tugas lab gue dan teman, bahkan sebetulnya dia bukan teman gue, kita ga sekelas lo tahu itu,” kata Bimala, “gue masuk dulu.” Bimala lalu turun dari mobil. Setelah Bimala masuk ke rumah, mobil Ardi pun pergi.

 

“Bimala, kita harus bicara!” teriak mama dari ruang tamu. “Aku tahu aku kalah Ma, aku lelah, aku ingin istirahat,” balas Bimala. “Bimala!” panggil mama tapi Bimala telah menutup pintu kamarnya. Di dalam kamar Bimala berbaring di atas kasurnya menatap kosong langit-langit kamar. Ia terus melamun hingga sore menjelang. Bimala mengambil sebuah album foto dari lemarinya. Ia membuka-buka halamannya dan melihat sebuah foto.

 

Foto saat ia masih di sekolah dasar, memerankan seorang putri raja dengan seorang bocah pria kecil di belakangnya memakai ikat kepala berwarna kuning. Bocah pria itu tengah memandangi Bimala dengan terpesona. “Jendra …” ucap Bimala tersenyum melihat foto lucu itu. Bimala merebahkan tubuhnya lagi dan kembali berpikir, kemana laki-laki random itu?

 

Pagi itu ruang lab dikejutkan dengan kedatangan Jendra. Semua murid menatap Jendra. Begitu juga Bimala. Pak Bambang mempersilakan Jendra untuk masuk. “Ngapain ngeliatin gue? Ga ada yang menarik,” cetus Jendra pada murid-murid lalu duduk di sebelah Bimala. “Kembali ke tugas kalian!” perintah Pak Bambang. Bimala menatap Jendra, di dalam dadanya bergumpal berbagai rasa yang ingin ia tumpahkan. Kesal, sebal, penasaran dan kangen. Jendra tidak memedulikan Bimala, ia hanya mengerjakan penyelesaian tugas lab.

 

Selesai pelajaran, Bimala mendatangi Jendra. “Hey partner, tugas akhir lab udah gue selesain ya, gue ga punya utang apa-apa lagi sama lo,” kata Jendra. “Kemana aja lo dua minggu ini?” tanya Bimala. “Dua minggu ya? Lo ngitungin ternyata,” tawa Jendra. Bimala sudah tak sabar. “Ada yang salah sama lo, iya ‘kan?” tanya Bimala. Jendra menatap Bimala, “Lo sudah lihat bukan?”

 

“Lo ini kenapa? Depresi atau apa?”

 

“Depresi? Anggap saja begitu, mental health terdengar keren bukan?”

 

“Gue serius Jendra.”

 

“Ga ada yang harus diseriusin.”

 

“Terus ini apa? Lo bisa jelasin sama gue,” kata Bimala menunjukkan botol obat dalam jaket jeans. “Apa yang mau dijelasin itu sudah jelas,” sahut Jendra. “Lo punya masalah, gue tahu,” ucap Bimala. “Lo hanya tahu tidak separuhnya,” balas Jendra sambil mengambil botol obat dan jaket jeans dari tangan Bimala.

 

Ardi yang melihat itu mendatangi mereka berdua. Bimala kaget melihat kemunculan Ardi. “Ada apa ini?’ tanya Ardi curiga. “Ga ada apa-apa Di,” kata Bimala. “Jaket itu,” tunjuk Ardi. “Lo mau jaket jeans kayak gini juga? Gue beli di obralan, kalau mau, gue buka jastip,” celetuk Jendra. Ardi menatap tajam Jendra. “Tutup mulut lo, gue ga bicara sama lo,” tegas Ardi.

 

“Gue minjem jaketnya Jendra waktu kedinginan ngerjain tugas lab,” jelas Bimala khawatir melihat wajah Ardi yang marah. Tapi Jendra tampak santai. “Tenang Di, jangan cemburu, ini cuma jaket,” senyum Jendra. Ardi mendekati Jendra tapi Bimala segera menghalanginya. “Di, udahlah, ini cuma jaket, lupakan ya,” bujuk Bimala. Ardi menatap tajam Bimala. “Omong kosong!” ucapnya lalu pergi.

 

Bimala mengejar Ardi. “Betulan Di, cuma jaket ga ada apa-apa,” kata Bimala. Ardi menggelengkan kepala. “Terserah lo!” sentaknya lalu pergi ke kelasnya. Bimala mendesah. Ia melihat Jendra sudah berjalan keluar sekolah menuju tempat parkir, Bimala pun mengejarnya.

 

“Jendra! Ada apa? Kenapa guru-guru seperti tahu sesuatu, apa yang lo sembunyikan?” tanya Bimala. “Pedulikan saja nilai-nilai lo, itu yang cuma lo pedulikan bukan?” sinis Jendra.

 

“Lo yang memilih gue untuk menjadi pasangan lo di tugas lab ‘kan?” tanya Bimala. “Halu!” geleng Jendra. “Pak Bambang yang bilang!” tukas Bimala. “Heh Pak Bambang itu agen mata-mata negara, dia ga bisa dipercaya,” balas Jendra. “Jendra!” jerit Bimala kesal. Mendengar jeritan itu Jendra pun berhenti berjalan. “Jangan becanda terus! Apa yang lo tutupi? Lo bisa cerita sama gue,” kata Bimala. Jendra geleng-geleng lalu berjalan lagi. “Jendra di mana rumah lo?” teriak Bimala pada Jendra yang sudah di atas motornya. Jendra tak menjawab, ia menjalankan motornya dan pergi.

 

Bimala kembali masuk gedung sekolah. Ia melihat ruang administrasi sedang kosong. Bimala masuk ke dalam ruangan mendekati sebuah lemari arsip data siswa. Ia melihat pintu lemarinya di gembok. Bimala mencari-cari kuncinya di meja tetapi tak ditemukannya. Dengan nekat, Bimala mengambil tabung pemadam api dan dihantamkannya pada gembok itu hingga lepas.

 

Dengan cepat ia membuka lemarinya dan mencari dokumen milik Jendra. Setelah ditemukannya, ia melihat alamat rumah Jendra dan mencatatnya. ‘Ya Tuhan Bimala! Apa yang kamu lakukan?” kaget suara seorang guru. Bimala pun menunduk karena tertangkap basah menjebol lemari arsip.

“Saya tidak mengerti, Bimala adalah salah satu murid paling pintar di sekolah ini,” kata kepala sekolah di hadapan orang tua Bimala dan Bimala. “Saya hanya mencari alamatnya,” terang Bimala. “Kau sangat tahu, bukan begitu cara mendapatkannya,” kata kepala sekolah. “Pegawai administrasi tidak memberikannya Pak,” ujar Bimala.

 

“Mohon dimaklum Pak, akhir-akhir Bimala di bawah banyak tekanan, kompetisi renangnya, jadwal ujian masuk beasiswanya, belum lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya,” kata mama. “Saya ngerti, tapi kami sudah putuskan, Bimala akan diskorsing selama seminggu,” kata kepala sekolah.

 

“Apa? Itu akan mempengaruhi nilai rapor saya!” kaget Bimala. “Seharusnya kamu memikirkan itu sebelum merusak lemari arsip,” sahut kepala sekolah. “Sudah Mala, kamu harus menerimanya,” kata papa menyudahi perdebatan. Bimala pun tampak kesal. “Baiklah kalau begitu, kami pamit pulang Pak,” ucap mama. Kepala sekolah mengangguk.

 

Sesampainya di rumah, papa dan mama memanggil Bimala. “Bisakah kita ga membahasnya hari ini?” pinta Bimala. “Kami memanggilmu bukan untuk membahas masalah tadi tapi peringkatmu di jalur prestasi anjlok,” terang papa menunjukkan sebuah surat. “Kalau kamu terus kalah dalam kompetisi, apa yang kamu harapkan?” tambah mama.

 

“Aku sudah melakukan yang terbaik,” ucap Bimala. Mama menggeleng. “Tidak, kamu terlalu banyak bermain, menghabiskan waktu bersama pemuda bernama Jendra, dia dikenal tidak baik-baik saja di sekolah Bimala, dia memberimu pengaruh buruk.” Bimala tersenyum sinis. “Ardi pasti yang bilang sama Mama ya?”

 

“Itu ga penting, yang penting kamu harus kembali fokus mengejar impianmu itu!” tegas mama. “Hah? Impianku? Aku tidak pernah bermimpi untuk ke kampus-kampus itu, itu bukan impianku!” geleng Bimala. “Bimala, kenapa sekarang kamu meremehkan kemampuanmu sendiri?” tanya papa. Bimala tertawa. “Pa, masih banyak kampus lain yang bisa membantuku mendapatkan pekerjaan, ga hanya kampus-kampus itu.”

 

“Bimala, kalau kamu kembali fokus minggu ini kamu masih bisa mendapatkan kesempatan beasiswa jalur prestasi itu lagi,” kata mama. Bimala menatap mama dan papanya. “Mungkin aku tidak mau mendapatkannya kembali,” ucap Bimala. Mama dan papa terkejut.

 

“Mungkin aku sudah tidak mau latihan renang enam jam setiap hari lagi, mungkin aku sudah lelah dengan semua beban belajar ini! Memangnya Papa dan Mama peduli kalau aku mau jadi apa? Mama dan papa tidak pernah bertanya aku mau menjadi apa! Bimala capek!” jerit Bimala. “Sayang, tidak ada alasan untuk menyerah pada impianmu sekarang,” rayu mama.

 

“Mama tidak mendengarkan aku! Ini bukan impianku tapi impian kalian!” tukas Bimala lalu pergi. “Bimala! Kita belum selesai!” panggil papa tapi Bimala tak menggubris ia menutup pintu depan rumah dengan keras.

 

Hujan turun deras malam itu.

 

“Gue mengkhawatirkan lo Mala, udah dua hari ini lo nginep di sini ngelamun aja,” ucap Monika. “Gue bener-bener hancur Nik,” kata Bimala. “Soal pelajaran, gampang, nanti gue bantu, kalau soal Jendra, gue pikir lo harus ke rumahnya, lo sudah tahu alamatnya bukan?” senyum Monika. “Kayaknya berita gue ngejebol lemari sudah tersebar di sekolah ya,” kata Bimala. Monika tertawa. “Jendra betul-betul merubah lo ya.” Bimala mengangguk. Monika memberikan kunci mobilnya. “Lo tahu lo harus kemana,” ucapnya. Bimala menatap Monika lalu memeluknya.

 

***

 

Dengan mobil Monika, Bimala sampai di rumah Jendra. Ia melihat motor merah terparkir di terasnya. Sebuah rumah sederhana yang dipenuhi pot-pot bunga. Bimala mengetuk pintu dan terlihat seorang kakek yang membuka pintunya. “Maaf, apakah ini rumah Jendra Satrianta?” tanya Bimala memastikan. “Iya,” angguk kakek. “Saya Bimala, temannya Jendra,” senyum Bimala.

 

“Ayo masuk,” ajak kakek. Bimala melangkah masuk dan melihat rumah tampak sepi. “Maaf Kek, apakah Jendra itu lima saudaMala?” tanya Bimala. Kakek menggeleng. “Cuma ada saya dan Jendra, Jendra anak tunggal.” Bimala manggut-manggut, “Ooh … lalu orang tua Jendra di mana?” Kakek itu tersenyum bijak. “Mereka sudah meninggal sejak Jendra kecil … Jendra tumbuh bersama saya dan istri, tapi tiga tahun lalu istri saya juga berpulang … tunggu biar saya panggilkan anaknya.”

 

Bimala tak menyangka hidup Jendra bisa sesepi itu.

 

Tak lama, Jendra muncul, wajahnya tampak lebih kurus. “Ngapain lo kesini?” tanyanya ketus. “Jendra, gue … gue ga peduli lo akan kemana setelah lulus nanti, gue ga akan peduli kalau mereka bilang lo kacau atau gila, gue juga ga peduli lo mau menutupi apa … ya Tuhan, yang gue tahu gue cuma ingin bersama lo Jendra,” ungkap Bimala gemetar menumpahkan isi hatinya. Jendra mendengarkan dengan terus menatap Bimala.

 

“Gue ga ngerti apa yang gue lakukan, semuanya tampak sia-sia, tapi … saat bersama lo, semuanya berbeda … gue ga tahu kenapa,” lirih Bimala. Jendra menghela nafas. “Gue ga tahu Mala, ini semua ga akan berjalan dengan baik,” kata Jendra. “Apa maksud lo?” bingung Bimala. “Gue cuma cowok kacau yang naik motor jadul ga punya masa depan, lo punya Ardi, cowok yang memiliki segalanya,” terang Jendra.

 

“Tolong jangan katakan itu,” geleng Bimala cepat. “Gue ga tersentuh dengan semua yang lo katakan, kita harus lupakan semua ini,” kata Jendra gemetar. “Apa? Gue jauh-jauh kesini dalam hujan, dengan perasaan yang besar terus lo ancurin begitu saja?” kaget Bimala. Jendra mengangguk. “Brengsek lo Jendra!” Bimala mengusap air matanya. “Ingat kita cuma partner?” kata Jendra. Bimala geleng-geleng lalu keluar rumah dengan membanting pintu.

 

Sepeninggal Bimala, Jendra jatuh bersimpuh di atas lantai meneteskan air matanya sedang kakek hanya melihatnya dari belakang dengan kepala tertunduk.

 

Bimala menangis sejadinya di dalam mobil di tengah hujan. Ia tidak tahu berhenti di mana. Isi hatinya ingin segera diledakkan dengan air mata maka ia berhenti di pinggir jalan begitu saja. Suara gemuruh petir memekakkan telinga sekeras tangisan Bimala malam itu.

 

Bimala tengah berada di sekolah setelah skorsingnya selesai. “Hey Bimala si anak badung akhirnya masuk sekolah lagi,” ledek seorang murid laki-laki. Bimala tak menggubrisnya. Ia duduk menikmati makan siang siangnya sendiri. Ia sudah tidak berhubungan lagi dengan Ardi, ia juga sudah tidak mencari Jendra, tapi Bimala melihat seorang pria melangkah masuk ke ruang guru. Bimala memutuskan untuk menemui pria itu.

 

“Anda, Pak Robi ‘kan? Saya Bimala, kita pernah kenalan malam itu,” kata Bimala setelah bertemu pria itu. “Ya saya ingat,” angguk Robi. “Apa yang bapak lakukan di sini?” tanya Bimala. “Sebagian gurumu adalah rekan saya,” jelas Robi. “Oh,” angguk Bimala, “bagaimana kabar Alvin, apakah dia jadi bermain games dan melihat kembang api bersama Jendra?”

 

Robi menghela nafas. “Alvin sudah meninggal.”

 

“Ya Tuhan,” kaget Bimala, “lalu gimana Jendra bisa mengenal dia?”

 

“Jendra dan Alvin menjalani kemoterapi bersama,” jawab Robi. “Apa?” kali ini jantung Bimala seakan berhenti berdetak mendengar itu. “Apakah Pak Robi dokternya?” tanya Bimala. “Saya konselornya, pendamping mereka,” jawab Robi.

 

“Apakah Jendra akan baik-baik saja?” tanya Bimala lagi. Robi hanya diam menatap Bimala. “Seberapa parah sakitnya? Katakan pada saya,” mohon Bimala. “Saya kira kamu sudah tahu, guru-guru di sini semua sudah tahu. Maaf Bimala, saya sangat menyesal,” kata Robi. Mata Bimala berkaca-kaca mendengar itu.

 

“Rumah hijau ….”

 

“Itu rumah untuk semua yang memiliki masalah sama, tempat untuk saling menguatkan, rumah penghiburan setelah pemeriksaan rutin dari rumah sakit,” jelas Robi. “Apakah Jendra ada di sana?” tanya Bimala. Robi mengangguk. “Ajak saya kesana,” pinta Bimala. Robi menatap Bimala ragu. “Tolong …” ucap Bimala nyaris tak bersuara.

 

***

 

 Jendra sedang duduk di atas sofa berwarna pastel menghadapi sebidak papan catur. Wajahnya tampak semakin kurus dan pucat. Ia memakai jaket jeans biru berkerah sobek favoritnya. Robi datang. “Ah Robi, aku tunggu-tunggu, ayo kita main catur, masa selama ini kau ga bisa ngalahin aku sih?” ledek Jendra.

 

Robi hanya diam lalu dari belakang punggungnya muncul Bimala. Jendra terkejut melihat kedatangan Bimala. Ia terdiam lalu melihat pada Robi. “Rob, kau melanggar perjanjian kita, aku bilang jangan ngomong soal---”

 

“Jendra,” potong Bimala, “Pak Robi ga salah, gue yang maksa untuk kesini.”

 

Robi melangkah keluar ruangan meninggalkan Jendra dan Bimala berdua. Hati Bimala prihatin melihat kondisi Jendra. Bola matanya bergetar-getar akan menitikkan air mata. “Kalau lo kesini mau nangisin gue, mendingan pulang,” tegas Jendra. Bimala menelan ludahnya dan mengatur nafasnya. Ia menguatkan hatinya.

 

“Kenapa lo ga bilang soal semua ini?” tanya Bimala lalu duduk di depan Jendra. “Supaya dikasihani? Trus lo kontenin, buat nyari simpati dan donasi di sosial media?” geleng Jendra. Bimala menghela nafas bersabar. “Lo tahu semua soal gue tapi lo menutupi soal lo, itu ga adil,” kata Bimala. “Lo tahu apa soal adil? Apakah adil kalian bisa lanjut kuliah keluar kota sedang dalam kondisi seperti ini gue bahkan ga bisa jauh dari rumah sakit!” tukas Jendra.

 

Bimala bangun dari duduknya. “Ini seharusnya jadi perpisahan yang indah Jendra.” Jendra menyipitkan matanya menatap Bimala. “Apa maksudnya Bimala?” Bimala menarik lengan Jendra. “Ayo ikut gue.” Jendra mengikuti Bimala menuju halaman belakang rumah hijau. “Apa yang lo lakukan?” tanya Jendra. “Lo bisa mengucapkan kata-kata perpisahan sekarang buat gue, lo pengen gue tegar bukan?” kata Bimala dengan hati bergetar. “Ga Mala,” geleng Jendra.

 

“Ayo Jendra Satrianta, katakan!” sentak Bimala. Jendra manggut-manggut. “Ok.” Jendra lalu menatap dalam mata Bimala. “Dengar Bimala Putri, tidakkah lo lihat? Lo punya hidup yang indah tapi hidup gue kacau! Lihat gue telah menghancurkan nilai lo, rencana masa depan lo, lo sekarang juga kacau,” cetus Jendra, “jadi gimana dengan kalimat perpisahan seperti itu?”

 

“Well terdengar tidak enak tapi lumayanlah,” angguk-angguk Bimala. “Lo ga paham ya? Gue sudah menghancurkan lo!” kata Jendra. “Terus kenapa?” balas Bimala. Ia melangkah mendekati Jendra lalu berbisik, “Gue ga peduli, karena gue jatuh cinta sama lo Jendra Satrianta!” Hati Jendra bergetar mendengarnya. “Coba ucapkan lagi kata perpisahan yang lebih baik! Coba lagi,” tantang Bimala.

 

Bibir Jendra bergetar saat mengatakannya. “Ketika gue mendapatkan kabar buruk itu gue terpukul. Mungkin gue akan pergi lebih dulu, mungkin juga ga, ga ada yang tahu tapi siapa yang peduli, bagaimanapun hidup gue menyebalkan … lalu gue bertemu lo … dan semua mendadak jadi aneh … gue gembira … dan lo …  Ya Tuhan, lo begitu luar biasa.”

 

Dada Bimala bergemuruh, bola matanya bergetar-getar lagi.

“Dan gue …” Jendra terdiam.

 

“Apa?”

 

“Gue hanya ingin punya sedikit waktu lagi buat bersama lo,” lirih Jendra.

 

Air mata Bimala jatuh berlinang.

 

“Jendra gue janji, gue akan bersama lo sampai lo pergi. Gue ga peduli berapa banyak waktu yang kita punya. Gue ga akan pernah pergi dari lo,” janji Bimala. Jendra menatap Bimala seakan tak percaya. “Meski hujan, meski banjir, meski angin puyuh, gue akan selalu bersama lo,” ucap Bimala memeluk Jendra. Jendra memeluk balik Bimala dengan erat saat hujan mendadak turun.

 

Bimala berdecak kesal. “Kenapa? tanya Jendra. Bimala menunjuk ke halaman belakang. “Gue sama Pak Robi tadi udah pasang kembang api di situ, mau kita nyalakan buat lo, kata Pak Robi, selama ini lo yang menyalakan kembang api buat orang-orang, menghibur mereka … tapi hujan ….” Jendra tertawa, “Ya udah ga apa-apa.” Bimala pun menenggelamkan dirinya dalam pelukan Jendra.

 

***

 

Hari kelulusan tiba. Bimala dan Monika berpelukan merayakannya. Semua murid gembira begitu juga kedua orang tua Bimala. Ardi hanya mengangguk saat melintasi mereka. “Ayo kita makan-makan di rumah,” ajak papa. “Ada yang harus aku selesaikan dulu Pa,” kata Bimala sambil melepaskan baju toganya dan menyimpannya di mobil papanya. Ia dan Monika kemudian pergi ke bengkel milik Montir. Di sana mereka melihat Montir telah memasang sebuah karburator baru pada sebuah motor berwarna merah.

 

“Lo punya motor sekarang Mala,” senyum Monika. Bimala mengangguk. Montir memanggil Bimala. “Gue pulang duluan ya,” ucap Monika lalu meninggalkan Bimala di bengkel. “Ada apa Bang?” tanya Bimala menghampiri. “Lihat, ga cuma karburator tapi gue rapiin juga jok, spion dan warnanya, biar tambah keren,” jawab Montir.

 

Bimala tersenyum melihat motor itu kembali terlihat seperti baru. “Kita sedang merawat kehidupan Bang,” ucap Bimala. “Apa yang gue bilang betul ‘kan? Lo pasti demen sama dia,” ledek Montir. Bimala mengangguk dan tertawa. “Ok, semua sudah siap, lo bisa bawa pulang motornya,” kata Montir. “Berapa semua biayanya Bang?” tanya Bimala.

 

Montir menatap Bimala. “Serius lo nanyain itu? Dia sudah kayak adik buat gue … gue ga pernah minta bayaran sama dia … hati gue patah saat tahu dia pergi … jadi bawa motor ini, jaga baik-baik, ok?”

 

Bimala mengangguk. “Terima kasih Bang.” Bimala mengenakan jaket jeans biru yang sobek di kerahnya lalu menyelempangkan tas berwarna coklat di bahunya. Ia pun pergi dari bengkel mengendarai motor Honda merah itu. Bimala menikmati angin yang menerpa wajahnya. Syal berwarna ungu tua di lehernya itu ikut berkibar-kibar diterpa angin. Ia melewati tempat-tempat di mana kenangan mereka itu dibuat.

 

Nikmati hidup Mala, jadilah apa yang lo ingin, hidup terlalu pendek untuk dihabiskan memenuhi keinginan orang lain, dan gembiMala, gue yakin lo tahu caranya. Bimala tersenyum teringat kata-kata terakhir itu.

 

Tiba-tiba hujan turun merintik, Bimala bergegas berteduh di depan sebuah toko bersama pemotor-pemotor lainnya. Di sampingnya Bimala melihat sepasang kekasih yang sedang berteduh. Ia melihat mereka tengah bercanda dan sang pria menunjukkan gerakan tangannya. “Itu bukan angin puyuh, itu ular, bodoh!” kata si wanita lalu mereka tertawa berdua.

 

Bimala teringat momen itu. Ia menatap tetes-tetes hujan bulan November yang jatuh di jalanan. Air matanya menitik tanpa disadarinya seiring ia bergumam, “Gue kangen sama lo Jendra.”

 

 

 

TAMAT